Kisah Petani di Kampungku dan Khasiat Air Rebusan Daun Ekaliptus
Musim penghujan seperti saat ini adalah karunia bagi kami keluarga petani di kampungku. Kami akan beramai-ramai turun ke sawah memanfaatkan keberkahan hujan. Sawah-sawah yang dibiarkan terbengkalai selama musim kemarau mulai digarap kembali. Pematang-pematang sawah dibersihkan dari rumput-rumput yang sudah setinggi lutut. Cangkul dan bajak beradu dengan tanah berlumpur. Tanah dibalik oleh mata bajak. Lalu, dipecah oleh ayunan-ayunan cangkul. Parang dan sabit membabat gulma-gulma tanah. Keringat pun mengalir membasahi tubuh kami.
Selama musim penghujan air akan begitu melimpah. Kami akan naik ke gunung. Kami memperbaiki saluran air yang tumpat dan membersihkan dari sampah-sampah. Tali air yang mengalami pendangkalan kami gali lebih dalam. Semua itu kami lakukan agar luapan air yang melimpah tidak merusak sawah-sawah yang mulai kami garap tetapi justru termanfaatkan dengan baik demi kesuburan tanah persawahan.
Sepanjang hari selama berminggu-minggu, sawah akan seperti pasar yang ramai. Canda dan tawa akan mewarnai setiap sudut sawah yang berada di lembah-lembah bukit barisan itu. Kami tidak akan tampak letih, lelah dan lesu. Padahal jika melihat betapa giatnya kami bekerja dan begitu kerasnya alam yang kami hadapi, sangat tidak masuk akal kondisi itu bisa tetap terjaga selama berbulan-bulan dari musim menggarap sawah sampai musim panen.
Bayangkan saja, sawah yang digarap itu jauhnya beberapa kilo meter dari perkampungan. Kebanyakan dari kami menempuhnya dengan berjalan kaki sambil memikul perbekalan dan perlengkapan yang berat menuju sawah yang ada di lembah. Medan perjalanan pun tidak gampang, seringkali naik-turun dan licin. Setelah melewati kondisi itu barulah kami mulai menggarap sawah.
Kami bukanlah petani-petani tanpa limit. Kami sama seperti manusia lainnya yang bisa jatuh sakit. Seharian membajak dan mencangkul di sawah sering mengakibatkan ngilu atau kram otot. Hujan yang sering kali turun di saat kami menggarap sawah pun sering mengakibatkan kedinginan, meriang dan sakit kepala. Tapi, sakit tidak pernah mengusai dalam waktu lama karena begitu gejalanya timbul, di sore hari langsung kami “padamkan” dengan satu kearifan lokal. Sehingga paginya, kami bisa kembali turun ke sawah dengan semangat.

Kami memanfaatkan air rebusan daun ekaliptus yang masih hangat untuk mandi. Tubuh akan serasa dipijat, otot-otot yang sebelumnya terasa ngilu akan rileks kembali. Rasa hangat dan aroma ekaliptus akan menyegarkan tubuh sekaligus memperbaiki mood. Masyarakat kampungku selama bertahun-tahun telah merasakan manfaat air rebusan daun ekaliptus dalam mengobati pilek, sesak napas, sakit kepala, meriang, dan capek-capek. Maka tidak mengherankan setelah membanting tulang sepanjang hari di sawah, para petani di kampungku bisa kembali lagi turun ke sawah dengan semangat yang sama sebab kami sudah direfresh dengan air rebusan daun ekaliptus. Selain itu, cara yang sama juga disarankan sebagai cara untuk recovery apabila seseorang dalam masa pemulihan setelah mengalami sakit beberapa hari, disarankan untuk mandi air rebusan ekaliptus.

Cara yang bijaksana seperti yang penulis alami di kampung tentu saja akan sulit bahkan tidak mungkin untuk penulis lakukan saat ini, apalagi penulis hidup di Kota Jakarta. Di Jakarta tidak akan penulis temukan daun ekaliptus. Maka ketika penulis merasa tidak enak badan, pilihan satu-satunya adalah minyak-minyakan tradisional yang banyak beredar di pasaran dalam bentuk botol.
Indonesia terkenal dengan ramuan-ramuan tradisionalnya dalam mengobati berbagai penyakit. Minyak-minyakan saja misalnya ada beraneka ragam seperti minyak kayu putih, minyak tawon, minyak lawang, minyak telon, minyak kasturi, minyak cendana, dan minyak cengkeh. Khasiatnya kurang lebih sama seperti memberikan kehangatan, mengobati digigit serangga, pegal-pegal dan lain-lain. Namun, baunya yang membuat kita kurang nyaman dan tidak percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain.