Mohon tunggu...
Eko Wahyudi Antoro
Eko Wahyudi Antoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan statistik dan pendidikan

Konsultan, penulis dan pegiat lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Ego, Hati, dan Jiwa

19 Januari 2023   21:26 Diperbarui: 19 Januari 2023   21:28 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap anak manusia yang dilahirkan ke Dunia ini akan menciptakan garis cerita dan sejarahnya masing-masing. Mengalami apa?, bertemua bertemu dengan siapa?, terlibat dalam kejadian apa?, akan menjadi apa? dan seterusnya, seolah seperti dejavu bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Ada yang identik, ada yang hanya mirip, dan tidak sedikit pula yang sangat berbeda satu sama lain. Untuk itu, setelah ini akan saya ceritakan pengalaman hidup saya, siapa tahu para pembaca mengalami kejadian serupa, mirip atau entah apa namanya, sehingga bisa berbagi sedikit pengalamannya secara singkat di kolom komentar.

Saya merupakan orang yang sebenarnya memiliki sifat yang keras, tidak jarang pula saya sedikit egois. Namun, semuanya berimbang dengan sifat saya yang mudah iba, kalau kata orang jawa "Gak isoan", jiwa sosial saya tinggi dan hati saya sangatlah tipis. Bahkan ada rekan yang pernah bilang, *Pembawaan boleh Macho kayak Thomas Djorghi, tapi sayang Hati Helo Kitty*, lalu ada juga yang nyeletuk, *Gaya Rambo, Hati Rinto, Super Mellow*.....terserah dah...apa yang mereka mau kata......

 Karena berbagai sifat, jiwa dan sikap yang saya miliki, ini membuat saya terbentur dengan masalah sendiri. Bagaimana bisa, tentu saja bisa, yang paling saya ingat adalah pada bulan Akhir Desember 2016 hingga Januari tahun 2017. Saat itu saya bekerja disebuah kantor, dan tanpa diduga saya mendapatkan hadiah dari kantor untuk Umroh Gratis bersama keluarga Bos. Pada saat itu, saya sangat bingung sekali, karena tidak memiliki tabungan, maklum hanya karyawan kecil, uang gaji juga cuma numpang lewat untuk kebutuhan. Sehingga, saya hanya bisa pasrah, dalam benak saya, kalaupun tidak memiliki uang saku, kun fayakun saja, saya tidak akan kelaparan di tanah suci, karena rumah Alloh penuh barokah.

Hari demi hari saya berproses, mulai mengurus visa, paspor, hingga vaksin. Nah, ditengah menunggu kabar manasik saya mendapatkan informasi jadwal keberangkatan adalah tanggal 21 Februari, artinya hanya tersisa waktu 1 bulanan kurang. Bersamaan itu, saat saya perjalanan kembali ke kantor dari kantor imigrasi, saya mendapatkan pesan singkat dari keluarga, yang isinya adalah sebuah masalah yang menurut saya masalah serius dan besar. Masalahnya adalah hutang piutang yang tidak jelas akadnya, dari semula hutang senilai 55 juta, setelah berjalan 2 tahunan, meningkat menjadi 87 juta, dan si pihak yang mengutangi memintah sawah dari keluarga saya tsb sebagai pengganti karena dianggap tidak sanggup membayar.

Masalah ini tiba-tiba dibebankan kepada saya, sebagai anak menantu. Dengan janji dari mereka jika berhasil melunasi hutang tersebut, maka mereka akan membantu mencicil setiap panen atau nantinya menjadi hak milik saya. Intinya keluarga tersebut tidak ingin sawahnya sampai ganti pemilik. Oleh pemberi pinjaman, saya hanya di kasih waktu kurang dari 1 bulan untuk membayar, jika tidak sawah di sita, sedangkan dalam bulan tersebut saya haru konsentrasi kepada pekerjaan karena mau saya tinggal umroh, dan juga prepare persiapan umroh juga, karena sama sekali saya tidak memiliki bekal materi apa-apa. bisa dibayangkan, bagaimana bingungnya saya.

Waktu berjalan, saya tidak henti-henti mencari pinjaman sebesar itu, dengan hanya berbekal jaminan Petok D. Tapi Bank mana yang berani memberikan alokasi pinjaman sebesar itu (target 100 juta), hanya dengan Petok D, terlebih kepada nasabah baru, dengan estimasi pendapatan yang juga tidak besar. Satu sisi saya dituntut konsen dengan pekerjaan, disisi lain harus keliling dari pintu ke pintu lembaga perbankan untuk mengajukan permohonan. Waktu sudah berjalan setengah bulan dan saya juga masih belum dapat, di rumah keluarga tersebut sudah terjadi keos, dimana yang laki-laki mengancam pergi dari rumah dengan membawa anaknya, sedangkan yang perempuan hanya bisa setiap hari menangis, dan ketika saya pulang kesana terus merajuk untuk mencarikan dana tersebut.

