Sedih aku lihat ini. Tangis untuk Literasi. Jujur dari sinilah sumber inspirasi. Yang akan memberi hidup lebih berarti.
Jika sekarang kau minta bukti, maka ke tukang loak jawab solusi. Ditimbang buku ini. Murah banget harga literasi.
Kau sobek sobek buku. Untuk dendam dan kepuasan semu. Kau lampiaskan kemarahanmu. Pada kertas kertas buku.
Hancur dan puas. Dilakukan dengan beringas. Lega hati sesaat. Seolah ini protes hebat. yang kau sobek itu, hanya kertas. Tak akan banyak bekas.Â
Protesmu salah alamat. Kenapa tak bicara baik baik. Tapi kau tak percaya musyawarah. Maumu marah. Kau pelintir semua fakta. Untuk dendam yang hancurkan semuanya.
Karyaku terbuang percuma. Sumberku kau acak semua. Padahal itu inspirasi untuk berkarya. Kau sudah hentikan segalanya. Kau pikir semua ini untuk siapa.
Kau pikir ini hebat. Sejatinya ini menghentikan nafas masa depan. Kau hidup dari karya karyaku. Itu yang kujual untuk menghidupimu. Kemana syukurmu kalau kau minta sekarang? Kemarin yang kau makan juga jerih payah dari inspirasi buku yang kau sobek itu. Kenapa sumber yang menghidupimu kau hancurkan? Kau usir? Kau musnahkan? Hanya nuruti hawa nafsu? Sudah merasa paling benar? Begitu mau minta bukti? Sekarang lagi. Padahal yang kau sobek itu masa depanmu sendiri. Kau membela siapa? Dan ini untuk apa? Kau puas? Merasa ini solusinya?
Tangis untuk literasi. Untuk menghidupi. Jangan kau lakukan lagi. Itu sama halnya merusak masa depan sendiri. Aku tak marah kau hina seperti ini. Tapi perbuatan itu sama halnya bunuh diri. Hanya orang bodoh yang melarang belajar dan memnaca literasi. Kau pikir dengan kau hancurkan akan ada keajaiban hakiki? Itu sumber hidup yang bisa kau petik nanti.
Sungguh malang, matinya literasi
20 November 2020 oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H