Mohon tunggu...
Eka Purbowati
Eka Purbowati Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya berminat di bidang kebahasaan dan sastra, hal ini ditunjukkan dengan beberapa lomba dan kegiatan yang saya ikuti semasa SMA kebanyakan adalah kegiatan seperti drama, puisi, monolog, pidato, dan sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Era Post-truth: Terkikisnya Kepercayaan Masyarakat terhadap Fakta

15 Desember 2024   23:13 Diperbarui: 15 Desember 2024   23:13 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Pernahkah Anda mendengar tentang larangan duduk di depan pintu untuk anak gadis karena nantinya akan sulit mendapatkan jodoh? Atau larangan untuk memakai baju hijau ketika berkunjung ke Pantai Selatan karena dapat menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi? Bagaimana dengan kupu-kupu yang masuk ke rumah sebagai tanda akan ada kedatangan tamu? Apakah Anda pernah mendengar hal-hal tersebut, atau bahkan mempercayainya?

         Orang-orang akrab mengenalnya sebagai mitos, yaitu peristiwa gaib yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, tetapi dipercayai masyarakat, dan biasanya tersebar dari mulut ke mulut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos adalah cerita tentang dewa atau pahlawan di suatu bangsa yang berhubungan dengan asal usul terciptanya alam semesta atau bangsa itu sendiri. Sebagian besar mitos berasal dari cerita-cerita lama yang berkembang di masyarakat pramodern karena mereka masih sangat mengandalkan kepercayaan setempat dan kekeluargaan. Mitos berkaitan erat dengan hal gaib dan abstrak yang hanya dapat dicerna oleh kepercayaan masing-masing saja, tetapi tidak secara logika.

           Eksistensi mitos di zaman modern ini tidak perlu diragukan lagi karena masih banyak aspek kehidupan yang bergantung pada kepercayaan tertentu, yaitu salah satunya mengandalkan mitos. Di kehidupan bermasyarakat, terutama di masyarakat desa, berbagai mitos masih berkaitan erat dengan keseharian mereka. Contohnya, masyarakat Jawa percaya bahwa jika terdapat pasangan yang menikah di bulan Suro, maka pernikahan yang berlangsung akan menghadirkan kesialan. Mereka juga memiliki perhitungan tanggal sendiri untuk menilai kapan baik dan buruknya suatu pernikahan diadakan. Bergeser ke masyarakat Bali, mereka percaya bahwa menangisi orang yang sudah meninggal akan membuat arwahnya tidak dapat pergi ke alamnya atau terhalang. Oleh karena itu, terdapat larangan untuk menangisi orang yang meninggal. Tidak heran jika hal tersebut masih kental di kalangan masyarakat Indonesia karena Indonesia merupakan negara dengan kemajemukan budaya yang berpengaruh pada kepercayaan masyarakatnya pula.

          Seiring berjalannya waktu, mitos mengalami pergeseran makna menjadi segala sesuatu yang bukan fakta. Kata mitos sering kali digunakan untuk mendefinisikan suatu informasi belum terverifikasi hakikat kebenarannya, tetapi dipercayai oleh masyarakat.  Mitos tidak lagi hanya eksis di desa untuk mengatur perilaku masyarakatnya, tetapi juga dipercayai oleh segelintir orang dalam menyebarkan informasi terkait hal ilmiah. Oleh karena itu, relevansi mitos di zaman serba modern ini tidak lekang oleh waktu. Berikut adalah contoh mitos yang menyebar di masyarakat modern, yaitu informasi ilmiah yang disebarluaskan hingga dipercaya sebagian besar orang tanpa mengetahui tingkat kredibilitasnya.


