1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Belajar adalah petualangan seumur hidup, perjalanan eksplorasi tanpa akhir untuk menciptakan pemahaman personal atau pengenalan jati diri kita sendiri. Belajar bukan hanya mencari jawaban-jawaban, juga bukan hanya mengetahui serpihan dan penggalan dari suatu batang tubuh pengetahuan. Masa depan adalah milik mereka yang mampu untuk tetap berlatih dan belajar (Daniel dalam Rose & Nicholl, 1997). Jadi belajar adalah suatu proses yang terus menerus untuk mencari jati diri dalam upaya untuk dapat bertahan dan memaknai kehidupan.
Belajar sebagai sebuah proses, baik formal maupun non-formal merupakan bagian dari suatu sistem yang disebut pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan sebagai salah satu wahana dalam upaya mengembangkan sumber daya insani sepatutnya mendapat perhatian secara terus menerus dalam upaya peningkatan mutunya. Peningkatan mutu pendidikan berarti pula peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Keberhasilan dalam meningkatan mutu SDM merupakan cermin keberhasilan suatu bangsa dalam upaya memajukan peradaban manusia.
Indonesia sebagai suatu bangsa juga wajib mengutamakan pendidikan sebagai modal dasar dalam pembangunan peradaban manusia. Berbagai upaya dalam rangka mereformasi pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai elemen yang erat kaitannya dengan pendidikan. Salah satunya adalah memperbaharui kurikulum secara rutin. Namun hal ini tetap tidak bisa mengurai masalah pendidikan di Indonesia yang sepertinya sudah menjadi “benang kusut”. Yang paling akhir adalah dicabutnya kembali pemberlakuan kurikulum 2013, setelah diterapkan selama 1 semester (kecuali sekolah yang telah menerapkan selama 3 semester). Jika kita renungkan kembali ada hal mendasar yang perlu diperbaiki bukan hanya sekedar pergantian kurikulum yaitu dari sisi siswa dan guru, karena merekalah yang menjadi bagian inti dari sistem pendidikan, sedangkan kurikulum adalah kendaraan untuk menuju tujuan dari pendidikan itu.
Sudah banyak ulasan dari berbagai pihak terutama para ahli pendidikan mengenai perbaikan pendidikan Indonesia. Salah satunya yang terjadi saat ini adalahpenyeragaman pendidikan, bahkan tanpa kita sadari hal ini terkadang membuat anak didik kita merasakan ketidaknyamanan dalam mengenyam pendidikannya. Padahal hal ini akan berdampak pada psikologi siswa yang akan menjadi antipati dalam belajar.
Sesuai uraian di atas maka perlu kita pikirkan bersama bagaimana menemukan solusi dari semua permasalahan tersebut, sehingga akan tercipta sebuah sistem pendidikan yang akan memberikan kenyamanan serta kebahagian semua pelaku pendidikan. Dalam tulisan ini akan diberikan beberapa uraian yang nantinya diharapkan menjadi landasan dalam reformasi pendidikan sehingga menciptakan pendidikan yang berkualitas di Indonesia.
2. PEMBAHASAN
2.1. Peranan Guru dalam Menunjang Reformasi Pendidikan
Kaisar Jepang Hirohito ketika kalah pada perang dunia ke dua tahun 1945 menanyakan kepada para menterinya pertama kali adalah “Berapa banyak guru yang masih hidup?”. Setelah itu Jepang melesat begitu pesatnya dalam bidang ekonomi, bahkan lebih maju sebelum mereka kalah. Hal ini diakibatkan karena mereka memiliki kesadaran pendidikan dan secara konsisten membangunnya dengan visi pendidikan yang jelas.
Dari kisah di atas dapat kita ambil hikmah bahwa pendidikan menjadi pondasi dasar untuk pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan itu sendiri, kualitas guru akan menentukan arah pendidikan tersebut (Runtuwene, 2011). Dalam mengemban visi dan misi pendidikan Guru dituntut mampu menjadi insan yang kreatif dalam membelajarkan anak didik. Menerapkan model pembelajaran yang variatif, sehingga anak didik akan menjadi bahagia dalam mengikuti proses pendidikan tersebut. Guru juga diharapkan dapat selalu “mendengarkan dari dekat” apa yang dikehendaki anak, sehingga guru akan mampu menyelami apa yang menjadi keinginan anak dalam belajar (Stefee, 1996)
Berbicara mengenai peranan guru dalam proses reformasi pendidikan, ini tidak lepas dari berbagai kompetensi guru yang harus dikuasai, diantaranya adalah kompetensi pedagogis dan profesional.Kompetensi pedagogis menuntut guru agar memiliki seni dalam membelajarkan siswa, kreatif memilih media pembelajaran serta memberikan penilaian se-obyektif mungkin kepada siswa. Kompetensi profesional mewajibkan guru mampu menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam.
Terkait dengan reformasi pendidikan mari kita cermati apa yang dilakukan salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia yaitu Finlandia. Mereka melakukan reformasi di bidang pendidikan sejak akhir tahun 1970an hingga awal tahun 1980an. Kemdikbud (2014) menyebutkan terdapat 3 fase yang dilakukan oleh Finlandia dalam mereformasi pendidikan yaitu Berpikir ulang tentang dasar-dasar teoritis dan metodologis persekolahan, Peningkatan melalui platform berjejaring dan perubahan yang dikelola secara mandiri oleh satuan pendidikan, Efisiensi administrasi dan struktur pendidikan dan persekolahan. Reformasi pendidikan di Finlandia dilepaskan dari kepentingan poitik. Pemerintah yang berganti-ganti tidak membatalkan arah reformasi. Beberapa poin penting pendidikan Finlandia setelah reformasi pendidikan dilaksanakan diantaranya: Guru adalah profesi yang sangat dihormati dan memiliki otonomi dalam mengendalikan konten dan arah pembelajaran, Pendidikan berusaha mengejar kesetaraan bukan kesempurnaan dan mendorong kooperasi bukan kompetisi, serta Finlndia menggunakan close loop system yang mendukung lifelong learning.
Melihat kesuksesan yang diperoleh Finlandia tidak ada salahnya kita mengikuti jejak mereka dalam mengelola pendidikan yang salah satunya menjadikan guru sebagai pemilik konten dan arah pembelajaran. Dengan sistem pendidikan yang ada saat ini dimana siswa dituntut agar memiliki kemampuan yang sama dan diwaktu yang sama, maka perlu para guru perlu memikirkan inovasi pembelajaran sehingga siswa menjadi lebih tertarik dalam belajar.
Ki Hajar Dewantara (dalam Kemdikbud, 2014) mengatakan bahwa “jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perluatau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi”. Hal ini berarti bahwa anak didik kita memang memiliki perbedaan baik gaya belajarnya maupun kemampuan mereka dalam memahami pembelajaran yang diberikan di kelas, sedangkan secara tidak sadar kita membatasi mereka dengan waktu yang diberikan di kelas. Khan (2012.a) mengatakan bahwa guru lebih tertarik untuk memamerkan kemampuannya disamping itu kebanyakan dari guru lebih sering tidak sabar dan cenderung merendahkan anak didik ketika mereka tidak memahami dengan cepat. Ini akan menambah dampak psikologi anak didik kita sehingga mereka cenderung untuk membenci guru dan mata pelajaran tersebut. Kita harus sadari bahwa terkadang siswa kita hanya bisa fokus selama 15 menit awal di dalam pembelajaran yang kita berikan. Artinya kita perlu memberikan waktu lebih diluar jam pelajaran agar siswa memahami pembelajaran yang kita berikan, dimanapun mereka inginkan dan kapanpun mereka berkehendak untuk belajar. Pola pembelajaran seperti ini perlu dibangun dan dikembangkan sebab model pendidikan yang sudah kita jalani sejak berabad-abad lalu hanya mementingkan aspek ekonomis tanpa melihat kenyamanan anak didik itu sendiri sebagai objek dari pendidikan.
Untuk mewujudkan ide tersebut guru sudah seharusnya dapat memanfaatkan teknologi dalam mendukung pembelajaran di kelas sehingga mampu mengelola konten dan arah pembelajaran yang dimaksud. Dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, berbagai media baik sifatnya gratis (free) ataupun berbayar (premium) yang berkaitan dengan dunia pendidikan harusnya mampu memberikan inspirasi bagi guru sehingga mampu menyederhanakan proses pembelajaran yang ada di kelas. Internet sebagai produk dari teknologi harus memberikan dampak yang positif bagi dunia pendidikan. Dengan internet, pembelajaran sebenarnya bisa dibagi menjadi lebih pendek dan sisanya akan disampaikan di luar kelas. Jadi apa yang kita lakukan dengan waktu kelas? Di sini kita bisa memberikan inspirasi tentang humaniora, sehingga waktu di kelas sepenuhnya ditujukan untuk diskusi yang dimoderatori guru. Pada pembelajaran teknik atau sains, waktu di kelas dapat digunakan bagi siswa untuk bersama-sama menangani pertanyaan-pertanyaan yang lebih menantang atau proyek (Khan, 2012.b). Poin utama adalah bahwa ketika manusia berkumpul untuk belajar, kita harus mengganti pasif dengan interaktivitas.
Selanjutnya adalah langkah kongkrit yang dapat dilakukan guru dalam rangka mengubah paradigma pendidikan yang tidak terbatas ruang dan waktu adalah bagaimana guru mampu memanfaatkan media yang ada dalam menunjang pembelajaran siswa di kelas ataupun di luar kelas. Guru dapat membentuk komunitas belajar dengan siswanya melalui media sosial yang berbasis pendidikan sehingga komunikasi itu akan dapat berjalan sepanjang waktu yang memiliki fleksibilitas dari segi ruang. Ada beberapa media yang dapat dimanfaatkan guru seperti blog, facebook, ataupun google+ yang bersifat opensourcebagi penggunanya. Ada pula media yang memang khusus untuk pendidikan seperti moodle dan quipper school. Media ini akan memberikan kemudahan bagi guru dalam memberikan pembelajaran kepada anak didik, menambahkan tugas, serta melihat kemajuan pendidikan anak didik. Dengan teknologi seperti ini siswa tidak akan menjadi terikat dalam belajar, mengumpulkan tugas serta mengikuti ulangan atau ujian karena mereka dapat mengerjakananya dalam rentang waktu yang terbatas hanya di kelas saja.
Dengan desain pembelajaran yang berbasis e-learning seperti di atas anak didik akan lebih termotivasi karena diberikan kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan dirinya. Berikut adalah perbedaan sistem pembelajaran tradisional (seperti yang kita lakukan sekarang umumnya) dengan sistem pembelajaran modern (tanpa batas ruang dan waktu).
Tabel 1. Perbedaan antara Pembelajaran Tradisional dan Modern
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Modern
Terbatas di ruang kelas dengan waktu yang sudah ditentukan.
Tidak terbatas ruang dan waktu karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja
Siswa cenderung cepat bosan dengan metode yang digunakan yang mengharuskan dalam 2 atau 3 jam pelajaran mampu memahami seluruh pelajaran yang diberikan
Siswa menjadi lebih nyaman dalam belajar karena diberikan kesempatan yang luas dalam memahami pembelajaran tidak hanya 2 atau 3 jam pelajaran tapi siswa dapat menggali kembali pemahamannya di luar kelas
Siswa cenderung menjadi individu yang teks book karena pembelajaran di dalam kelas lebih menekankan pada hafalan mengingat waktu yang diberikan tidak sepadan dengan banyak kompetensi yang harus dikuasai
Siswa akan menjadi individu yang kreatif dalam menemukan sousi terhadap permasalahan, hal ini disebabkan pengembangan materi pembelajaran ada di luar kelas sementara didalam kelas terfokus pada kegiatan yang sifatnya pembentukan karakter dan pemecahan masalah
Guru lebih sering memposisikan diri sebagai knowledge transfer, hal ini diakibatkan oleh tuntutan yang harus dipenuhi oleh kurikulum sehingga jarang seorang guru berposisi sebagai mediator ataupun fasilitator meskipun kadang terlihat.
Guru lebih memposisikan diri sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa sebab pengetahuan sudah didapatkan siswa melalui pemantapan materi pembelajaran di luar kelas dengan media yang berbasis sosial media yang dipandu oleh gurunya. Kelas akan menjadi lebih dinamis dan terfokus pada masalah humaniora dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.