Pada momentum pilkada serentak yang akan dilaksanakan di tahun 2018, pasti kita akan sering mendengar istilah dinasti politik. Dinasti politik merupakan fenomena munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala daerah yang sedang berkuasa saat ini. Pada praktiknya, kekuasaan yang dimiliki dengan modal ekonomi, politik, dan mobilisasi massa sangat mudah untuk diraih dengan simpati rakyat. Hal tersebut mengindikasikan kekuasaan yang hanya bergulir pada golongan tertentu yang akhirnya tertahannya mobilisasi sosial. Sehingga menjadikan yang kuat dan bermodal bertambah kuat sedangkan orang yang lemah dan tidak bermodal menjadi bertambah lemah.
Kasus dinasti politik sebenarnya telah lama dibangun sejak masa orde baru, namun akhir ini baru bermunculan mulai dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah hingga tertangkapnya Bupati Klaten Sri Hartini oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terkait promosi jabatan atau jual-beli jabatan dalam bentuk lelang beberapa bulan lalu. Fakta ini memberikan kita contoh bagian kecil tentang proses dinasti politik yang terjadi di negeri ini, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kota/kabupaten yang tersebar dalam institusi pemerintahan baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kesempatan ini pun dijadikan sebagai "lahan basah" bagi penguasa saat ini.
Istilah dinasti politik dalam Islam telah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah. Boleh dikata pada dinasti Bani Umayyah benih-benih dinasti kekeluargaan tersubur yang disebut sekarang sebagai era monarki atau kekuasaan turun-temurun. Kemudian dilanjutkan oleh dinasti Abbasiyah. Runtuhnya ke dua dinasti tersebut disebabkan oleh faktor politik, ekonomi dan sebagainya. Salah satunya adalah perilaku atau sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga menciptakan budaya korupsi dan terjadinya persaingan antar golongan yang ingin merebut kekuasaan di tangan kepemimpinan tersebut.
Berbagai fenomena dinasti politik yang menjamur pada momen politik saat ini. Mewajibkan kita harus sadar sejak dini. Sentralisasi kekuasaan yang terpusat pada satu keluarga tidak dapat dilihat dalam aspek politik saja namun juga bagaimana dampak sosiologis yang akan terjadi dalam realitas masyarakat. bahkan menjadi kekhawatiran kekuasaan tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial maupun ekonomi untuk masyarakat banyak. Sehingga menciptakan budaya korupsi dan terbukanya angka pengangguran disebabkan kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang dalam satu keluarga tanpa memberi ruang kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi.
Korupsi yang terjadi dalam pemerintahan dinasti semakin nampak ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di otak-atik. Dimana pengadaan tender barang dan jasa diatur sedemikian rupa untuk memberikan ruang empuk bagi kelompok yang mendukung pejabat saat itu. Perbuatan tersebut dapat merusak tatanan sosial sekaligus merusak citra pemimpin itu sendiri beserta keluarganya.
Belum lagi terputusnya regenerasi dalam kepemimpinan di sebabkan penguasa terus memperjuangkan kekuasaannya. Penguasaan kekuasaan hanya berputar pada saudara, istri, anak bahkan keluarga. Sehingga banyak generasi yang hilang kesempatan dalam menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam mengabdi kepada bangsa dan Negara. Â Â Â
Karena itu, distribusi kekuasaan mutlak adanya agar dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Memberi keluasan kepada figur atau sosok pemimpin yang disenangi oleh masyarakat banyak dengan tidak memandang apakah ia memiliki modal partai politik atau tidak sama sekali. Sehingga tidak hanya kelompok yang kuat dan punya akses besarlah yang dapat menguasai kekuasaan.
Akhirnya politik dinasti maupun bentuk dinasti politik bukanlah suatu yang salah. Kesalahan tersebut hanyalah jika kepemimpinan sebuah Negeri atau daerah jatuh ke tangan pemimpin yang tidak memiliki kualitas dan tanggung jawab dalam memimpin. Bukankah tuhan menyuruh hambanya untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya agar dapat menetapkan hukum di antara manusia dengan seadil-adilnya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H