Mohon tunggu...
Eka Prasetya
Eka Prasetya Mohon Tunggu... wartawan -

Seorang yang baru belajar ngeblog. pernah bekerja di beberapa media cetak, online, dan elektronik. saat ini bekerja di harian lokal Radar Bali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Men Sarni

18 Oktober 2013   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Galungan tinggal menghitung hari. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Men Sarni selalu berangkat ke Pasar Anyar, Singaraja. Kebaya merah dengan motif kembang membalut tubuhnya yang sudah mulai keriput. Selembar handuk warna biru ia gulung diatas kepala untuk mengangkat barang dagangan.

Pagi ini, Men Sarni berharap pengunjung pasar lebih ramai dari biasanya. Barang dagangannya pun dibawa lebih banyak. Tak hanya membawa keranjang yang ia letakkan di kepalanya, sebuah plastik merah penuh kue juga ia bawa ke pasar.

Sayang, hari ini Men Sarni tidak mendapat apa yang ia harapkan. Pembeli masih sama seperti hari-hari biasanya. Dagangan seperti banten pejati, kue kaliadrem, dan beberapa dagangan lainnya, seperti tak laku.

Tapi Men Sarni tidak patah semangat. "Mungkin pagi ini tidak ada yang belanja. Sepertinya malam akan lebih ramai," batin Sarni.

Dagangannya yang semula ia taruh di lorong pasar, ia pindah ke atas trotoar. Dagangannya digelar sedemikian rupa dengan harapan bisa menarik calon pembeli.

Matahari tenggelam, berganti bulan. Riuh suara pasar mulai redup, digantikan suara musik dangdut koplo dari pedagang VCD bajakan yang tiap malam berjualan di pasar.

Lagi-lagi sayang, malam ini, tak banyak pembeli yang datang ke pasar. Hampir tiga jam Sarni menunggu, hanya ada satu orang yang mampir. Itu pun tak jadi membeli. Kaliadrem seharga Rp 1.500 per bungkus, dianggap terlalu mahal. Calon pembeli itu pun berlalu.

Namun apa daya Sarni. Ia tidak bisa memberikan harga lebih murah lagi. Harga Rp 1.000 per bungkus yang sempat ditawarkan calon pembeli ia tolak. Ia sama sekali tidak mendapat untung dari harga itu, karena harus membelinya dari pengepul seharga Rp 1.300 per bungkus.

Sarni masih berharap, malam itu ada yang membeli dagangannya. Hampir 30 menit menunggu, ia mendapat pembeli pertamanya malam itu. Seorang pria yang ingin membeli banten pejati. Harga Rp 10.000 yang ditawarkan Sarni, tak ditawar lagi. Lembaran berwarna jinga itu langsung ia masukkan ke dalam dompet yang tersimpan BH-nya.

Malam semakin larut, namun dagangan Sarni belum terjual setengahnya. Ia masih bertahan di atas trotoar. "Sebentar lagi Galungan. Belum ada uang untuk membuat banten ke pura. Dagangan ini harus habis," tekadnya didalam hati.

Malam semakin larut. Sarni pun mulai terkantuk-kantuk. Selama 15 menit duduknya bergoyang ke kanan-kiri. Ke depan-belakang. Penyakit batuknya yang selama ini kambuhan, malam itu kembali kumat. Beberapa kali ia terbatuk keras hingga pedagang lainnya menoleh khawatir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun