Waktu sudah menunjukkan pukul 8, itu artinya di Rote masih pukul 9 dan Mama piara yang mengasuh saya selama setahun di sana pasti masih di gereja dekat rumah kami. Ya, setahun lalu tepatnya saya tinggal di sebuah desa yang rata-rata penduduknya adalah para mama atau Bai (kakek) lalu di mana para pemudanya? Para pemudanya berada di Kalimantan, Malaysia atau sedang merantau di ibu kota Provinsi NTT, yaitu Kupang.
Saya telepon Mama Rote (nama di nomor HP) dan di ujung sana seorang wanita mengatakan bahwa nomor yang Anda hubungi sedang ada di luar jangkauan. Benar, desa tempat saya tinggal ini tak ada sinyal dan tempat sinyal di rumah kami ada di ruang tamu yang caranya juga lucu menurut saya karena harus menempel dengan dinding. Kalo digeser 1 atau 2 cm saja sinyalnya akan menghilang. Itu mungkin cara Tuhan agar saya dapat mengirimkan pesan singkat kepada teman satu penempatan di Rote.
Setelah 2 sampai 3 kali telepon tak kunjung ada kabar karena sinyal, saya pun akhiri dengan menanti sore yang menjadi kebiasaan Mama piara saya untuk pesiar (jalan-jalan) ke desa sebelah yang lumayan ada sinyal. Benar, telepon saya diangkat beliau.
“Assalamualaikum,” ucap Mama dengan logat suara Rote serta angin yang terdengar.
“Waalaikumsalam.., Syalom,” ucap saya dengan penuh semangat.
“Syalom, Bapak,” ucapnya.
Saya seorang muslim yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Ya, saya pernah menjadi santri Krapyak Bantul sewaktu SMA dan Santri tempat Bapak Kyai Hasyim Muzadi di Malang yang bersamaan saat saya kuliah di salah satu kampus negeri terkenal di Malang. Setahun itu pun, saya dan orang tua angkat sama-sama belajar bahwa perbedaan itu indah.
Desember tahun lalu, saya masih ingat saat kami bersama-sama berjalan kaki ke gereja. Nah, perayaan Natal kali ini ada foto-foto yang bisa digunakan oleh masyarakat desa ke depannya sehingga saya menjadi dokumentator selama perayaan Natal dan menjadi satu-satunya orang muslim di desa kami.
Lain lagi ceritanya waktu puasa.
“Bapak Arsyad sahur jam berapa ko? Nanti biar Mama masakan sahur!” ungkap Mama sebelum esoknya puasa. Sebenarnya saya tak ingin memberatkan Mama dan Bapak untuk bangun tengah malam. Setiap pukul dua pagi, berhubung di dusun kami tak ada listrik Mama memasak nasi menggunakan kayu bakar.
Pendengaran Bapak berkurang dan tak bisa berbahasa Indonesia tapi dari cara dia menggunakan bahasa isyarat dengan dibantu Mama. Beliau meminta izin kepada saya apakah dirinya boleh membangunkan saya untuk sahur atau tidak. Beberapa kali ketika saya sahur, Bapak juga bangun hanya sekedar memastikan saya sahur dengan makanan yang memadai atau membantu saya memasak.