"Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." ( Al- A’raf :56).
UNESCO baru-baru ini menegur KLHK untuk menghentikan proyek pembangunan taman komodo di Taman Nasional Komodo (TNK). Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun 2020 lalu, masyarakat Indonesia secara massif menolak proyek tersebut karena dianggap bisa mengancam keberlangsungan hidup komodo. Pembangunan proyek tersebut juga dinilai hanya menguntungkan elit pengusaha di belakang pemerintah yang selalu siap mensupport kebutuhan-kebutuhan para elite politik dalam proses pencalonannya atau biasa disebut oligarki. Hal itu akhirnya berdampak pada melonjaknya keraguan dari masyarakat terkait kinerja KLHK sebagai eksekutor untuk konservasi SDA setelah kemelut ini terjadi.
Namun, sepertinya masyarakat kita lupa akan pandangan tentang alam yang dibedakan menjadi dua, fisis posibilis dan determinis. Hari ini, KLHK jelas-jelas sudah berhasil menciptakan serta melestarikan lingkungan hidup khususnya bagi pengusaha, karena memang pandangan yang digunakan oleh KLHK adalah fisis posibilis dengan tujuan rente ekonomi. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran mereka di bawah Kemenkomarves pada tahun 2014 kemarin. Selain itu, KLHK juga memiliki fungsi sebagai pengelola barang milik/kekayaan negara yang dalam hal ini berkaitan dengan alam.
Ketika seluruh dunia mulai mengganti pandangannya menjadi fisis determinis yang selanjutnya melahirkan eco-feminism dalam pengembangan ekonominya, Indonesia justru memilih jalan lain. Hal itu tentu dikarenakan pandangan dunia hari ini sudah terlalu kuno, berbeda dengan Indonesia.Â
Fisis determinis dulu digunakan kerajaan-kerajaan di nusantara dalam membangun peradaban mereka, bahkan tiap-tiap kerajaan mengajarkan untuk menghargai alam dengan ajarannya masing-masing. Mulasara Buana dan Atassadur Adammakna adalah contoh kecil bahwa bangsa kita sejak dulu menganut paham fisis determinis dalam pembangunan peradabannya. Hal itu haruslah ditinggalkan mengingat peradaban terus berkembang menuju jaman yang baru.
"Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan" Kamsidi Samsuddin
Terobosan ini justru seharusnya diapresiasi sebagai kinerja yang baik. Negara kita bahkan berhasil membuktikan dengan prestasi ciamik sebagai negara yang paling rajin menyumbangkan polusi udara. Tidak cukup sampai di situ, carbon trading yang sudah dijalankan oleh KLHK juga dinilai sukses lantaran berhasil menggusur masyarakat adat yang tinggal di hutan untuk digantikan perusahaan yang mampu menjalankan perdagangan tersebut.Â
Bukan hanya sektor udara yang menjadi leading sector keberhasilan KLHK, ada juga sampah seberat 66 juta ton yang dihasilkan dan 82%nya mampu lolos dari pengolahan dan pengelolaan di darat. Tak mau ketinggalan, laut kita juga mampu menghasilkan 1,2 juta ton sampah. Sungguh prestasi yang luar biasa, jaya di laut, darat dan udara!
Para pejabat kita memang luar biasa cerdasnya dalam mengakali kesulitan-kesulitan yang ada di lapangan. Saya akhirnya sepakat bahwa Paris Agreement hanyalah akal-akalan untuk menghambat pembangunan di Indonesia. Ketika eropa dulu sibuk menebang dan membangun di masa Revolusi Industri 1.0, kita masih menjaga alam untuk mereka. Hari ini, seharusnya giliran kita yang menebang dan membangun, biarkan eropa dan negara lain yang memikirkan tentang polutan, hutan, serta dosa yang telah dihasilkan dari revolusi industri.
Bismillah, jabatan apapun saya terima.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI