Hidup saya benar-benar berbeda ketika saya menjadi seorang ibu. Perbedaan itu sangat kentara dari perubahan fisik, psikis, mental, serta pemikiran. Menjadi ibu memberikan pengalaman hidup yang membuat saya semakin menundukkan kepala, memandang bahwa setiap ibu adalah manusia hebat luar biasa. Dahulu saya tidak paham, mengapa Allah memberikan banyak sekali privilese kepada seorang ibu. Mengapa doanya terkabul, mengapa ladang pahalanya begitu luas, mengapa ibu menjadi madrasatul ula bagi generasi selanjutnya. Saat menjadi seorang ibu, saya baru memahami dan merasakannya satu per satu. Perempuan yang telah menjadi ibu adalah seseorang yang berbeda dari ketika ia masih menjadi gadis.
Ketika sudah memiliki bayi, perempuan tidak memiliki prioritas terhadap dirinya sendiri. Seluruh waktu dan tenaga seperti diberikan kepada bayinya. Untuk sekadar _me time_, sepertinya cukup sulit mengambil jeda. Sebab bayi newborn membutuhkan susu tiap jam sekali, 24/7. Sudah biasa jika ibu yang kelelahan hamil kemudian kelelahan melahirkan masih harus rela begadang, demi merawat bayinya. Saya tidak menggeneralisasi, akan tetapi, hal tersebut yang saya rasakan. Belum lagi lelah psikis sebab perbedaan pendapat dan tuntutan dari mertua atau orang tua yang semakin membuat bingung. Fisik yang lelah, ditambah pikiran yang tidak baik-baik saja sering menjadi penyebab baby blues bagi seorang ibu.
Jika hitung-hitungan, akan menambahkan rasa sakit dan perih, tidak ada obat. Namun jika meletakkan segala penat dan keluh pada sujud panjang, maka hati yang mulanya sempit menjadi lapang. Itulah mengapa, meski raga ini diberi makan, jangan sampai jiwanya masih kelaparan. Sebab ujian di dunia memang seperti itu, dunia tempat yang melelahkan. Namun hal melelahkan ini hanya akan terjadi sementara. Pun, jika diberikan amanah sebagai seorang ibu, hal tersebut patut disyukuri. Walaupun ujiannya luar biasa, namun rasa bahagia yang hadir mampu mengalahkan lelah yang bertumpuk. Terutama ketika melihat senyum manis dari buah hati kita. Di sini, peran suami sebagai pasangan juga sangat dibutuhkan.
Stigma bahwa merawat anak adalah kewajiban perempuan adalah stigma patriarkal. Merawat anak sejatinya adalah kewajiban kedua belah pihak. Kodrat perempuan adalah hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan menggantikan popok, menyuapi, memandikan bayi adalah tugas bersama. Jika ibu kelelahan sebab begadang menyusui, maka ayah jangan sampai tidak mengambil peran untuk menguatkan dan memeluk, menyuapi ibu, menyiapkan makan, membantu membersihkan rumah, bahkan mengurus bayi saat tidak sedang kerja. Sebab jika mengatakan lelah, semuanya lelah. Namun memang begitulah perjuangan memiliki buah hati. Oleh karenanya, penting ketika program hamil dibicarakan rencana masa depan. Siapa yang mengasuh dll.
Mungkin di awal memang terasa berat. Akan tetapi, satu tahun lagi, kita akan merindukan momen-momen ini. Momen ketika ia masih sangat bayi, masih hitungan bulan usianya. Momen ketika ia masih belajar berguling. Momen ketika ia belajar merangkak, mulai makan, mulai jalan, mulai berbicara dan lainnya. Hari-hari memang terasa panjang. Namun, waktu satu tahun itu cepat, amat cepat. Oleh karenanya, diperintahkan kepada kita untuk menikmati apapun yang ada di hadapan kita saat ini. Kita tidak sedang hidup di masa lalu. Kita juga tidak boleh terlalu mengandai-andai untuk masa depan, sehingga melupakan apa yang ada di hadapan sekarang.
Apapun yang terjadi, semuanya dihadirkan sebab kita kuat. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita selalu. Amin.Â
Tulungagung, 17 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H