Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Money

Era Masyarakat Cashless

15 Desember 2016   15:58 Diperbarui: 15 Desember 2016   16:10 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Indonesia sangat populer dengan anekdot “kalau belum makan nasi, belum makan namanya”. Lain dari itu, ada juga anekdot “kalau dompet kosong, pasti tidak punya uang”. Sepertinya anekdot itu perlahan mulai terlupakan. Zaman sudah mulai berubah, manusia pun mengikuti. Dulu, mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kita dengan modal gadget saja sudah bisa melakukan beragam transaksi tanpa dibatasi ruang dan waktu!

Pada saat kita menoleh pada masa lalu, masa dimana sistem teknologi transaksi belum secanggih dan semasif sekarang. Ada para pengusaha harus menyiapkan uang tunai miliaran rupiah untuk membayar gaji, ada para birokrat bermain mata dengan kontraktor untuk segepok rupiah, ada perampok mengendap-endap di depan bank menunggu nasabah keluar, ada copet berseliweran mengintai dompet di jalanan, dan ada pula para penjahat kreatif yang mendesain uang palsu semirip mungkin. Masa itu, transaksi tidak seefisien sekarang dan beresiko kejahatan pula. Saat itu, kita begitu tergantung pada transaksi tunai.

Bank Indonesia pun harus mengeluarkan biaya besar untuk pemeliharaan uang tunai yang beredar begitu banyak di Indonesia. Uang rupiah yang kita pegang terkadang lecek, dicoret-coret dan dilipat-lipat. Akibat dari kita yang terkadang tidak menghargai uang yang kita pegang.

Berbicara transaksi tunai, dalam era menjamurnya waralaba yang diminati kalangan menengah atas. Kita sering dihadapkan pada kenyataan bahwa receh kembalian dari belanja kita sering diganti dengan permen atau diinfakkan kepada panti asuhan. Betapa pun ngedumelnya kita, kita sering mengikhlaskan begitu saja uang kembaliannya. Padahal membeli barang yang kita tidak butuhkan adalah pemorosan. 

Belum lagi, di Indonesia sudah ada Baznas untuk berzakat yang kredibilitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Namun, perkembangan model kliring lewat jaringan komputer menutup kemungkinan kembalian berupa permen yang tidak kita butuhkan atau donasi yang tidak kita ikhlaskan. Model non tunai dalam kasus ini turut melindungi konsumen serta dapat memaksa gerai-gerai untuk menghindari perilaku curang terhadap konsumennya.

Perkembangan IPTEK yang begitu pesat dan massif melahirkan gadget dan internet sehingga memungkinkan dilakukannya elektronifikasi sistem transaksi dan pembayaran sehingga kita tidak membutuhkan tatap muka dan uang dalam bentuk fisik untuk melakukan transaksi dan pembayaran. Bahkan Pemerintah sendiri dalam menjalankan proyek-proyeknya sudah melakukan sistem elektronik sebab mengandalkan transaksi tunai terkait tingkat transparansi dan governance semakin rendah karena banyak transaksi yang tidak tercatat. E-procurement (sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik) dan e-budgeting (sistem perencanaan elektronik) kemudian begitu populer di kalangan pemerintah.

Uang tunai lambat laun akan segera digantikan oleh instrumen non tunai seperti kartu kredit dan uang elektronik atau e-money. Uang tunai sudah semakin ketinggalan zaman. Selain karena high risk juga tidak praktis. Jadi tidak match dengan perkembangan dunia yang semakin menuntut efisiensi, efektifias dan keamanan setiap transaksi. Bayangkan saja dengan nilai nominal uang yang tinggi sementara nilai riilnya rendah, maka ketika membeli sesuatu kita dipaksa untuk membawa lebih banyak uang. Maka semakin banyak kita membeli barang akan semakin banyak nominal uang tunai yang harus kita sediakan. Hal itu akan semakin tidak praktis dan semakin beresiko.

Smart money wave sebagai suatu gerakan mengedukasi masyarakat yang digagas Bank Indonesia untuk mendorong masyarakat menjadi komunitas  cashless menjadi sangat relevan saat ini. Relevansi itu sesuai dengan tuntutan keadaban masyarakat saat ini dimana masyarakat menginginkan segala sesuatu lebih efisiensi, efektif dan tentu saja aman. Nilai-nilai itu pulalah yang hidup dalam Smart Money Wave dan Gerakan Nasional Non Tunai.

Pembayaran non tunai setidak-tidaknya akan memberi kemudahan dan kecepatan dalam melakukan transaksi tanpa uang tunai, menekan beredarnya uang palsu, menekan biaya handling (biaya pengelolaan uang tunai) dan bisa mendorong perluasan akses perbankan/lembaga keuangan kepada masyarakat. Instrumen non tunai tersebut bisa berupa cek, bilyet giro, nota debet, kartu kredit, dan uang elektronik.

Transaksi non tunai memang menawarkan efesiensi, efektifitas dan keamanan. Namun kita juga tidak bisa menapikkan bahwa semakin massifnya instrumen non tunai berupa aneka kartu yang memadati dompet terkadang kontraproduktif dengan kepaktrisan yang kita harapkan. Belum lagi semakin berkembangnya e-crimes atau kejahatan elektronik.

Oleh sebab itu, model non tunai perlu disedasain lebih integratif terhadap beraneka ragam transaksi dalam satu cartu (single card). Pengisian dana pun perlu mengadobsi model ATM-Bersama atau transfer antar bank. Saat ini, kartu/aplikasi e-money misalnya harus melalui transfer pada ATM Bank yang memproduksi kartu/aplikasi tersebut. Lantas bagi pengguna aplikasi yang belum memiliki rekening bank tersebut akan mengalami kesulitan. Selain itu, limit transaksi penggunaan kartu/aplikasi e-money masih terbatas. Hal itu menutup kemungkinan melakukan transaksi yang limitless.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun