Sebenarnya dulu aku marah. Aku tersinggung. Karena aku dibilang murid pupuk bawang. dianggap bodoh, plonga plongo. Diolok banci saat olah raga dan diolok gabermut (nggak bermutu) disetiap tugas. Kenapa? Bukan dimotivasi, tapi di bully.
Aku bukan murid nakal. Yang suka bolos dan suka bikin ulah. Aku hanya murid pendiam yang tak banyak teman. Tapi olokan dan bulian terus kuterima. Bahkan gurupun ikut ikutan. Kenapa mereka tak punya hati? Tak mau tanya padaku? Kenapa mereka menghinaku?Â
Aku anak orang tak punya. Seragam pun beli rombeng. Sepatu juga rombeng. Taspun juga rombeng. Uang saku juga tak punya. Tak mampu bergaya. Akupun kurang gizi dan kurang makan. Tapi kenapa kemiskinan ku jadi tertawaan? Tiap hari dipukuli para jagoan?Â
Sebenarnya mataku cacat. Tak mampu melihat. Tak mampu beli kaca mata untuk belajar dan mencatat. Membaca papan tulis pun tak mampu. Disetiap pelajaran, Aku ketinggalan.
Buta sebelah mataku. Karena dikeroyok teman temanku. Aku kelaparan, tapi dikata banci. Gara gara tak kuat lari.Â
Tapi semua ini motivasi. Aku tak dendam pada yang membuat aku begini.Â
Keterbatasan tak membuatku berduka. Aku tetap berkarya walau dihina.Â
Malang, 25 November 2020
Oleh Eko Irawan
Kenangan sistem pendidikan era 80an, yang tidak peduli kondisi kejiwaan murid berkebutuhan khusus. Apapun itu, Terima kasih guruku. Walau olokan, tapi itu motivasi ku untuk terus berkarya. Alfatikah, doa terbaik untuk beliau para guru dialam sana.Â