Aku berkata padamu tentang orang asing.
"Aku tak paham. Kau lupa, aku terlalu dangkal memahami bahasamu" begitu jawabmu.
"kau tak perlu paham. Anggap saja saat ini aku sedang menganggapmu sebagai dinding yang aku ajak bicara. Dengarkan saja."
Kau mungkin kaget, tega sekali aku menyuruhmu menganggap dirimu seolah dinding, tanpa nyawa, tanpa nama.
Tapi kau berbalik tanya, " Apa warnaku?"
Aku diam sejenak, menutup mata, dan berpikir...
Sebuah bayangan dinding kamarku yang ingin ku warnai dengan cat warna ungu muda, hijau, atau putih. Tapi tiba-tiba sebuah payung berwarna biru muda menyapaku. Lalu aku ingat hujan, dan aku ingat, aku suka melihat langit.
"Biru langit" ceria dan cepat-cepat kujawab apa warnamu, takut bayangan baru mendatangiku, dan aku kawatir jika tanpa sengaja aku akan menyebut warna hitam untukmu, :-)
"Lalu, apa arti orang asing? Senang rasanya. Sepertinya kau sudah benar-benar asing." Kau masih saja bertanya meski aku menganggapmu dinding tanpa suara.
"Ya, asing. Kau dan aku memang saling asing. Karena kita bukan muhrim. Apa sekarang kau mengerti, Biru langit?" kini aku yang tersenyum. Senyum termanis untukmu.
Angin musim gugur menarikan dedaunan rimbun di taman rumahku, burung malam juga sudah bernyanyi. Sesekali jangkrik mengiringi percakapan kita.
Kutinggalkan bangku taman dan mengintip rembulan dari balik jeruji malam. Saatnya terlelap. "Terimakasih sudah mendengarkan" bisikku yang mungkin tak akan sampai padamu.
" Biru muda dan langit adalah dua kombinasi yang sangat ku sukai. Terimakasih sudah benar menebakku. Di tepi Tamsui aku biasa menatap langit" katamu di salah satu mimpiku.