Seperti yang kita ketahui transportasi umum berbasis rel di Indonesia adalah salah satu transportasi umum favorit  masyarakat Indonesia,terutama di kota-kota besar yang menjadi pusat perantauan,sebagai contoh di Jakarta terdapat fasilitas transportasi umum berbasis rel seperti MRT (Mass Rapit Transit),LRT (Light Rail Transit), dan KRL (Kereta Rel Listrik). Ketiganya merupakan transportasi berbasis rel yang sangat marak digunakan oleh masyarakat
Adanya usulan penerapan angkutan umum berbasis rel sebagai solusi penarikan polusi dan kemacetan di Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar. Sementara konsep ini tampak menjanjikan di permukaan, namun memerlukan sebuah analisis kritis yang mengungkapkan bahwa manfaat sistem berbasis kereta api yang digembar-gemborkan mungkin tidak sebesar yang diklaim oleh para pendukungnya. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan perspektif yang berlawanan dengan melihat tantangan dan pembatasan praktis yang terkait dengan penerapan sistem tersebut di Indonesia.
Sementara transportasi kereta api umumnya dianggap sebagai moda transportasi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan perjalanan darat atau udara, masih ada beberapa masalah lingkungan yang terkait dengan pengembangan dan pengoperasiannya. Kekhawatiran ini dapat bervariasi tergantung  pada faktor-faktor seperti lokasi, jenis sistem kereta api, dan tingkat perencanaan.
Jika dibilang untuk mengurangi polusi maka tidak sepenuhnya benar,karena pada saat proses pengerjaan kontruksi rel, akan menimbulkan beberapa polusi, seperti polusi suara  dan polusi udara. Bahkan ketika moda trasportasi tersebut sudah beroperasi juga akan tetap menimbulkan polusi yang berasal dari pelepasan polutan yang mengandung karbon monoksida,nitrogen oksida dan partikel lainnya yang tentu saja akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di are pengerjaan konstruksi.
Selain itu, dampak polusi suara yang ditimbulkan oleh pengerjaan konstruksi dapat mengakibatkan gangguan berupa suara yang tidak diinginkan oleh masyaraat sekitar, dan berdampak pada kualitas istirahat mereka yang terganggu. Terdapat juga efek psikologi yang diakibatkan oleh kebisingan tersebut yaitu seseorang akan merasa stres dan mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi.
Lalu juga dikatakan bahwa pembangunan transportasi berbasis rel dapat menjadi solusi untuk mengurai kemacetan,hal ini juga tidak sepenuhnya benar,karena ketika proses pembangunan berlangsung, biasanya kontraktor memerlukan ruang lebih di area pembangunan dan yang  menjadi solusi adalah dengan menutup sebagian ruas jalan.
Hal tersebut tentu saja akan merugikan banyak orang dan akan membuat kemacetan semakin parah akibat meningkatnya volume kendaraan bermotor ,polusi semakin meningkat dan akan menimbulkan dampak-dampak buruk lainnya, bahkan setelah selesai proses pembangunan sebuah infrastruktur transportasi berbasis rel, masih terdapat dampak buruk yang mengikutinya yaitu kemacetan di titik tertentu yang diakibatkan oleh menumpuknya kendaraan di area portal penjagaan lintasan kereta api.
Jadi, rencana pemerataan transportasi umum berbasis rel di Indonesia memiliki dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar,pembangunan infrastruktur transportasi berbasis rel dapat menyebabkan polusi bagi lungkungan sekitar, dan wacana pemerataan transportasi umum berbasis rel yang ditujukan untuk mengurai kemacetan juga dirasa menyebabkan dampak kemacetan yang lebih parah dari sebelumnya.
Melihat beberapa dampak negatif diatas,maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika akan membuat gagasan yang inovatif, alangkah baiknya melihat beberapa kemungkinan dan berbagai sudut pandang  yang ada, guna mempertimbangkan pengambilan keputusan. Agar tidak menyesal di kemudian hari
http://repository.lppm.unila.ac.id/36662/1/1913-4517-1-PB.pdf
http://repository.unj.ac.id/31318/5/AKBAR%20AMIR%20NUGROHO_5415122831_SKRIPSI.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H