Mohon tunggu...
Ekky Riza
Ekky Riza Mohon Tunggu... -

an ordinary girl in an extraordinary world ^^

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Impian

15 November 2012   11:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:18 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini aku terngiang-ngiang oleh sebuah impian. Mataku sudah ingin terpejam, tapi otakku tidak mau bekerja sama. Otakku masih betah saja terjaga oleh alamku sendiri. Tubuhku tepat berada di kasur di kamarku, tapi aku sudah tak tahu lagi di mana tepatnya pikiranku. Di tengah-tengah kebisingan itu, ada satu hal yang berontak ingin keluar dari diriku. Ini tentang impian.
Aku catat dalam sebaris kalimat bahwa hari ini adalah hari terlemahku, di mana pengendalian diriku tidak dapat ku raih. Otak dan perasaanku tidak bekerja dalam satu komando, mereka sporadis. Huff, aku sangat ingin menjadi manusia yang santai dan sederhana saja; tanpa rencana, melakukan apa yang bisa dilakukan sekarang. Tapi, sungguh, ku tekan jauh ke dalam pun, perasaan tentang impian itu selalu kembali ke permukaan hatiku. Impian itu ingin aku tengok, pelihara, dan rawat hingga ia menjadi nyata dan terwujud.
Impian itu, aku sendiri pun belum tahu bagaimana wujudnya. Impian itu sangat absurd, membuatku kebingungan mau memulai dari mana. Oh, aku punya banyak impian. Oh, tidak perlu banyak impian. Aku hanya ingin sebuah jati diri, di mana impian itu lah yang membentuknya. Hanya satu impian. Hanya satu tujuan.
Benar. Menurut pahamku, impian adalah tujuan. Bukankah dalam hidup selalu banyak pilihan? Jika kita telah memiliki satu tujuan, maka semua pilihan yang akhirnya kita pilih dalam hidup tentu mengarah pada satu tujuan itu. Jika kita tidak memiliki satu tujuan, maka hidup kita akan abstrak, dan bisa jadi kebahagiaan yang kita temukan di dalamnya juga abstrak.
Impian. Hah, aku semakin tersiksa dan lemah ketika satu sifat tipikal manusia yang kucoba buang jauh-jauh mengendap-endap masuk lagi ke dalam hatiku. Aku melihat seorang sahabat yang sudah semakin dekat dengan impiannya. Sungguh, aku turut senang atas apa yang telah ia raih. Aku mengucapkan selamat dan apresiasi kepadanya. Lalu, pikiran itu meracuni otakku begitu saja. Aku lepas kendali atas diriku, dan sifat yang tadi mengendap-endap itu kini muncul terang-terangan, tapi tentu saja hanya aku yang tahu. Konflik itu terjadi begitu saja dalam hatiku.
Ah, biar saja! Aku cuek! Aku tidak peduli!
Aku mencoba menjadi apatis bagi hatiku sendiri dan masih hidup dengan gaya yang sama, yang itu-itu saja, yang rutinitasnya monoton. Lagi-lagi, aku mengabaikan pemberontakan dalam hatiku, menyimpan lagi impian itu dalam kotak besi yang lalu kutanam jauh-jauh dalam hatiku. Namun impian itu terus memberontak, ia tumbuh menjadi besar dan semakin besar sampai kotak besi dalam hatiku tidak mampu menampungnya. Kotak besi itu pun pecah, dan si impian merangkak pelan tapi pasti menuju permukaan hatiku. Kini, di permukaan hatiku, impian itu memberontak dengan kerasnya.
Aku pun menyerah. Aku tak bisa lagi apatis bagi hatiku sendiri. Aku ingin hidup secara sederhana, tapi aku bahagia dengan tidak menjadi sederhana. Aku merasa lengkap dengan impian yang membuatku menjadi lebih kompleks, tidak sederhana.
Aku merelakan hatiku untuk impian itu, menyediakan ruang lebih banyak bagi impian itu. Ya, impian itu adalah milikku, aku sendiri yang telah menciptakannya untukku. Bagaimana bisa aku mematikan apa yang telah aku hidupkan dalam hatiku? Impianku telah menempati ruang tersendiri, istimewa, dalam hatiku. Kini, aku, hatiku, dan impianku telah menjadi satu.
Impian itu pun telah mewujudkan dirinya dengan lebih tidak abstrak. Sudah kubilang, ia merangkak keluar dari kotak besi menuju permukaan hatiku dengan pelan tapi pasti. Kini, kepastian wujudnya pun semakin jelas. Aku sudah bisa melihat satu impianku, satu tujuanku.
Aku memejamkan mata, tidak untuk tidur, hanya untuk menyambangi impian dalam hatiku. Kini impian itu tumbuh dengan suburnya. Aku telah siap menyiangi impian itu dengan harapan. Esok, aku akan mengarahkan hidupku menuju impian itu, agar impian yang saat ini masih hanya hidup dalam hatiku, suatu saat akan menempati dunia yang ku tinggali. Malam ini, aku harus tidur dulu untuk mengistirahatkan aku, otakku, pikiranku, dan hatiku agar mereka bisa bekerja sama lagi untuk mencapai satu visi yang sama, yaitu impianku. Jangan sporadis lagi, ya, unsur-unsur dalam diriku.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun