Apakah yang anda pikirkan ketika melihat realitas sebuah negara bernama Indonesia ‘tanpa Pancasila’? Padahal fondasi yang ditanam dibawah republik ini adalah perbedaan. Pertama, sudut pandang geografisnya menunjuk bahwa republik ini terdiri dari beribu-ribu pulau yang terpisah-pisah satu dengan lain. Kedua, sudut pandang sosial-budayanya menunjukkan bahwa republik ini dibangun atas perbedaan suku-suku bangsa, bahasa, golongan, agama, dan ras. Kita melihat bahwa realitas fondasi republik ini adalah rapuh!
Ketidak-tersambungan antar pulau-pulau di republik ini memungkinkan teralienasi masyarakat di satu pulau dengan pulau lainnya. Akibatnya satu dengan yang lain tidak merasa menjadi satu bagian yang kohesif. Keberadaan suku-suku bangsa, bahasa, golongan, agama, dan ras yang beraneka ragam pun sama berbahayanya dengan ‘alienasi’ akibat faktor geografis ketika sifat-sifat ekslusifitas ditonjolkan. Maka tidak mengherankan berabad-abad yang lalu dalam sejarah nusantara, yang tercatat adalah sejarah berdarah kekuasaan dalam usaha saling penaklukan antar kerajaan-kerajaan, karena nusantara itu memang terpecah-pecah. Selama berabad-abad pula nusantara dikuasai/dijajah bangsa eropa! Karena memang awalnya tidak ada perasaan senasib.
Selama berabad-abad, bangsa-bangsa di nusantara terpecah-pecah. Ada memang yang berkoalisi tetapi ada juga saling memusuhi. Ketika “Porang Pidari” pecah misalnya, Sisingamangaraja XII bersekutu dengan Kesultanan Atjeh untuk melawan gelombang pendudukan Kaum Padri. Saling memerangi dan diperangi adalah keniscayaan saat itu.
Sesuatu yang besar terjadi di belahan bumi utara. Bangsa-bangsa eropa terkejut oleh jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani. Akibat jatuhnya bandar dagang tersebut adalah orang-orang eropa kekurangan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan itu. Perjanjian Tordesillas kemudian mengantar dua bangsa penjelajah yakni Spanyol dan Pertugis untuk menjelajahi samudera raya mencari jalan lain untuk mendapatkan rempah-rempah. Dalam semboyan Gold, Gospel dan Glory mereka meninggalkan tanah eropa. Setelah bangsa Portugis menginjakkan kaki di nusantara lewat Selat Malaka dan sementara Spanyol di Maluku. Berturut-turut kemudian bangsa eropa lainnya datang, Belanda dan Inggris menancapkan panji-panjinya di bumi nusantara.
Sampai di sini, kita sepakat saja. Sejarah penjelajahan samudera adalah awal penderitaan panjang sebagian besar pengisi nusantara. Kita juga tidak boleh menapikkan ada juga bangsawan-bangsawan yang hidup enak yang memilih mengabdi ke Tuan Eropanya. Tetapi poinnya adalah sejak VOC memonopoli perdagangan disusul dengan dipersenjatainya VOC, VOC bubar digantikan Hindia Belanda, Inggris singgah sebentar sampai Jepang datang. Itu adalah kelabu panjang yang dialami penduduk nusantara sampai akhirnya kemudian lahirnya semangat ‘kebersamaan’ untuk lepas dari belengu penjajahan.
Selama bertahun bangsa-bangsa di nusantara dibelengu semangat kedaerahan. Semangat kedaerahan adalah rasa yang lahir dan berkembang pada asal/tempat tinggal kita, tetapi semestinya tidak menjadi semangat yang medominasi seiring dengan komitmen kita pada kepentingan yang lebih besar. Hal itulah yang pada tahun 1928 sudah disadari oleh Jong-Jong dari seluruh penjuru nusantara. Kedaerahan dan kesukuan adalah identitas pembeda dan perbedaan adalah jalan tol menuju perpecahan jika masing-masing memaksakan diri/kehendak.
Itulah yang selama bertahun-tahun dimanfaat bangsa penjajah (baik dalam jubah VOC atau Hindia Belanda) dalam politik devide et impera. Sementara itu, pemuda-pemuda nusantara dalam Soempah Pemoeda 1928 melihat perbedaan itu harus diikat dalam satu komitmen kesetiaan pada tanah air, bangsa dan bahasa. Mereka sebut komitmen itu, satu sebagai INDONESIA. Rasa satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa telah membuat orang-orang terjajah itu ‘bersaudara’.
Puncak dari ujian menjadi satu sebagai INDONESIA adalah ketika para pendiri bangsa ini akan membentuk satu negara kesatuan yang berbentuk republik. Para founding fathers bangsa ini tentu sepakat bahwa semua sudah berjuang. Darah sudah tertumpah dari Sabang sampai Merauke. Mereka yang berjuang pun datang dari latar belakang agama dan suku yang berbeda-beda. Proklamasi kemerdekan bukanlah ujung dari perjuangan menjadi Indonesia. Melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang mencapai kesejahteraan rakyat dalam ‘keterpecahan geografis dan SARA’. Tanpa pemikiran yang jernih dari para founding fathers, Indonesia yang baru merdeka bisa jatuh dalam perang saudara yang berkepanjangan.
Pancasila sebagai dasar negara memiliki peran yang sangat penting dalam merekatkan puzzle-puzzle keindonesiaan yang terpecah-pecah. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua. Pancasila sebenarnya adalah manifestasi dari perjalanan panjang bangsa ini menuju kesejahteraan. Ada banyak tawaran ideologi diluar sana yang dipercaya jalan menuju kesejahteraan. Sebut saja sosialisme, komunisme, liberalisme, islam, dan lainnya. Tetapi kita sepakat sebagai satu bangsa, Pancasila adalah ideologi kita.
Didalamnya ada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dan Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pancasilalah rantai yang mengikat keterpecahan geografis Indonesia, keterpecahan golongan, keterpecahan suku bangsa, keterpecahan bahasa, keterpecahan agama, dan keterpecahan agama. Dalam persfektif Pancasila keterpecahan itu dirubah menjadi keberagaman. Keberagaman dalam satu ikatan yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H