Buat yang belum tau budaya spill the tea itu apa, spill the tea atau yang lebih akrab dengan sebutan budaya spill merupakan suatu budaya buka-bukaan suatu kasus di media sosial (medsos).
Entah kenapa akhir-akhir ini, tren spill ini makin sering aja dilakuin para netizen di medsos macam Twitter, Facebook maupun Instagram. Kasus yang dibongkar pun bermacam-macam, ada kasus pelecehan seksual, terus kasus penipuan, utang-piutang, pemerkosaan, dan masih banyak lagi.
Baca juga: Budaya "Spill The Tea" dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Perundungan Online
Nah, ngomong-ngomong soal budaya spill the tea ini, kira-kira budaya ini tuh positif atau enggak sih? Buat yang penasaran sama jawabannya, silahkan baca ulasan di bawah ini.
Positif atau Negatif?
Kita bahas yang positifnya dulu yah. Positifnya budaya spill di media sosial ini tentunya bisa membuat kasus yang di-spill tersebut bisa saja lebih cepat ditindak oleh pihak berwajib (sesuai dengan prosedur yang berlaku tentunya) karena seperti yang kita tau, suatu kasus yang sensasional kalo udah di-share di medsos, potensi ramainya bakalan lebih gede aja sih kalo menurut saya.
Kalo dampak negatif dari budaya spill ini sendiri ada dua. Pertama, tukang spill rawan dituntut balik menggunakan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh (terduga) pelaku.Â
Baca juga: Spill The Tea Merebak di Twitter: Cyber Bullying atau Tidak?
Lalu yang kedua, tukang spill rawan di-bully juga para netizen kalo penyampaian spill-nya terkesan blunder atau kasus yang di-spill tersebut tau-tau terbukti fitnah seperti kasus spill oleh beberapa netizen terkait rumah sakit yang (katanya) meng-Covid-kan paksa para pasien pada beberapa bulan yang lalu.