Baru-baru ini kita dijejali berita tentang aksi premanisme yang berulah di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo. Kebetulan hari Senin lalu (24/4) saya sempat bermain-main di salah satu ikon kesuksesan pemerintahan Basuki-Djarot ini. Tempat ini memang lumayan luas untuk sebuah taman kota terpadu di Jakarta. Kesan pertama saya saat sampai di lokasi yiatu, 'wew rame bingits' hehe. Tulisan ini akan menceritakan sedikit tanggapan saya dari hasil pelesiran di Kalijodo.
Sebagaimana yang sering diakui Pak Basuki sendiri sebagai Gubernur yang banyak memanfaatkan dana CSR untuk membangun Jakarta. Kalijodo pun dibangun lewat skema CSR dari salah satu perusahaan swasta nasional papan atas, Sinarmas, melalui salah satu anak perusahaannya. Apakah model pendanaan ini baik atau tidak dalam pemanfaatannya, saya tidak berkompeten untuk masuk dalam ranah perdebatan itu.
Tempat ini sangat ramai, ada ribuan orang yang tumpah ruah di kompleks taman ini. Saya sendiri, orang yang setuju atas upaya pembangunan banyak RPTRA di Jakarta. Sebabnya sederhana, orang-orang Jakarta tampak sekali sebagai golongan orang-orang yang kurang piknik. Sehingga, perlu diperbanyak ruang-ruang publik bagi masyarakat untuk berinteraksi sekaligus berekreasi, terutama bagi kelompok warga yang tidak cukup mampu untuk berwisataria ke luar kota apalagi ke luar negeri. Legasi ini patut untuk diterustingkatkan oleh pemerintahan Anies-Sandi kelak.
Keramaian yang luar biasa itu tentu menjadi peluang ekonomi yang menjanjikan. Ibaratnya, di mana ada gula pasti ada semut. Begitu pula di Kalijodo, akibat dari banyaknya warga yang berkunjung membuat banyak sekali orang berjualan di dalam kawasan ini. Tidak hanya yang berjualan di lapak-lapak yang tampak resmi disediakan oleh pengelola atau mungkin kelompok preman, tetapi juga banyak yang berjualan dengan cara mengasong keliling atau duduk melantai di jalur-jalur keramaian.
Tentu saja kondisi di atas bagi saya pribadi menimbulkan kesan tidak nyaman. Maksud hati ingin menikmati semilir angin sembari duduk santai melihat aksi para pecinta skate board, malah risih dengan keramaian penjual yang tidak ditata dan diatur dengan apik itu. Bahkan, di suatu titik pusat lapak-lapak itu berdiri, keramaiannya bisa sama dengan  Sunmor UGM kalau lagi ramai-ramainya, sumpek-sumpekkan.
Situasi ini semakin crowded karena pedestrian di wilayah taman yang di tepi kali menjadi tempat parkir, membuat lalu lintas manusia dan kendaraan semakin tak beraturan. Lebih lucu lagi, jalur khusus pesepada yang mengelilingi arena skate board justru dijadikan banyak orang sebagai tempat-tempat duduk manis lalu berselfie ria, hadeuh. Kesimpulan saya saat itu, ini belum bisa berfungsi sebagai taman kota karena kegiatan di situ justru mirip dengan pasar tumpah.
Saya dukung keinginan Pak Basuki untuk terus menata Kalijodo sekaligus menindak aksi premanisme di dalamnya. Masih ada waktu beberapa bulan bagi Sang Sunan untuk menata pesantrennya. Supaya Pesantren Kalijodo bisa menjadi kiblat pembelajaran ilmu penggusuran, penataan dan pembangunan kawasan taman kota yang baik. Karena, sepengetahuan saya belum ada satu pun pesantren di Indonesia yang mengajarkan ilmu-ilmu tersebut 😄.Â
Nb: Terima kasih banyak untuk cucu saya Rizky Fajarusdi, yang hari itu berkenan mengantar saya ke Kalijodo, Taman Waduk Pluit dan Taman Wisata Mangrove Angke.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H