Pada tingkat distribusi, bisa saja ada yang bermain dengan menimbun barang. Lalu ketika harga sudah sangat maksimal baru barang dilepas pelan-pelan.
Pada tingkat konsumsi, bisa saja ada konsumen sengaja membeli dalam jumlah yang banyak. Mungkin sudah mengestimasi bahwa kejadian akan berlangsung lama. Sehingga dia akan aman karena stock melimpah.
Penting untuk menyadari bahwa ada saja orang yang ingin mencari untung di tengah bencana yang dihadapi orang lain. Seringkali pula terjadi "perampokan suka rela" dalam kondisi seperti ini. Orang membayar dengan harga yang tidak rasional!
Protokol Kedaruratan
Indonesia (pemerintah) harus belajar menghadapi situasi kedaruratan. Baik dia benar-benar darurat/rentan atau hanya darurat secara psikologis (hanya perasaan insecure).Â
Kedua hal itu bisa benar-benar menjadi ancaman. Bencana yang di depan mata dan perasaan takut kena bencana bisa sama-sama berujung korban jiwa dan materi.
Analoginya seperti ini, ada berita tentang akan terjadi gempa 2 hari ke depan. Orang-orang kemudian menimbun kebutuhan pokok. Lalu, karena barang langka harga naik tidak rasional.Â
Kemudian, orang-orang yang tidak memiliki cukup uang melakukan penjarahan dan merampok toko-toko. Setelah 2 hari ternyata tidak terjadi gempa? Betapa malangnya.
Pemerintah perlu untuk menetapkan Protokol Kedaruratan untuk mencegah kerusakan tambahan dan kerusakan yang tidak seharusnya terjadi sebagai dampak dari bencana alam/non alam atau dorongan psikologis dari suatu peristiwa.
Selama ini, untuk masalah penimbunan misalnya, hanya dikategorikan "penimbunan barang", artinya kaca mata yang dipakai adalah ekonomi.Â
Dalam kondisi situasi normal mungkin benar, tapi dalam kondisi psikologis terancam bencana atau pada saat bencana telah benar-benar terjadi, itu merupakan pelanggaran kemanusiaan. Efeknya bisa chaos dimana-mana. Negara bisa runtuh tidak berdaya.
Protokol kedaruratan menjadi penting dalam menghadapi dampak dari bencana alam/non alam atau dorongan psikologis dari suatu peristiwa.Â