di dalam hati saya membatin sendiri. bukankah dia lulusan dengan IPK yang cukup baik, cum laude pula. sedangkan melamar kerja sebagai staf pegawai negeri sipil, yang sejujurnya tidak perlu cum laude. melamar sebagai pegawai bank yang juga sebenarnya bisa dikerjakan oleh lulusan perguruan tinggi yang IPK-nya tidak baik-baik amat.
bukankah dengan IPK-nya yang tinggi itu, dia bisa saja melamar di tingkat yang lebih tinggi. melamar sebagai perencana program di sebuah bank misalnya. tentu dengan mudah dia mendapat posisi itu. seorang manajer sumber daya manusia tentu tidak akan menerima orang dengan nilai yang baik, sementara hanya bekerja untuk posisi yang pas-pasan. belakangan saya tahu kalau teman saya yang IPK-nya cum laude itu, bekerja di salah satu instansi pemerintah setelah memberikan mahar ke salah satu pejabat disana.
di dalam hati saya geli sendiri. bukankah dia seorang kaum intelektual. semasa di kampus, dia aktif berorganisasi pula. tidak seperti saya yang ogah-ogahan masuk organisasi mahasiswa, apalagi yang berafiliasi dengan bau-bau politik. teman saya juga termasuk orang yang anti mencontek. kalaupun mencontek, paling-paling mata kuliah yang memang tidak dia kuasai, bukan seperti saya yang anti tidak mencontek. teman saya yang mahasiswa pintar bin cerdas itu rupanya masih kurang pede dengan kemampuannya, sampai-sampai rela menyerahkan mahar supaya bisa menjadi staf di instansi pemerintah.
mahasiswa jaman sekarang ini tidak hanya pintar tapi juga cerdas. sampai-sampai tidak ingat apa yang harus dilakukan untuk memajukan bangsa ini. semasa mereka di organisasi pergerakan, mereka sangat rajin membicarakan apa yang harus dilakukan bangsa ini untuk menjaga kemerdekaan. bagaimana idealnya pemimpin bangsa ini. tapi setelah mereka pensiun dari dunia itu, tidak banyak yang masih berpegang pada idealismenya. sisanya, mengetuk pintu kantor yang satu ke kantor yang lain, mengenakan jas dan membawa map yang isinya daftar riwayat hidup dan surat lamaran kerja.
memang tidak semua mahasiswa seperti yang saya tuliskan seperti di atas itu. ada kok mahasiswa yang masih idealis dan memilih hidup anti mapan. seorang teman saya yang lulusan universitas keguruan di jakarta sampai sekarang masih menggelandang hidup di daerah maluku sana. lewat chatting di facebook, ia mengaku hanya digaji Rp 700.000 tapi hidupnya sangat bahagia karena mengajar di sebuah sekolah terpencil yang sangat minim guru dan minim pendidikan. "saya merasa dibutuhkan disini," ceritanya lewat chatting.
ah, baiklah. sepertinya saya sudah cukup mengomel tentang mahasiswa, kaum intelektual, atau apa pun itu namanya. saya sendiri yang lulusan universitas negeri, bukan orang intelektual, karena IPK saya hanya 2,45. lebih baik saya bercermin sendiri. karena besok pagi saya harus bangun pagi, mengenakan sepatu kulit, celana bahan, kemeja, dan jas. tidak lupa saya harus membawa ijazah yang sudah dilegalisir, daftar riwayat hidup, dan surat lamaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H