Bangunan itu adalah saksi bisu ribuan tahun peradaban manusia. Pondasinya kokoh berdiri sejak tahun 537 silam hingga kini, di kala kedigdayaan kerajaan dan pemerintahan negara dunia silih berganti runtuh dan berdiri. Keajaiban arsitektur yang luar biasa dapat kita nikmati dalam setiap sudut tempat yang megah itu.Â
Namun, diatas itu semua, keindahan dan titik takjub bangunan itu terukir dalam kubah raksasa berdiameter 37 meter, dimana Lafadz Allah, simbol kebesaran umat Islam, dan sosok Yesus Kristus dalam kepercayaan Kristiani, terletak bersandingan.Â
Pada tanggal 10 Juli 2020, Mahkamah Agung Turki dalam amar putusannya menyetujui rencana pemerintahan Presiden Erdogan untuk "merestorasi" fungsi Hagia Sophia dari Museum menjadi Masjid. Keputusan minggu lalu ini langsung menjadi bola panas. Perdebatan pro dan kontra pun mulai bermunculan-- kebanyakan menyangkut sensitivitas agama. Rakyat Turki dan juga banyak umat muslim di seluruh bagian dunia merayakan keputusan itu.Â
Di sisi lain, kecaman datang dari banyak pihak. UNESCO, dalam laman resminya, "menyesalkan keputusan pemerintahan Turki yang dibuat tanpa adanya diskusi sebelumnya, dan menyerukan preservasi nilai-nilai universal sebuah situs cagar budaya dunia." Paus Fransiskus, dalam Misa Kudus di Vatikan, menyatakan kesedihannya, dan mengatakan bahwa Hagia Sophia sendiri juga diambil dari nama Santa Sophia. Pemerintah Amerika Serikat mendesak agar pemerintahan Turki tetap membiarkan situs itu sebagai simbol keberagaman yang bisa diakses semua pihak.Â
Walaupun konflik Hagia Sophia nampak kental dengan perbedaan agama dan kepercayaan seperti diributkan saat ini, nyatanya dalam kilas balik sejarah, fundamental permasalahan bukan murni bersumber pada keyakinan spiritual manusia. Tarik ulur konflik yang sesungguhnya adalah dinamika ekonomi dan politik yang telah mengakar dalam peranan Kota Istanbul sejak dulu.Â
Akan menjadi sebuah perdebatan yang sangat kontroversial dan memecah-belah apabila terus mempertentangkan isu Hagia Sophia dari sudut pandang agamis. Dalam hal ini, dinamika Perang Dagang yang terjadi berabad-abad silam merupakan pemicu utamanya.Â
Ya, Perang Dagang. Istilah itu memang baru populer dalam beberapa tahun belakangan untuk mendeskripsikan perseteruan dan ekspansi ekonomi Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu. Pun demikian, Perang Dagang bukanlah fenomena modern.Â
Perang Dagang antar bangsa telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam; dan Kota Istanbul, atau dikenal dengan nama Konstantinopel dulu, merupakan pusaran salah satu Perang Dagang terhebat dalam sejarah manusia. Konflik agama, dalam kaitannya, hanyalah pecahan kecil dari gejolak politis-ekonomis tersebut. Â
Meninjau dari segi geoekonomi, Konstantinopel terletak strategis di antara dua benua Eropa dan Asia. Di masa kejayaannya, Konstantinopel menjadi jantung perdagangan dunia; pelabuhan pusat supply-chain komoditas primer dunia seperti rempah dan tekstil, Boleh dibilang, Konstantinopel adalah wujud awal integrasi pasar global, dimana ia berhasil menyambung daratan jalur sutra dan lautan.Â
Lantas apa hubungannya dengan Hagia Sophia dan sisi agama? Dapat kita lihat sebuah pola jelas yang dilakukan kerajaan masa lampau untuk menandai kekuasaan mereka.Â