Ulasan ini ditulis oleh Nurul Najmi. Publikasi ulang sudah mendapat izin dari sang penulis. Hak cipta tulisan tetap menjadi milik penulis asli.Â
Judul buku : Kepada Siapa Ilalang Bercerita
Penulis : Eki Saputra
Penerbit : Pastel Books
Cetakan : Cetakan I, Agustus 2022
Tebal buku : 348 halaman
"Tanah ini adalah darah dan napas kita.... Siapa kita ini? Kita tak lebih dari sampah yang diinjak-injak dan disingkirkan" (dikutip dari blurb Kepada Siapa Ilalang Bercerita).
Belasan tahun yang lalu, seseorang pernah mengatakan bahwa perempuan hampir tidak bisa hidup normal, hidup dengan aman dan nyaman, di lingkungan perkebunan sawit.Â
Saya pun mengamini itu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seorang atau sedikit perempuan tinggal di lingkungan perkebunan yang didominasi oleh para pekerja laki-laki.Â
Mereka jauh dari akses publik, fasilitas kesehatan (dan kecantikan), serta terisolasi dari komunitas sesama mereka. Ekosistem yang sangat rentan terhadap kesehatan fisik maupun jiwa, pun rawan terhadap potensi kejahatan aneka rupa.Â
Novel Kepada Siapa Ilalang Bercerita (KSIB) telah membawa saya kepada memori itu. Memori tentang rasa kelam, pekat, dan emosi amarah yang membuncah di dada setiap kali saya membaca dan mendengar kabar tentang nasib orang-orang di perkebunan.
Tersebutlah sebuah desa di pedalaman Sumatra bernama Lubuk Tebing. Desa di mana tanahnya menjadi pemicu konflik antara penduduk dan pemilik perusahaan sawit yang ingin menguasai lahan. Ada banyak keanehan yang terjadi. Kematian demi kematian, penemuan tengkorak di padang ilalang, juga hilangnya Puti Kasi, adik dari seorang aktivis desa yang telah banyak berkorban untuk membela kepentingan warga.
Nirwan, sang aktivis, ingin membuktikan bahwa tengkorak di padang ilalang tersebut bukanlah milik adiknya. Dia terus mencari dan ingin memercayai bahwa adik perempuannya masih hidup. Hingga satu demi satu rahasia Lubuk Tebing terkuak. Tentang kebohongan buruh-buruh pabrik, tentang keculasan para pejabat desa, dan tentang luka yang dialami oleh warga desa, khususnya para tokoh wanita di dalamnya.
KSIB sukses menancapkan kesan yang amat mendalam usai saya membacanya. Penulis membuat alur maju mundur, sehingga saya merasa sedang diajak bermain puzzle untuk menyusun rangkaian kejadian di desa. Untunglah penulis selalu menuliskan titimangsa di awal bab maupun sub-bab, sehingga otak visual saya langsung menggambarkan peta waktu yang membantu saya memahami urutan rangkaian kejadian.