CONTOH EKSISTENSI MITOS DAN FAKTA (Sumber: Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan FK-KMK UGM)

          Di era serba digital ini, masyarakat semakin banyak mengonsumsi mitos yang berkembang cukup pesat. Hal ini didukung dengan hadirnya suatu konsep yang dikenal sebagai era post-truth. Secara etimologi, post-truth adalah pascakebenaran. Sedangkan secara epistemologi yaitu era di mana perasaan dan kepercayaan subjektif terhadap sesuatu lebih diutamakan daripada fakta aktual. Sederhananya, post-truth adalah kebohongan yang menyamar menjadi kebenaran. Frasa post-truth mulai popular di permukaan pada tahun 2016. Pada saat itu, Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai "Word of The Year" 2016 karena terdapat banyak pihak yang membahasnya. Post-truth sering kali dikaitkan dengan trik politik untuk mengambil hati masyarakat dengan daya tarik emosi dan mengesampingkan fakta. Selain itu, dalam kehidupan sosial, post-truth juga dianggap sebagai fenomena krusial yang dapat memengaruhi seseorang untuk meninjau kebenaran di era sekarang.

          Hasrat alami manusia untuk mencari makna dalam kehidupan membuat mitos-mitos di era post-truth masih relevan. Mitos memberikan cerita yang sederhana dan memuaskan di tengah fakta yang seringkali membingungkan dan kompleks. Mitos juga memainkan peran penting dalam membentuk identitas komunitas dan kelompok. Sayangnya, penyebaran mitos yang tidak terkendali sehingga berpotensi menyebabkan konflik dan menghambat perkembangan. Untuk mengatasi hal ini, bagaimana sikap yang harus kita ambil?

          Di era post-truth, mitos yang terkait dengan informasi ilmiah, politik, atau kepentingan publik sering kali digunakan untuk memengaruhi opini publik, membenarkan kebijakan, atau mendukung kegiatan tertentu. Mitos telah menjadi fenomena yang menarik perhatian di Indonesia. Contohnya di bidang kesehatan, sempat muncul mitos terkait vaksin COVID-19 yang dipercaya mengandung zat berbahaya dan dapat mengakibatkan berbagai penyakit parah hingga berujung kematian. Hal ini mampu memengaruhi masyarakat yang tidak melek akan kebenaran informasi untuk menolak diberi vaksin. Selain itu, terdapat pula mitos terkait khasiat obat-obatan alternatif yang dapat menyembuhkan penyakit tanpa bukti ilmiah, seperti adanya mitos tentang antibiotik sebagai obat dari segala penyakit. Banyak orang menganggap jika meminum antibiotik saat sakit, maka penyakit akan sembuh. Faktanya, antibiotik efektif menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, bukan virus dan jamur.

          Mitos juga berkembang di lingkup sosial dan politik. Teori konspirasi terkait pemerintahan dan kebijakan sangat umum dibicarakan dan dipercayai oleh masyarakat. Pembahasan mengenai elite global sebagai pengendali dunia merupakan hidangan yang lezat untuk masyarakat dengan mengesampingkan kebenaran apakah itu nyata atau tidak. Konspirasi yang menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain di dunia lebih menarik perhatian dan kepercayaan publik dibandingkan dengan fakta bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari sebuah bangsa terlepas dari intervensi pihak manapun terhadap praktik bernegaranya. Jika informasi yang salah terkait suatu hal tetap dibiarkan menyebar, maka hal tersebut berpotensi menggiring opini publik untuk lebih mempercayainya sebagai kenyataan.

          Kehidupan beragama dan spiritualitas juga tidak lepas dari mitos. Ramalan atau prediksi tentang peristiwa masa depan yang disampaikan oleh pemuka agama sering kali dijadikan acuan untuk berbuat sesuatu oleh seseorang. Jika perbuatan yang dilakukan memberikan dampak positif bagi individu dan sosial, maka itu dapat dimaklumi. Namun, jika sebaliknya, maka mitos tersebut sangat perlu dicegah penyebarannya untuk menghindari konflik. Selain itu, dengan adanya kebebasan beragama di Indonesia, rawan penyebaran doktrin agama yang sesat. Kekuatan supernatural yang berkaitan dengan praktik ilmu hitam juga tidak dapat dipisahkan dari istilah mitos. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempercayai hal serupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun