Pemerintah pada hari Senin, tanggal 2 Maret 2019, mengumumkan bahwa 2 WNI positif terinfeksi Covid-19. Terhitung sejak saat itu, Indonesia positif Corona.Â
Narasi yang dibangun pemerintah cukup positif. Masyarakat tidak perlu panik, yang diperlukan adalah menjaga daya tahan tubuh agar tidak terinfeksi virus. Menteri Kesehatan menyarankan masyarakat menjaga kebersihan dari virus serta konsumsi makanan bergizi.
Kita tentu menyadari bersama bahwa virus ini berbahaya. Pada kenyataannya, di China (Wuhan) dan Korea Selatan (Daegu) sampai melakukan penutupan (karantina) kota.Â
Negara-negara menyarankan agar tidak melakukan perjalanan ke daerah terpapar virus. Namun, bahaya Covid-19 harus dihadapi dengan tenang. Kepanikan akan menimbulkan persoalan baru.
Setelah Indonesia positif Corona, seketika masyarakat yang panik. Harga masker naik lebih dari 1000 persen! Meskipun naik tidak normal, masker ludes.Â
Hal sama terjadi pada hand sanitizer yang juga ludes. Terhitung sejak konpers Bapak Presiden terjadi kelangkaan dua benda dimaksud. Belum lagi, barang-barang kebutuhan pokok yang diserbu dan diborong!
Pada dasarnya hal yang normal/logis apabila seseorang menjaga kondisi tetap aman. Sebab, secara alami manusia pasti melakukan pilihan logis untuk tetap bertahan hidup.
Idealnya sebagai masyarakat yang ber-Pancasila. Dalam kondisi bencana harga-harga semestinya didiskon, masyarakat membeli kebutuhan pokok dengan membatasi diri supaya yang lain kebagian dan terakhir tentu saja yang tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan, dibantu yang punya cukup uang! Bukankah begitu seorang yang Pancasilais?
Motif Bertahan Hidup atau Mencari Untung?
Ada yang menarik soal kelangkaan barang di pasar/toko dan juga orang-orang yang membeli dengan jumlah yang tidak rasional. Apakah itu bentuk kepanikan?Â
Soal kelangkaan harus dilihat dengan hati-hati, sebab itu bisa terjadi karena ada 'perlakuan' pada tingkat produksi, distribusi atau konsumsi.
Pada tingkat produksi, bisa saja memang dia menahan produksi atau menurunkan produksi. Harapan faktor psikologis masyarakat dan kelangkaan akan mendorong harga naik setinggi-tingginya.
Pada tingkat distribusi, bisa saja ada yang bermain dengan menimbun barang. Lalu ketika harga sudah sangat maksimal baru barang dilepas pelan-pelan.
Pada tingkat konsumsi, bisa saja ada konsumen sengaja membeli dalam jumlah yang banyak. Mungkin sudah mengestimasi bahwa kejadian akan berlangsung lama. Sehingga dia akan aman karena stock melimpah.
Penting untuk menyadari bahwa ada saja orang yang ingin mencari untung di tengah bencana yang dihadapi orang lain. Seringkali pula terjadi "perampokan suka rela" dalam kondisi seperti ini. Orang membayar dengan harga yang tidak rasional!
Protokol Kedaruratan
Indonesia (pemerintah) harus belajar menghadapi situasi kedaruratan. Baik dia benar-benar darurat/rentan atau hanya darurat secara psikologis (hanya perasaan insecure).Â
Kedua hal itu bisa benar-benar menjadi ancaman. Bencana yang di depan mata dan perasaan takut kena bencana bisa sama-sama berujung korban jiwa dan materi.
Analoginya seperti ini, ada berita tentang akan terjadi gempa 2 hari ke depan. Orang-orang kemudian menimbun kebutuhan pokok. Lalu, karena barang langka harga naik tidak rasional.Â
Kemudian, orang-orang yang tidak memiliki cukup uang melakukan penjarahan dan merampok toko-toko. Setelah 2 hari ternyata tidak terjadi gempa? Betapa malangnya.
Pemerintah perlu untuk menetapkan Protokol Kedaruratan untuk mencegah kerusakan tambahan dan kerusakan yang tidak seharusnya terjadi sebagai dampak dari bencana alam/non alam atau dorongan psikologis dari suatu peristiwa.
Selama ini, untuk masalah penimbunan misalnya, hanya dikategorikan "penimbunan barang", artinya kaca mata yang dipakai adalah ekonomi.Â
Dalam kondisi situasi normal mungkin benar, tapi dalam kondisi psikologis terancam bencana atau pada saat bencana telah benar-benar terjadi, itu merupakan pelanggaran kemanusiaan. Efeknya bisa chaos dimana-mana. Negara bisa runtuh tidak berdaya.
Protokol kedaruratan menjadi penting dalam menghadapi dampak dari bencana alam/non alam atau dorongan psikologis dari suatu peristiwa.Â
Pemerintah harus diberi kewenangan yang luas untuk menjamin setiap anggota masyarakat dengan cara mengawasi (jika perlu mengambil alih) proses produksi, distribusi dan menata konsumsi barang.
Analoginya sederhananya seperti ini, jika dalam kondisi darurat negara bisa mengatur batas harga ambang atas suatu barang dan membatasi jumlah maksimal barang yang bisa dijual pengusaha kepada konsumen.Â
Kenapa itu penting? Tentu saja untuk menjamin hak masyarakat untuk bertahan hidup kepada setiap anggota masyarakat. Dalam kondisi yang lebih darurat, untuk mencegah chaos misalnya, fungsi itu dilakukan sendiri oleh pemerintah dengan pengamanan dari angkatan bersenjata.
Protokol Kedaruratan menjadi perlu di Indonesia, terutama jika kita berkaca pada posisi Indonesia yang rawan bencana. Protokol ini menjamin masyarakat untuk tidak dibunuh dua kali.Â
Sudah kena bencana, dirampok lagi. Jadi, selain menangani peristiwanya (kasusnya), faktor di luar kasusnya perlu distabilkan. Jika masyarakat menjadi tidak manusiawi dalam kondisi bencana (terancam bencana) maka dia harus dimanusiakan lewat penegakan aturan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H