Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pemburu Hantu, Feminisme, dan Komedi dalam "Ghostbuster" (2016)

25 Desember 2019   12:53 Diperbarui: 25 Desember 2019   14:08 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Headline koran New Jersey yang sempat mengalahkan berita soal World War one (1916) (sumber: bbc.uk)

Malam menyambut natal, sebuah kanal tv swasta yang memang terkenal sering memutar film bioskop (lawas) memilih judul Ghostbuster (2016) untuk ditayangkan dari pukul 8. Judul yang sebetulnya familiar di masa kanak-kanak saya dahulu, dan jika ingatan saya tidak salah,  film pemburu hantu ini diperankan oleh sekelompok pria. Lalu bagaimana dengan reboot-nya Ghostbuster ini?

Film arahan Faul Peig (A Simple Favor) ini masih mengambil konsep cerita yang mirip pendahulunya. Namun, dengan beberapa perubahan mendasar, terutama pemilihan tokoh-tokohnya yang diganti perempuan-perempuan tangguh. Gara-gara keputusan inilah, akhirnya mengundang reaksi negatif dari para penggemar pemburu hantu. Bahkan awal peluncuran trailernya telah mendapatkan nilai terendah di situs web IMDB maupun Youtube.

Film ini bercerita tentang dua sahabat Erin Gilbert (Kristen Wiig) dan Abby Yates (Melissa McCharty) yang percaya hantu. Mereka sempat menulis sebuah buku tentang paranormal. Erin yang akan mendapatkan jabatan baru di universitas terkemuka harus mendapatkan masalah gara-gara buku itu muncul kembali di laman Amazon.

Pertemuan Erin dengan Abby dan  seorang ilmuwan bernama Jillian Holtzmann (Kate McKinnon)justru mengundang masalah bagi Erin usai video penangkapan hantu museum pertama mereka beredar di dunia maya. Dipecat dari kampus tempat ia bekerja, Erin pun memutuskan bergabung dengan dua sahabatnya itu mendirikan kantor 'Konduktor dari Pemeriksaan Metafisik' untuk membuktikan bahwa keberadaan hantu memang ada.

Setelahnya, kelompok pemburu hantu ini memiliki anggota baru Patty Tolan (Leslie Jones), seorang petugas MTA (Metropolitan Transportation Authority) dan resepsionis aneh si Kevin (Chris Hemsworth). Dalam perburuannya, mereka pun tidak sadar akan berhadapan dengan seorang okultis jahat yang tengah merencanakan kiamat lewat hantu yang ia bangkitkan.

Ghostbuster sedikit membuat saya teringat Hidden Figure (2016), sama-sama diperankan oleh wanita-wanita unik. Bedanya, Hidden Figure tentang diskriminasi wanita kulit hitam, sedangkan film ini hanya usaha sekelompok perempuan mendapatkan pengakuan.

Film fantasi ini sejujurnya memiliki alur membosankan untuk saya pribadi, terlebih bentuk-bentuk hantu (modern) yang ditampilkan terkesan konyol seperti pendahulunya. Mungkin karena film ini juga mengusung komedi, jadi hantu dibuat seperti boneka-boneka bodoh yang asyik dikejar dan disetrum lewat teknologi buatan para pemain. Lupakan soal judul Pemburu Hantu,  saya sendiri malah menikmati dialog antar tokoh, kadang-kadang membuat saya tertawa geli sekaligus  terhenyak memahami pesan tersirat di dalamnya.

Ada banyak adegan komedi yang membuat film ini layak dinikmati, mulai dari tingkah Erin di ruang kelas saat seseorang pria menanyakan perihal buku karangannya. Dialog Erin dan Abby saat merekrut Kevin.  Dan juga peran Kevin yang tak kalah konyol, sialnya saya masih terbawa ingatan soal peran Chris Hemsworth sebagai Thor.

Dari semuanya, yang paling memorable menurut saya adegan Patty melompat di tengah kerumunan konser musik rock dan tak ada satupun yang menangkapnya, kemudian ia berkata, "OK, I don't know if it was a race thing or a lady thing, but I'm mad as hell."

Joke ini merupakan sindiran penting terhadap fenomena diskriminasi ras maupun gender yang masih kerap terjadi sampai saat ini. Walaupun tidak seekstrim dahulu, namun sekat-sekat tak terlihat itu masih nyata adanya. Terbukti sorotan negatif yang didapatkan film ini karena mengganti tokoh-tokohnya menjadi kelompok perempuan, entah karena sentimen gender atau hanya karena kecintaan fans pada film sebelumnya. Faul Peig cukup berani mendobrak itu, meskipun harus berakhir dengan kerugian cukup besar juga.

Kata-kata Erin saat menghadap walikota, "Jangan seperti walikota Jaws!" membuat saya tertawa sekali lagi. Seperti yang kita ketahui walikota dalam film Jaws digambarkan seperti badut yang ketakutan kehilangan pendapatan dari wisata pantai di kotanya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun