Mohon tunggu...
Eli Kamilah
Eli Kamilah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

work at home and person who love writing

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keramahan Karena Status

12 Maret 2012   00:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:12 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngeremet hati neh kalau liat orang yang hanya melihat dari penampilan luar saja. Memberikan senyuman bukankah tidak berat, namun kenapa sebagian besar orang malah menghargai mahal untuk satu senyuman.

Ceritanya begini, ketika harus kembali ke departement store (DS) yang berlantai tiga itu, yang bisa dibilang komplit deh, ada baju, sepatu, tas, perabot dan supermarket tentunya. Sebenarnya dalam hati mau tak mau seh pergi ke DS ini, lah wong jutek amat ya mba and masnya. Tetapi terpaksalah, kalau bawa anak belanja jauh rasanya ribet.

Akhirnya tibalah saya 15 menit dari rumah ke DS tersebut, di lantai satu saya lewati, karena memang lantai khusus baju laki-laki. Naiklah saya ke lantai dua, saya pun berkeliling mencari baju dan meilhat apa ada yang cocok. Memilih dan memilah saya kira wajar, konsumen tentu akan teliti dalam membeli, baik dari segi bahan dan kualitasnya serta pas ga seh kalau  dipakai. Hari itu saya tidak ditemani suami berbelanja seperti biasanya. Namun seperti suami saya bilang "Hidup Enggan Mati Tak Mau" begitulah kesannya. Bagaimana tidak gremet abis jika melihat pramuniaganya menutup mulut kaya orang sariawan, jika ditanya baru jawab seadanya aja, tanpa senyum pula.jutek euy  Astagfirulloh...senyum itu ibadah mba,,,mba

Lain lagi ketika di supermaket DS yang sama dilantai tiga. Ketika membayar di kasir, saya dengan sopan meminta plastik satu lagi, karena hitungan saya, pasti jebol neh kalau ga rangkap. Setelah hitung menghitung, saya minta tuh plastik, awalnya sama satpam karena repotnya ketika harus bawa belanjaan plus dengerin rengekannya anak. Sang satpam hanya bilang "Minta aja ke kasirnya" dengan enteng dan cuek tanpa senyuman si satpam pergi begitu saja. Ehmm ... saya pikir kejadian serupa yang saya alami di supermaket lain bisa terulang, Bapak satpam dengan ramah dan penuh senyuman memintakan plastik itu buat saya. Akhirnya saya pun minta ke kasir, apa yang si mba kasir bilang "Ga ada mba." dengan tatapan khasnya, muka badak tanpa sesentipun bibirnya bergerak lebih lebar..Walah padahal tuh plastik berjibun.

Bukan cuma saya yang bernasib sama. Ada Ibu muda satu anak yang meminta hal serupa. Mba kasir mungkin masih baru diangkat karyawan kali ya...dia pun memberikan satu plastik belanjaannya pada Ibu tersebut. Setelah Ibu itu pergi, taukah sodara apa yang dibicarakan karyawati seniornya. Dengan marah dan angkuh mba senior nyeletuk "Lain kali jangan dikasih."  Saya yang disebelahnya, yang menunggu suami bayar dikasir hanya melonggo. "Wuiihhh segitunya banget seh, apa takut bangkrut ya diminta satu." bisik saya dalam hati. Padahal kalau mau di bilang "I'm your customer too!" ramah dikit kenapa!! masa bilang gitu ketika banyak orang yang beli.

"Melayani dengan setulus hati" meminjam slogannya satu bank.xixixi. Melayani dengan ramah dan secuil senyuman tak apa, jika memang seyummmu kurang menawan ketika mulutmu terbuka lebar. Namun ketika menginjakkan kaki di supermarket lainnya yang saya rasakan adalah perbedaan yang jauh sekali. "Dont Judge a Book From His cover" slogan ini berlaku hampir ditiap lini, begitupun dalam soal pelayanan. Kegemaran saya dengan suami adalah berpindah-pindah tempat belanja kebutuhan bulanan dari satu supermarket ke supermarket lainnya. Sebagai pebanding dari segi harga, keragaman produk dan keramahtamahan.

Departement Store dengan cerita kelabunya di atas memang diperuntukkan untuk menengah ke bawah. Alasannya adalah dilihat dari produk yang ditawarkan, ada produk pakaian yang masih bisa dibeli dengan harga dibawah 100 ribu. Sementara jika dibandingkan supermaket menengah ke atas, produk yang dijual berkisaran 200-300 ribu ke atas atau bahkan jutaan. Kedua dlihat dari gedung yang elegan, mewah dan bernilai artistik kelas tinggi, dan terakhir dilihat dari segi pelayanan. Inilah yang sering membuat saya gondok sendiri. Perbandingan pelayanan pada konsumen, menengah ke atas lebih ramah ketimbang menengah ke bawah. Sekalipun yang belanja adalah kalangan menengah saja. Senyuman tak henti-hentinya terlukis di wajah para costumer service. Mereka pun dengan lugas, tenang menjelaskan perinci tentang produk mereka ketika ditanya. Beda halnya dengan menengah ke bawah. Walaupun tak semua, tapi selalu saja sebagian besarnya melakukkan demikian.

Mini market yang saya datangi karena dekat dengan rumah pun melakukan hal serupa. Saya pikir kok neh kasir ramah , bilang selamat pagi dan tersenyum, biasanya kan ga. Syukurlah kalau sudah bisa berubah. Ehh, weleh..weleh keanehan saya tak berlangsung lama. Pantesan aja ramah, ada pemeriksaan alias kontrol sang atasan.

Pelayanan pada siapapun baik itu yang berbaju mewah dan branded, baju lusuh tak berwarna dan baju yang biasa-biasa saja, seharusnya bisa sama rata. Pembeli berhak mendapatkan setiap senyuman dan keramahan. Karena pada dasarnya siapapun costumer, apa pekerjaannya, bagaimana penampilannya, dia tetap pembeli yang akan membeli dengan uang cash bukan mengutang kepada penjualnya ataupun karyawannya. Tetapi apa mau dikata, masih banyak saja orang yang melihat sisi penampilan dan isi kantong di dalam. Banyak penjual yang hanya memikirkan "JIka loe butuh datang dan beli, Jika tidak, ga masalah tuch" seperti itu kali ya, tanpa pusing-pusing mikirin harus ramah tamah segala.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun