Sunan Katong merupakan salah tokoh penyebar ajaran Islam di Kendal, khususnya di wilayah Kaliwungu. Beliau datang ke Kaliwungu kurang lebih pada tahun 1520-an (1520-1529), dan wafat pada tahun 1574 M. Kemudian jasadnya dimakamkan di komplek pemakaman Astana Kuntul Nglayang di Desa Protomulyo, Kaliwungu, Kendal. (Rochani 2011)
Ada perbedaan pendapat mengenai nama asli sosok Sunan Katong sendiri. Menurut juru kunci di makam kanjeng sinuwun Sunan Katong (Bapak Khumaedi), beliau mengatakan bahwa nama asli dari Sunan Katong yaitu Lembu Kanigoro, seorang adipati dari Ponorogo. (Khumaedi 2022) Pendapat ini kemudian disangkal oleh Kra. Hamaminata Nitinagoro dalam bukunya "Babad Kendal ", menurutnya nama itu merupakan nama dari kakekknya Sunan Katong, yakni Bhatara Katong.Â
Sunan Katong merupakan keturunan dari kerajaan Brawijaya. Beliau merupakan putra dari Raden Adipati Unus (Sultan Demak II) dengan Putri Pambayun yang merupakan putri dari Bhatara Katong Ponorogo. Kakeknyalah (Bhatara Katong) yang menjadi penyambung sanad antara sunan katong dengan kerajaan Brawijaya karena kakeknya  merupakan putra dari Prabu Brawijaya V. (Rochani 2011)
Kakeknya ini memiliki peran dalam misi dakwah Sunan Katong di Kaliwungu. Beliaulah yang meminta Sunan Katong untuk membantu Ki Mode Pandhan Aran (sekarang namanya Ki Ageng Pandhan Aran) berdakwah menyebarkan ajaran Islam. Ki Mode Pandhan aran atau sering di sebut dengan Ki Ageng Pandananran ini kemudian memberikan misi kepada Sunan Katong untuk berdakwah menuju ke arah barat, tepatnya di sebuah pohon di dekat sungai yang berwarna ungu.Â
Untuk menuju ke pohon tersebut tidak mudah dibayangkan orang. Karena pohon tersebut merupakan pohon satu-satunya di Kendal. Namun Sunan Katong tidak putus asa meskipun mengalami kesulitan menemukan pohon ungu sesuai petunjuk Ki Ageng Pandanaran. Karena sudah menjadi niatan sebagai penyebar agama Islam pasca-Walisongo.
Dari arah Semarang menuju wilayah barat menuju Kaliwungu, Kendal. Parjalanan tersebut rupanya tidak sia-sia. Akhirnya Sunan Katong menemukan pohon warna ungu bersama pasukannya dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. "Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama "Kali Ungu" atau "Kali Wungu Kali Wungu" dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut oleh masyarakat dinamakan "Kali Sarean". Ungkap sejarawan Ahmad Hamam Rochani penulis buku 'Babad Tanah Kendal'.Â
Ada cerita lain dibalik penamaan kota Kaliwungu ini. Masyarakat stempat ada yang berpendapat jika asal-usul nama KaliWungu itu merupakan dampak akibat dari pertarungan antara Sunan Katong dengan Empu Pakuwojo kala Sunan Katong ingin mengislamkan Empu Pakuwojo. Pendapat ini mengatakan dalam pertarungan sengit ini berakhir dengan kematian kedua tokoh tersebut, kemudian darah yang mengalir itu berwarna ungu. Dari warna darah tersebutlah nama kota Kaliwungu terbentuk.Â
Dalam Perjalanannya dari Semarang menuju ke Kaliwungu, Sunan Katong di Temani dengan para pasukan serta para santrinya. Pasukan dan santrinya bermana Wali Jaka (Raden Panggul), Ki Tekuk Penjalin (Ten Koe PenJian Lien), dan Kyai Gembyang (Han Bie Yan). dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kiai Gembyang dan Wali Joko. Kemudian bertempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Selanjutnya Sunan Katong membangun sebuah padhepokan di tepian Kali Sarean. Tidak disangka-sangka banyak santri yang berdatangan ke padhepokan untuk belajar ilmu agama Islam. Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apa pun.
Untuk menyebarkan dakwahnya, sunan katong menciptakan sebuah suluk. Nama suluk itu adalah serat panitibaya. (Wardani 2022) Di dalam suluk itu berisi seratus tujuh puluh enam larangan, sebagai pedoman bagi generasi muda agar selalu mawas diri dalam mengarungi kehidupan. Pokok-pokok ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai berikut: 1) kewajiban manusia pada Sang Pencipta; 2) sifat-sifat tidak terpuji yang harus dijauhi; 3) sifat-sifat terpuji; 4) perbuatan yang tidak dibenarkan bagi kaum pria; 5) sikap yang harus diperhatikan dalam bertutur; 6) pesan leluhur; 7) orang yang tidak pantas untuk didekati; 8) tindakan yang berhubungan dengan anak-anak; 9) tindakan yang berhubungan dengan senjata api; 10) adab bertamu dan bertetangga; dan 11) sikap dalam menangani suatu pekerjaan. (Panitiboyo 1921)