Rasanya saya sudah tidak sanggup lagi, dan saya sampaikan kepada istrinya tersebut bilamana saya sudah menyerah, dan dia pada akhirnya juga pasrah. Namun begitu mendengar saya menyerah, suaminya yang pergi dari rumah tiba-tiba kembali dan mencari saya seakan memaksa saya mau tidak mau harus mendapatkan uang tersebut, bagaimanapun caranya. Karena dirinya merasa malu dan tidak ingin dianggap menikah dengan istrinya justru membuat harta benda istrinya terjual (beliau adalah suami kedua setelah bercerai). Sebenarnya, saya ingin bersikap tidak peduli, tapi dihadapkan dua orang tua yang satu terus menangis sepanjang waktu, yang satu terus menunjukkan gestur emosional dan bisanya merengek dan memaksa, membuat saya harus berfikir lebih keras lagi. Nah, hingga Alloh memberikan kemurahan hatinya, ada salah satu rekan yang bekerja di salah satu Bank, bisa membantu saya. Setelah mendapatkan uangnya, bergegas saya pulang, karena besok pagi saya harus sudah terbang ke Madinah.

Setelah dengan pihak pemberi hutang sudah selesai, saya akhirnya punya kewajiban mengangsur selama 5 tahun. Tapi apa yang terjadi, dalam kondisi panen atau tidak panen, mereka berdua tidak peduli dengan tanggungan tersebut. yang ada malah selalu mengistimewakan kedua anaknya, yang 1 adalah bungsunya dari bapak yang pertama, yang 1 nya lagi adalah anak tunggal dari suami yang sekarang. Bahkan, saya selalu di tempatkan dalam posisi yang sulit untuk menolak, ketika mereka berkehendak. Contoh: saat dirumah panen buah rambutan, yang sebenarnya sudah tidak ada harganya lagi (di pasar dijual sangat murah Rp. 2000/kg) mereka memaksa saya untuk mengantar rambutan ke rumah anaknya di luar kota. Padahal saya sudah memberikan informasi, jika akomodasi yang ada, dipakai buat antar jemput anak-anak saya sekolah. Tapi mereka seolah tidak mau tahu, dan lebih memilih memaksa mennggu hingga mereka datang baru di jemput, jika mereka belum datang disuruh menunggu di sekolah.

Hal yang membuat saya sangat kesal adalah (1) tujuan nya adalah mengirim rambutan yang sebenarnya harganya sangat murah, jadi akan besar biaya perjalanan/akomodasi dibandingkan dengan  harga rambutannya; (2) Sosok yang dikirimi ini pernahnya adalah adek, usianya sangat muda, keadaan sehat, kenapa justru bukan mereka yang datang ke rumah orang tuanya, justru orang tua yang disuruh kesana; (3) lebih tidak dimengerti lagi, setelah rambutan itu ditaruh, si anak ini ikut kerumah ibunya, lalu apa artinya rambutan yang dikirim, itu untuk siapa, kalau memang demikian, berarti niat aslinya adalah pengen menjemput anaknya dengan berkedok mengirim rambutan.

Dari upaya bohong tersebut, pihak-pihak itu ternyata mempertaruhkan dan mengorbankan anak-anak saya, mengorbankan sopir saya, dan banyak hal lagi hanya untuk kepentingan dia dan anaknya. Saya akhirnya juga ketiban masalah karena di marahi pendamping karena tidak bisa tegas, tapi disisi lain saya juga bingung harus memutuskan seperti apa. Untuk itu, dalam sedikit cerita ini kita bisa mengambil benang merah, dimana egoisme akan berbanding lurus dengan arogansi, yang akhirnya ini membuat sebuah komposisi oknum yang suka bermain.

Untuk menegakkan diagnosa masalah yang harus di rumuskan strategi penyelesaiannya, maka saya harus bersikap tegas kepada siapapun juga, termasuk keluarga ring 1 saya. Meskipun hal ini sangat berbenturan dengan hati dan jiwa saya. Ketika saya mengambil sikap tegas seperti ini, saya juga telah mengambil resiko adanya anggapan orang yang mengangap saya *kedonyan*, *tega sama keluarga* dan entah apa lagi, bahkan yang paling ekstrim adalah saya justru dimusuhi. Banyaknya pengerobanan saya sudah tidak pernah nampak, dan yang nampak hanyalah apa dalam diri saya yang mereka anggap salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun