"Sekalipun dia telah berdoa dengan sungguh-sungguh, namun Tuhan mempunyai rencana yang lain. Dia tetap tersekap. Jiwanya mulai gelap, dan kabut hitam membayang di hadapan mata. Pikirannya hanya dipenuhi oleh suatu perkara bahwa kebahagiannya telah dihancurkan oleh alasan-alasan yang tidak jelas." (Monte Cristo, Alexandre Dumas)
Hidup tak selalu berjalan mulus. Manusia tak pernah baik-baik saja. Masalah datang menghampiri nyaris setiap waktu dalam berbagai rupa dan bentuk. Entah masalah yang sederhana, sedikit rumit, Â atau malah sangat rumit. Satu-satunya yang membuat manusia bisa legawa menerima keadaan mereka jika masalah yang mereka hadapi itu beralasan, punya sebab-sebab yang jelas sehingga mereka bersedia memaklumi betapapun beratnya. Namun, Â bagaimanakah jika masalah itu justru tak pernah mereka bayangkan sebelumnya? Mengalami keadaan di luar nalar, gila, sangat aneh, dan begitu mengejutkan bagi mereka?
Itulah yang terjadi pada tokoh protagonis dalam novel The Count of Monte Cristo. Di dalam ruang yang gelap, pengap, dan lembab, Edmond Dantes dikurung tanpa alasan yang masuk akal. Ia dituduh sebagai corong pemberontak, anggota pendukung Napoleon Bonaparte yang di masa itu dianggap sebuah kejahatan berat sebab berusaha menyingkirkan kekuasaan Louis XVIII.
Seharusnya di hari bahagia itu Dantes merayakan pertunangannya dengan kekasihnya, Merchedes, yang segera akan dilangsungkan. Akan tetapi, takdir berkata lain, ia tiba-tiba saja ditangkap dan dikirim ke Puri If (Chateau d'If)--barangkali kalau di Indonesia mirip-miriplah dengan Pulau Buru, tempat para Tapol dikumpulkan.
Pemuda piatu dan miskin yang sehari-harinya bekerja sebagai juru mudi--ia hampir diangkat menjadi kapten--di kapal dagang itu seketika hidupnya jungkir balik. Dari gedung yang bercahaya dan ramai, Â berganti menjadi ruang bawah tanah yang sempit, lembap, dan sunyi senyap. Sehari-hari ia mesti bergumul dengan perasaan bingung, cemas, dan ingin mati saja.Â
Sementara itu, di luar penjara kehidupan bertolak belakang. Â Orang-orang yang tega memfitnahnya menari-nari di atas luka, bahkan di antaranya ada yang menikahi tunangannya, sedangkan sang jaksa licik yang mengirimnya ke penjara pun bernasib tidak kalah mujur.Â
Demikianlah, kegelapan yang dialami Dantes. Alexandre Dumas secara simbolis melukiskan kegelapan sebagai bentuk ketidakmampuan tokohnya membaca situasi yang dihadapi dan dibenturkan masalah yang sebelumnya tak pernah mereka duga sama sekali.Â
Peristiwa semacam ini bukan fenomena yang hanya dapat ditemui dalam fiksi, bahkan di dunia nyata, kegelapan penyelesaian kasus hukum sudah sering terjadi. Rasanya tidak sulit menemukan peristiwa serupa di tengah-tengah masyarakat kita. Sama seperti Dantes, yang dijebak oleh kawan-kawannya sebagai pemberontak lalu diamini oleh jaksa hukum yang licik, di masa lalu negara ini juga pernah menangkap orang-orang yang 'dituduh' berideologi berseberangan dengan Pemerintah. Mereka dihukum, dipenjara, dan dihilangkan tanpa pengadilan dan bukti yang layak.
Belum lagi jika kita bicara kasus-kasus 'kegelapan hukum' yang lain, misalnya pembungkaman aktivis dengan cara mengkriminalisasi mereka atau penghilangan paksa orang-orang yang mencoba memperjuangkan haknya. Sebetulnya kita tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh ke belakang. Dewasa ini hanya dengan mengetik kata kunci 'salah tangkap' di kolom pencarian Google, maka kita akan segera menemukan berbagai artikel berita yang mengulas peristiwa semacam itu.
Walau bagaimanapun, sudah seharusnya kita akui, di luar sana masih banyak Dantes-Dantes lain. Mereka malang karena dihukum atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Sedihnya lagi, akhir hidup mereka kebanyakan tak seberuntung Dantes yang dapat menjelma menjadi seorang Monte Cristo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H