Bunyi gemuruh itu kian nyaring. Terdengar suara bising suatu mesin yang meraung-raung. Bukan suara pabrik atau sejenisnya, aksipembantaian hutanlah penyebab suara itu. kian sore suara bising itu sedikit demi sedikit mulai sirna digantikan suara gemuruh dari gelondongan kayu yang mulai di angkat ke truk-truk. Merekalah orang-orang biadab yang tak punya hati dan pikiran demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Lelaki itu mengintip ke luar jendela rumahnya melihat truk-truk besar beriringan melewati pemukiman penduduk. Akh sungguh hatinya amat marah, pohon-pohon yang di tanami nenek moyangnya dahulu, sekarang di kuasai orang asing. Menebang seenaknya tanpa mempersoalkan dampak yang diberikan untuk warga di sekitar hutan itu. Ini ulah para pemerintah bodong yang semena-mena saja memberikan izin kepada perompak hutan itu.
Berkali-kali warga hutan ini memprotes pembantaian hutan mereka. Cukup mencengangkan, mereka punya surat izin dari dinas perhutanan untuk melancarkan aksinya itu. Apa mau dikata, mereka tak bisa di berantas.
“Kurang ajar!”
Lelaki itu sudah mulai geram, matanya tajam, tangannya mengepal. Seakan-akan hendak meninju sang kelakar itu. Bagaiman tak geram, selama ini ia dan murid-muridnyalah yang kembali menanami pohon di hutan setelah pohon-pohon besar di babad habis. Dengan mengambil dana dari koceknya sendiri. Pernah sekali waktu ia mengancam para penebang hutan itu, lagi-lagi ia terhenti setelah disodorkan surat perizinannya. Pelaporan surat izin inipun sangat pelit dan berbelit. Pengajuan penangkapan yang ia ajukan setahun yang lalu belum juga di tanggapi.
**
Lelaki itu benama Ibra. Ia bukan warga asli daerah ini melainkan orang merantau yang di tugaskan negara untuk mengajar di daerah terpencil. Ia bertugas di salah satu SD sebagai guru. Pagi-pagi buta ia sudah berangkat ke sekolah. Jarak dari rumahnya menuju sekolah yang membuatnya berangkat mengajar lebih pagi. Ia cukup prihatin dengan keadaan di daerah tempatnya bertugas. Warga disini kurang pendidikan, bayak dari merek yang buta tulis, itu pulalah yang membuat warga di bohongi orang asing yang mencuri kayu-kayu meraka.
“Pak, orang-orang itu ngambil kayu-kayu kita buat apa sih Pak?” tanya salah satu murid Ibra di kelas.
“Untuk di jual, di impor ke luar negeri! Mereka itu orang-orang yang serakah, kalian tahukan apa itu serakah? ”
“Kalau hutan kita ditebangi terus kat orang-orang itu, macam mana pule nasib kite ni Pak?”
“Seperti yang sudah kemarin Bapak ajarkan, bile hutan gundul, akan terjadi longsor, kekeringan, iekeh? Kalian pasti masih ingat!”
“Pakcik, Pakcik!”
“Iya Burhan? O iya! Perlu di ingat lagi, jika ada di sekolah, kita harus menggunakan bahasa indonesia, tak boleh bahasa melayu! Kalian mengerti apa yang Bapak cakap?”
“Itu Bapak pakai bahasa melayu? Hehe” murid-murid menertawainya.
“Hehe,,Bapak hanya mengetes seberapa peka kalian terhadap bahasa indonesia. Baik, ada apa Burhan?”
“Pak, kemarin Burhan pergi ke hutan dengan paman, di sana ada lahan yang sudah gundul tak ada pepohonan lagi?”
“Kita tanami saja lagi Pak!” murid-murid bersahutan,
“Tenang-tenang! Besok kita pergi kehutan untuk menanam pohon!”
“kenapa tak sekarang saja Pak?”
“Bapak belum beli bibit pohonnya Bur. Jangan lupa besok bawa peralatan tananamnya!”
Hutan kalimantan mulai di babad habis. Ibra tak diam berpangku tangan, ia menanami kembali hutan yang sudah terlanjur gundul. Informasi dari murid dan wargalah yang memberi tahu ibra tempat di mana saja yang sudah tidak ada pepohonan lagi. Hari ini sepulang mengajar, ia pergi ke pasar. Mambeli cukup banyak bibit pohon. Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah muda ke pada penjual.
“Buat di tanem di hutan lagi yah?”
“Iya pak, tadi baru dapet laporan dari murid.”
“Emang dasar kurang ajar itu orang-orang. Kamu harus sapu bersih mereka Bra, jangan Cuma nanemin itu hutan aja! Lama-lama mereka semakin ngelunjak!”
“Bantu do’anya ya pak! Saya sudah berusaha semampu saya!”
Belum beranjak dari penjual itu. Sorak-sorakwarga di pasar memuncah melihat truk-truk pengangkut kayu lewat di depan mereka. Sumpah-serapah terlontar dari mulut mereka, hujam hujatan bercampur emosi menjadi api yang mengobar.
“Nah, nah itu orangnya. Kalau Aku jadi presiden, sudah tak gantung satu persatu mereka...” logat batak begitu melekat dari suara penjual bibit pohon yang bersungut-sungut emosi.
MataIbra membidik salah satu penumpang truk itu, seseorang yang menjadi biang keladi masalah ini, ia berwajah bule memakai topi ala bangsawan inggris, menebar senyuman kebesaran dan bualan asap yang terus mengepul dari mulutnya semakin membuat Ibra berdengus-dengus sengit melihatnya. Rasa kebenciannya semakin menggunung. Ibra membayangkan kejadian-kejadian lalu.
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H