Mohon tunggu...
Eko Priadi
Eko Priadi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tinjauan Syar'i Terhadap Penyadapan Telepon Dalam Pemberantasan Korupsi

22 Juni 2013   01:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1371838400115616428

Pemberantasan Korupsi : Misi Mulia Reformasi Sejak jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 silam, Indonesia kini memasuki era reformasi dan berusaha untuk bangkit dari keterpurukan serta berupaya membenahi diri dari segala kebobrokan masa sebelumnya. Dan salah dua dari enam tuntutan reformasi yang masih belum terpenuhi dan hingga kini masih terus berjalan adalah Penegakan Supremasi Hukum dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Landasan kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi, dan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka berdasarkan amanat Undang-Undang No. 30 tahun 2002, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 27 Desember 2003. Dan tentunya kita patut bersyukur, sebab sejak dibentuknya KPK hingga saat ini, sudah banyak sekali kasus korupsi yang terbongkar, dan para koruptor yang berhasil diadili dan dipenjarakan pun juga tak kalah banyaknya. Dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan bagi pihak-pihak yang dicurigai atau diduga kuat melakukan atau terlibat dalam tindak pindana korupsi. Bahkan sering kali hasil sadapan telepon ini menjadi alat bukti utama atas keterlibatan seseorang dalam sebuah kasus korupsi. Sehingga kalau boleh dikatakan, jika tidak ada sadapan telepon, maka tidak akan ada kasus korupsi. Dari kacamata hukum positif, penyadapan telepon dalam pemberantasan korupsi atau tindak pidana lainnya adalah tindakan yang legal dan dijamin oleh undang-undang. Namun dalam pandang Islam, tindakan ini belum tentu benar dan diperbolehkan oleh syariat. Sebab belum tentu orang yang disadap pembicaraan teleponnya itu benar-benar terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi. Karena tindakan penyadapan itu dilakukan semata-mata atas dasar dugaan bahwa seseorang itu terlibat kasus korupsi. Defenisi dan Pelaksanaan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘menyadap’ didefinisikan sebagai kegiatan mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.[1] Sedangkan definisi resmi yang digunakan dalam dunia hukum adalah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika bahwa penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.[2] Sejauh ini aturan terkait penyadapan tersebar dalam beberapa peraturan  perundang-undangan. Namun secara umum, undang-undang memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk melakukan penyadapan dalam rangka pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, dan peredaran narkotika dan psikotropika. Kecuali untuk tindak pidana korupsi, undang-undang telah menetapkan aturan yang jelas terkait tata cara pelaksanaan penyadapan untuk setiap jenis tindak pidana tersebut di atas. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur terkait kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan (Pasal 12 ayat 1 huruf a), namun tidak mengatur tata cara pelaksanaannya seperti misalnya harus mendapat izin tertulis dari ketua pengadilan, dan dengan batas waktu paling lama satu tahun, sebagaimana diterapkan pada tindak pidana terorisme, perdagangan orang dan peredaran narkotika. Oleh sebab itu, KPK dalam melaksanakan tugasnya, membuat Standart Operational Procedure (SOP) tersendiri untuk kegiatan penyadapan terhadap pihak-pihak yang ditengarai terlibat dalam kasus korupsi. Ketiadaan aturan yang jelas terkait penyadapan inilah yang membuat sebagian kalangan menilai bahwa KPK merupakan lembaga superbody dengan kewenangan yang tidak terbatas, sehingga sangat rentan dijadikan sebagai alat politik oleh penguasa. Namun terlepas dari semua itu, kita patut mengapresiasi kinerja KPK selama ini dalam mengungkap kasus korupsi dan menindak para koruptor di negeri ini. Tinjauan Syar'i Pada prinsipnya, tindakan penyadapan dilarang di Indonesia. Sebab hal ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak privat seorang warga Negara, kecuali untuk tujuan penegakan hukum yang kewenangan dan pelaksanaannya sangat dibatasi oleh undang-undang. Dalam penjelasan pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditegaskan bahwa pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi oleh Negara sehingga penyadapan harus dilarang. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwasanya penyadapan itu bertujuan untuk mengetahui informasi rahasia atau pembicaraan seseorang melalui media komunikasi elektronik. Sehingga dapatlah kita simpulkan bahwa penyadapan ini termasuk kategori kegiatan memata-matai (spionase) atau yang dalam istilah Al-Qur’an disebut tajassus. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan bangkai saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujuraat : 12)

Menurut Syaikh Ali As-Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat “walaa tajassasuu” berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Sedangkan menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab As-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz 2 hal 211, yang dimaksud dengan tajassus adalah kegiatan menyelidiki atau mengusut suatu kabar untuk menelitinya lebih lanjut.[3] Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwasanya ada kesamaan ‘illat (sebab hukum) antara kegiatantajassus dalam al-Qur’an dengan tindakan penyadapan  yang sedang kita bahas disini, yaitu mengawasi (memonitor) pembicaraan (rahasia) seseorang untuk menemukan / mencari kesalahan, kejahatan, atau aib dirinya. Sehingga jika tindakan penyadapan ini di-qiyas-kan (dianalogikan) dengan kegiatan tajassus, akan diperoleh kesimpulan hukum bahwa tindakan penyadapan adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah swt dan dilarang dalam Islam. Dan larangan ini juga bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun Negara. Namun Islam juga memberikan ruang (fleksibilitas) untuk merubah suatu hukum dari hukum asalnya selama ada wajhul aqwa (alasan hukum yang kuat) yang mendesak untuk merubahnya. Hal inilah yang dalam ilmuushul fiqh kita kenal dengan istilah istihsan. Dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi, penyadapan telepon bisa menjadi dibolehkan. Adapun wajhul aqwa-nya adalah karena penyadapan ini ditujukan untuk pemberantasan korupsi yang telah banyak merugikan Negara dan menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia. Namun tetap ada syaratnya, yaitu penyadapan baru dilaksanakan jika telah terdapat bukti permulaan yang cukup kuat atas keterlibatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Sebab jika tidak demikian, maka itu dapat dikategorikan sebagai tindakan zalim, karena telah melanggar hak privat seseorang. Melihat urgensinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka penyadapan merupakan suatu kebutuhansyar’iyyah sebagai bentuk realisasi kemaslahatan ummat guna kepentingan penegakan keadilan. Dan hal ini juga sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa mencegah keburukan/kejahatan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat (dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih). Hal ini juga dikuatkan dengan hasil Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah pada Muktamar ke-32 Nahdhatul Ulama di Makassar akhir Maret 2010 yang memberikan penjelasan bahwa hukum mengintai, mendengar, dan merekam pembicaraan orang lain melalui sadap telepon pada dasarnya haram (tidak boleh), kecuali untuk kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan ada gholabatuzh zhan (dugaan kuat) atas terjadinya kemaksiatan, bahkan wajib jika tidak ada cara yang lain. Namun hasil penyadapan ini secara syar’i tidak sah sebagai bayyinah (alat bukti hukum), hanya sah sebatas untuk bukti pendukung.[4] Wallahu a’lam bis shawaab. -------------------------------------------------------------------------------- [1] Kamus Bahasa Indonesia Online, diakses dari laman http://kamusbahasaindonesia.org [2] Hukum Acara Pidana dan Peraturan Terkait, diakses dari laman http://acarapidana.bphn.go.id/ [3] Diskursus RUU Intelijen 2010 : Bentuk Tirani Baru?, diakses dari laman http://keepfight.wordpress.com [4] Hukum Sadap Telepon, diakses dari laman http://www.nu.or.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun