Mohon tunggu...
Muhammad Rezky Agustyananto
Muhammad Rezky Agustyananto Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa biasa yang suka memikirkan banyak hal. concern tentang isu-isu politik, sosial, dan alam. penggila musik dan sepakbola. suka membaca dan sedang belajar menulis. kunjungi blognya di http://tamankosong.wordpress.com dan http://lebombardier.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Miskomunikasi Pejabat

10 November 2010   10:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tulisan ini sudah dimuat sebelumnya di blog pribadi saya http://tamankosong.blogspot.com Entah kenapa sejak belajar di prodi komunikasi media, saya jadi senang sekali mengkritik, salah satunya soal penggunaan bahasa. Aktif di twitter ternyata berdampak buruk ke problem ke-sok tau-an saya. Hehehe.. Salah satu hal yang sering saya komentarin penggunaan kata/bahasa-nya adalah Menkominfo Tifatul Sembiring. Seperti kita ketahui, menteri yang satu ini cukup aktif di dunia kicauan maya dengan akunnya @tifsembiring. Sebagai menteri tentu beliau memiliki pengikut (followers) yang tidak sedikit. Sampai postingan ini dibuat saja, jumlah pengikut beliau mencapai 103.783 akun. Dengan pengikut sebanyak itu ditambah lagi dengan role atau status dia sebagai menteri, tentu pak Tif tidak bisa sembarangan berkicau. Penggunaan bahasa yang salah, meskipun niatnya baik akhirnya malah menimbulkan kontroversi dan akhirnya bisa menyebabkan image nya malah hancur. Sayangnya, meskipun menjabat sebagai menteri komunikasi, ternyata pak Tif ini seringkali menggunakan bahasa yang salah dan beberapa kali pula menyebabkan kontroversi. Contohnya adalah "serial-twit" nya beberapa minggu yang lalu, salah satunya membahas masalah HIV/AIDS. Saya tuliskan poin-poin yang beliau tulis dan kontroversial itu.

1. Cegahlah diri anda dan keluarga dari penularan virus HIV/AIDS. Angka2 penderita dan penularannya selalu meningkat tajam setiap tahunnya. 2. MI 12/11/2009: "Penyebab HIV/AIDS dr Kaum Gay Meningkat Tajam". Kata dokter: perilaku seks yg menyimpang adalah sbg penular virus tsb. 3. Kata Al-Qur'an: Allah swt membalikkan bumi kaum nabi Luth, pelaku homoseks, menghujani mrk dngn batu, dari tanah yg terbakar QS 11:81-82 4. Penularan virus HIV/AIDS harus dicegah, juga penularan perilaku2 yg potensial membawa virus2 tsb. Sampai kini obat AIDS belum ditemukan. 5. Kata Prof. Sujudi, mantan menteri kesehatan, agar mudah diingat singkatannya AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan. 6. Kata seorang Kiyai, jika melihat kemungkaran diam saja, itu sama spt syaithanul akhlash, maksudnya syetan gagu. Maka cegahlah kmungkaran.

Pak Tifatul, sekali lagi mungkin bermaksud baik, yaitu untuk mengajak para followers nya untuk menjauhi seks menyimpang agar penderita HIV/AIDS bisa ditekan. Tetapi, penggunaan bahasa yang salah akhirnya malah membuat beliau dituduh mendiskreditkan para penderita HIV/AIDS. Seperti poin nomor 5. Prof. Sujudi mungkin sadar joke semacam itu tidak terlalu masalah jika dilontarkan ke peserta penyuluhan pencegahan HIV/AIDS. Tetapi apakah joke semacam itu pantas dilontarkan di depan ODHA? Pak Tif seharusnya sadar di antara seratus ribuan followersnya tersebut, pasti ada orang-orang yang menderita HIV/AIDS. Dan seharusnya juga beliau sadar twitter saat ini telah menjadi ruang publik dimana kita tidak bisa seenaknya berbicara yang akhirnya bisa menyinggung orang lain. Maka seharusnya serial twit dengan bahasa yang mendiskreditkan penderita ODHA dan kaum homoseksual itu tentu tidak pantas di lontarkan di dunia twitter yang, sekali lagi, notabene adalah ruang publik. Itu yang terjadi di dunia twitter. Lalu bagaimana tentang tata bahasa pejabat lain di media yang bisa menimbulkan kontroversi? Ada salah satu contoh yang saya ambil dari media online Detikdotcom. Artikelnya berjudul "Marzuki: Tsunami Itu Konsekuensi Warga Yang Hidup Di Pulau". Berita ini sempat heboh berhari-hari dan dianggap sebagai penegas matinya hati nurani para anggota DPR. Memang, jika melihat apa yang ia katakan dan dikutipkan dalam artikel tersebut, memperlihatkan betul bahwa Marzuki Ali ini seperti menganggap tsunami itu kejadian yang biasa dan penderitaan korban di Mentawai merupakan resiko mereka yang hidup di pulau. Tetapi apakah memang demikian yang dimaksud oleh Ketua DPR ini? Dalamnya lautan bisa diduga, dalam hati siapa tahu. Kita tidak bisa mengetahui apakah itu benar-benar yang dimaksud oleh beliau atau hanya kesalahan bahasa saja. Tetapi, jika memang hal itu merupakan kesalahan bahasa, menurut saya kesalahan bahasa yang dilakukan oleh Pak Marzuki ini sudah keterlaluan. Pak Marzuki sempat ngeles dengan mengatakan media salah kutip atau mengatakan maksudnya tidak seperti itu. Jika ngeles nya Pak Marzuki itu benar adanya, sekali lagi kita melihat contoh kesalahan bahasa oleh pejabat yang berakhir dengan kontroversi. Sekali lagi, kita diperlihatkan bagaimana ungkapan "Mulutmu Harumaumu" itu berlaku di dunia ini, terutama bagi para pejabat serta publik figur lain. Seorang teman pernah bilang, betapa pentingnya berpikir sebelum berucap, berilmu sebelum bercakap. Ternyata, kesadaran mengenai komunikasi, terutama oleh para pejabat atau pesohor lainnya sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, selama ini kita terlalu mengabaikan masalah ini dengan beranggapan, "Ah, komunikasi kan gitu-gitu doang. Apa susahnya tinggal ngomong doang." Tapi, ketika banyak timbul contoh-contoh bagaimana miskomunikasi dan misinterpretasi dapat berakibat besar bagi kita, semoga kesadaran mengenai pentingnya komunikasi yang baik bisa hadir dalam pikiran kita. Oke, intinya yang ingin saya bicarakan adalah, pentingnya ILMU KOMUNIKASI dalam kehidupan kita. Ketika kita tidak mengetahui bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orang lain, maka hasilnya akan kelihatan: menimbulkan misinterpretasi, miskomunikasi, dan berujung pada konflik. Jadi, apakah bijak menganggap ilmu komunikasi sebagai 'ilmu cetek yang gak usah kuliah juga udah bisa kok'? P.S. Kalimat terakhir di atas (Ilmu cetek yang gak usah kuliah juga udah bisa kok) itu kalimat orang tua teman saya yang melarangnya masuk jurusan komunikasi. Duh, Bu, mudah-mudahan gak kolot lagi dan semakin terbuka pandangannya :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun