Beberapa hari yang lalu penulis membaca sebuah tajuk di halaman utama Metropolis-Jawa Pos mengenai penunggak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) di kota Surabaya yang akan didenda dan disita. Kedua tindakan tersebut adalah tindakan penegakan hukum (law enforcement), yang akan diterapkan kepada penunggak PBB oleh pihak Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Surabaya, selaku pemungut pajak daerah, dalam hal ini adalah pajak kabupaten/kota. Berdasarkan UU Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD), terdapat sebelas jenis pajak kabupaten/kota, salah satunya adalah PBB, khususnya PBB Perkotaan dan Pedesaan (PBB P2), sedangkan PBB objek-objek khusus masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sebenarnya PBB P2 baru menjadi kewenangan semua Pemerintah Daerah di tahun 2014, jadi di tahun ini belum semua Pemerintah Daerah di Indonesia mempunyai kewenangan atas PBB.
Kota Surabaya memungut dan mengelola PBB sejak tahun 2011, dengan segala “ketidaksiapannya” bahkan menurut penulis agak sedikit terburu. Seperti halnya kebanyakan Pemerintah Daerah, seringkali berpikir bahwa pengalihan PBB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, hanya menyangkut pada uang PBB itu sendiri dan administrasi yang berkenaan dengan PBB. Namun, yang sering dilupakan adalah beberapa mekanisme sekaligus perangkat yang harus disiapkan yang berkenaan dengan pelayanan kepada WP, seperti mekanisme pengurangan dan keberatan, juga mekanisme yang berkaitan dengan tindakan law enforcement, karena bagaimanapun pajak adalah pungutan yang bersifat memaksa (berdasarkan undang-undang) yang tidak terlepas dari tindakan law enforcement.
Kembali kepada tindakan denda dan sita terhadap penunggak PBB, yang mana pengenaan denda 2% per bulan maksimal 24 bulan, bukan hal yang baru lagi, karena sejak pemberlakuan PBB denda itu sudah dikenakan. Bagaimana dengan sita? Perlu diketahui penyitaan terhadap asset Penanggung Pajak sebenarnya merupakan salah satu dari serangkaian tindakan penagihan pajak, yang diawali dengan penerbitan Surat Teguran/Peringatan, kemudian penyampaian Surat Paksa, Penyitaan dan berakhir sampai pelelangan aset yang disita, jika Penanggung Pajak masih belum melunasi tunggakan pajaknya. Sebenarnya yang menjadi critical point di tindak penagihan ini justru adalah penyampaian Surat Paksa (Surat Perintah Membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak), karena Surat Paksa inilah yang memberikan hak eksekutorial untuk melakukan tindak penagihan selanjutnya, seperti penyitaan yang dapat dilanjutkan dengan pelelangan.
Penyitaan dalam penagihan pajak dilakukan untuk mendapatkan jaminan pelunasan hutang pajaknya (bedakan dengan penyitaan yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan, yang mana sita dilakukan untuk menyelamatkan barang bukti). Oleh sebab itu, pemilihan aset yang disita mempertimbangkan nilai aset dan nilai hutang pajaknya. Dengan kata lain harus ada kewajaran/kesebandingan terhadap nilai aset yang disita dengan hutang pajaknya. Tindakan penyitaan terhadap penunggak pajak PBB tidak harus dilakukan atas objek PBB itu sendiri, tapi bisa terhadap aset lain yang sebanding dengan nilai hutang pajaknya. Pengertian ini yang penulis perlu sampaikan, agar tidak terjadi kesalahan yang mendasar mengenai hakekat penyitaan dalam penagihan pajak, yakni untuk jaminan pelunasan hutang pajak. Jadi secara ekstrem seandainya tunggakan PBB-nya hanya satu juta rupiah, jangan melakukan penyitaan terhadap objek PBB yang nilainya ratusan juta atau milyaran rupiah. Tentunya ini sangat berlebihan dan tidak wajar. Bisa jadi penyitaan dilakukan atas motor atas aset lainnya yang sebanding/wajar nilainya, sehingga apabila penyitaan ini harus dilanjutkan dengan pelelangan tidak akan merugikan pihak Penanggung Pajak.
Masalahnya sekarang, sepengetahuan penulis, selama ini jangankan penyitaan, penyampaian Surat Paksa (yang memberikan hak eksekutorial terhadap tindakan penagihan selanjutnya) terhadap para penunggak PBB saja belum pernah dilakukan, bagaimana penyitaan bisa dilakukan. Tindakan penagihan pajak daerah, khususnya di Pemerintah Kota Surabaya, masih sebatas Surat Peringatan I, Surat Peringatan II dan Surat Peringatan III, yang berarti bahwa penyitaan terhadap penunggak PBB masih terbatas sebagai wacana saja. Daripada pihak DPPK Kota Surabaya hanya melontarkan sesuatu yang masih sebagai wacana, sebaiknya melakukan suatu tindakan nyata dalam memungut dan mengelola pajak daerah ini, seperti memperbaiki pelayanan, misalnya memberikan kemudahan serta percepatan waktu penyelesaian pengurangan dan keberatan. Di samping itu memberikan sosialisasi dengan metode yang lebih kreatif dan mutakhir mengenai pajak daerah ini kepada masyarakat, supaya masyarakat Wajib Pajak lebih paham tentang hak dan kewajiban perpajakannya, khususnya pajak daerah yang banyak jenisnya itu, meski tidak harus door to door seperti yang disarankan oleh Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono, karena akan lebih makan waktu dan tidak efektif, dengan tingkat resistensi yang tinggi. Selain itu hal tersebut akan sangat membebani pihak DPPK selaku pemungut dan pengelola pajak daerah, mengingat bukan hanya PBB yang menjadi tugas mereka. Masih ada 10 jenis pajak kabupaten/kota lain, yang harus ditangani dengan jumlah personil yang sangat terbatas dan sistem yang belum sempurna, padahal UU PDRD mengharuskan mekanisme pajak daerah ini sama dengan pajak pusat secara garis besar, karena UU PDRD ini “menjiplak” Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang menjadi ketentuan formil pajak pusat. Sedangkan UU PDRD ini tidak hanya merupakan ketentuan formil, tetapi juga ketentuan materiil pajak daerah.
Bandingkan dengan Direktorat Jenderal Pajak, selaku pemungut pajak pusat, secara jumlah dan kualitas personil serta sistem yang lebih sempurna, yang nota bene jenis pajak yang dipungut tidak sebanyak pajak daerah dengan mekanisme “yang dipaksakan” sama. Bisa dibayangkan sangatlah berat tugas teman-teman DPPK ini. Apapun kondisinya, penulis mengangkat topi buat teman-teman di DPPK Surabaya, semoga tetap semangat dalam keterbatasan yang ada. Semoga pelayanan, sosialisasi dan law enforcement pajak daerah ini bisa berjalan seiring dan seimbang, sehingga penyitaan terhadap penunggak pajak daerah tidak hanya terbatas sebagai wacana saja, yang berujung tercapainya target penerimaan pajak sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah, yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bisa tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H