Ilustrasi: KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO
Bangsa ini adalah sekumpulan entitas yang terbentuk dari beragam produk kekayaan daerah. Heterogenitas yang hidup diatasnya, saling berpadu, memilin, kemudian membentuk arus besar yang menghidupi sendi-sendi negara. Masyarakat telah hidup di era keterbukaan, di mana kemajuan serta kesejahteraan menjadi tujuan utamanya. Masing-masing daerah memiliki kekhasan berkarya yang tidak jarang dijadikan ciri khas sektor strategis daerah setempat. Dari sekian bentuk komunal masyarakat yang berdetak itu, adalah mereka yang bermukim di desa.
Desa, dalam pespektif negeri ini, adalah ruang komunal yang kian senantiasa dinamis. Beragam aktivitas sosio-kemasyarakat lahir dari tradisi serta kebiasaan yang hidup sejak turun temurun di tempat ini. Secara geografis, masyarakat desa di bagi ke dalam dua bagian, agraris dan maritim. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, namun memiliki kesamaan yang bisa segera diketahui, yakni adanya pola hidup gotong royong. Budaya kolektif menjadi identitas utama dari penduduk desa Indonesia. Hampir segala kegiatan bernuansa sosial, baik di darat dan laut, dilakukan secara bersama. Gotong royong menjadi citra ekspresif yang telah membumi dalam sanubari rakyat negeri ini.
Tidaklah masyarakat kota terbentuk, tanpa bertopang pada kehidupan desa. Kampung-kampung yang tersebar di pinggiran Jakarta umpamanya, menjadi etalase sosial yang mengikis sedikit hiruk pikuk ibukota. Jika diperhatikan, laju hilir mudir masyarakat Jakarta tatkala bekerja, datang dari daerah-daerah urban, yang beberapa di antaranya masih menganut pola hidup pedesaan. Memang, wilayah desa di sekitar kota, sudah banyak terkontaminasi budaya cepat a la masyarakat metropolis. Namun, jika dilihat secara seksama, maka akan ada perbedaan yang kentara antara penduduk kota dan desa.
Ranjang metropolitan
Desa bisa diibaratkan sebagai tempat tidur yang empuk bagi setiap orang yang kembali dari pekerjaannya. Banyak orang mengidamkan memiliki rumah yang tentram, sepi dari nuansa serba ramai manusia serta kendaraan bermotor. Mereka memilih menempati rumah yang ada di kawasan urban, yakni daerah pedesaan yang dekat dengan perkotaan. Hal utama yang paling diperhatikan, adalah kemudahan akses dari dan ke tempat pekerjaan. Tingginya animo memiliki rumah ini mengundang para developer serta pemborong besar membangun perumahan yang ekonomis serta menjanjikan keuntungan berupa akses jalan yang mudah serta setumpuk kelebihan lainnya.
Dampak yang bisa diketahui, adalah maraknya pembangunan perumahan di kawasan pedesaan-pedesaan yang semula masih mempertahankan citra aslinya. Perlahan, pembangunan demi pembangunan semakin menggeser ruang publik masyarakat setempat, ke wilayah yang lebih jauh ke dalam. Akibatnya, kawasan yang semula dikenal dengan nama kampung, misalnya saja kampung Kedondong, kampung Mangga, kampung Lio (ketiganya ada di kawasan Kota Depok) sudah beralih menjadi perumahan-perumahan hunian para pekerja Jakarta. Nama boleh saja masih “kampung” tapi yang hidup di dalamnya, adalah budaya pop laiknya ditemukan di perkotaan besar.
Di sisi lain, akibat keadaan ekonomi yang semakin tidak menentu, mendorong penduduk asli melepaskan tanah-tanah mereka ke tangan para developer. Tidak sedikit di antara para pelepas tanah di Depok, meminjam istilah Cliffort Geertz, adalah para cultural broker bagi masyarakatnya. Mereka adalah feodal-feodal kecil yang kedudukannya masih berpengaruh dan didengar suaranya oleh masyarakat sekitar. Kepemilikan tanah yang luas, ikut menaikkan pamor mereka, terlebih jika mereka sudah menunaikan haji, maka akan semakin tinggi status sosilanya. Tanpa tanah, mereka ibarat kehilangan sebagian dari kewibawaannya, meskipun kepemilikan ini bukanlah segalanya.
Posisi para tuan tanah memang sangat vital dalam sistem sosial orang Betawi, termasuk Depok. Mereka tampil sebagai tokoh masyarakat tempat bertanya, sebagian lagi ada yang berprofesi sebagai tokoh-tokoh agama yang mencerdaskan masyarakat. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mewakafkan sebagian tanahnya untuk pembangunan masjid, pesantren maupun sekolah. Dengan mencermati pada pembangunan massif sektor properti di Depok, bukan tidak mungkin peran-peran strategis mereka akan tergusur secara perlahan. Langkanya, para pemilik tanah lokal berimbas pada kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat setempat sedikit demi sedikit akan meninggalkan konsep gotong royong karena telah terjebak dalam suasana individualistik perkotaan. Suatu keniscayaan yang sepertinya sulit untuk diabaikan.
Memang, pembangunan adalah keniscayaan dalam masyarakat yang berkembang. Kemunculan kota, akan dibarengi dengan pembangunan fisik yang semakin merajalela. Suatu konsep nyata yang agaknya masih bisa dibincangkan secara kritis. Mungkinkah pembangunan kota melulu berdampak pada terhentinya saluran-saluran tradisional?, atau, memang sudah sedemikian jauhkah, gagasan pembangunan selalu melabrak serta menepikan tatanan budaya serta tradisi yang sebelumnya berdenyut di suatu entitas pedesaan? Lantas, siapkah generasi terdepan menyongsong era di mana “beton” adalah satu-satunya jawaban atas pengupayaan kesejahteraan bersama?
Berharap