Negri Impian Dalam Angan
Di tengah gemerlap Jakarta yang tidak pernah tidur, ada sebuah kafe kecil di ujung gang yang selalu sepi. Di sinilah Fajar, seorang jurnalis muda dengan idealisme tinggi, sering duduk merenung. Hari itu, langit tampak mendung, mencerminkan suasana hati Fajar yang sedang terombang-ambing oleh berita-berita yang semakin memprihatinkan.
Fajar mengamati sekelilingnya, di mana pencakar langit bertumbuh pesat, namun di sisi lain, kemiskinan dan ketidakadilan merajalela. Ia teringat artikel-artikelnya tentang korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, dan bagaimana rakyat sering menjadi korban dari permainan politik yang tak berujung. Setiap berita baru yang ia terima seakan membenarkan anggapan bahwa impian besar bangsa ini semakin menjauh.
Kafe kecil itu adalah tempat di mana ia mengumpulkan data dan ide-ide untuk tulisannya. Satu hari, saat menunggu pesanan kopi, ia bertemu dengan Eko, seorang aktivis senior yang telah berjuang selama bertahun-tahun. Eko mengeluh tentang bagaimana harapan untuk perubahan seolah kian pudar. "Dulu, kita percaya pada perubahan," ujar Eko dengan nada sedih, "Tapi sekarang, semua terasa sia-sia. Hanya sedikit yang peduli, dan banyak yang lebih tertarik dengan kepentingan pribadi."
Fajar mendengarkan dengan saksama, mencoba mengumpulkan benang-benang cerita yang bisa ia jalin menjadi artikel yang berdampak. Ia tahu betul bahwa rakyat telah banyak berkorban untuk mencapai negeri yang lebih baik, namun tampaknya cita-cita itu semakin terabaikan. Kesenjangan sosial semakin lebar, dan pejabat yang seharusnya melayani rakyat malah memperkaya diri mereka sendiri.
Di sisi lain kota, di gedung pemerintahan yang megah, para pejabat tengah sibuk dengan rapat-rapat yang sering kali hanya menghasilkan retorika kosong. Di ruang rapat, diskusi tentang proyek-proyek besar yang konon akan membawa kemajuan, namun kenyataannya justru menguntungkan segelintir orang. Sementara rakyat biasa berjuang dengan harga barang yang melambung dan fasilitas umum yang semakin memburuk.
Ketika Fajar kembali ke kafenya, ia melihat sebuah poster yang dipasang di dinding: "Indonesia Emas 2045". Poster tersebut menggambarkan sebuah visi besar tentang Indonesia yang makmur dan berkeadilan. Namun, Fajar merasa bahwa visi itu hanya menjadi impian kosong jika tidak diikuti dengan tindakan nyata. Ia memikirkan betapa banyaknya janji-janji yang tidak ditepati, dan bagaimana kepentingan politik sering kali mengalahkan kepentingan rakyat.
Di luar kafe, hujan mulai turun. Fajar merasakan kepedihan dalam hati saat ia melihat rakyat yang berjalan di bawah hujan tanpa perlindungan. Mereka adalah simbol dari perjuangan dan harapan yang tak kunjung tercapai. Ia merasa tergerak untuk melakukan sesuatu. Mungkin, ia tidak bisa mengubah keadaan sendirian, tetapi ia percaya bahwa suara-suara kecil seperti tulisannya bisa membangkitkan kesadaran.
Fajar duduk di meja kecilnya, menulis dengan semangat yang baru. Ia menyusun kalimat demi kalimat, berusaha mencurahkan rasa hatinya tentang betapa pentingnya kejujuran, keadilan, dan dedikasi untuk melayani rakyat. Tulisan itu mungkin tidak akan langsung mengubah keadaan, tetapi ia yakin bahwa dengan usaha dan ketulusan, sedikit demi sedikit, negeri ini bisa kembali pada jalan yang benar.
Di tengah perjuangan dan kesulitan, ada harapan yang tak boleh padam. Mungkin impian untuk sebuah negeri yang lebih baik belum sepenuhnya runtuh, tetapi diperlukan usaha bersama untuk membangunnya kembali. Dengan tinta dan kertas, Fajar berharap bahwa suara rakyat akan terdengar lebih keras, dan cita-cita untuk Indonesia yang lebih baik tidak akan menjadi sekadar kenangan di masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H