Saat sampai di Desamu, apa yang terpikirkan oleh kamu?
Sesampainya di desa. Huwowww.. saya sangat terkagum-kagum dengan kondisi alam di sekitar desaku. Sekolah yang dikelilingi oleh hamparan pegunungan hijau menjulang kokoh. Rumput-rumput yang hijau bak melambai-lambai menyambut kedatanganku dan kawan-kawan sepenempatanku. Rintik-rintik hujan yang saat itu menemani perjalanan menuju desa seketika berhenti ketika kami sampai di desa. Sekolah sederhana yang beralaskan kayu dan berdindingkan kayu pula. Aku seperti masuk ke dalam dunia dongeng berjudul “Laskar Pelangi”. Ah indah sekali.....
Sebagai angkatan babat alas, apakah masyarakat di sana menerima kamu?
Mereka sangat menerima kehadiran kami. Kami langsung disambut oleh gerombolan anak dengan riang gemira. Awalnya mereka bingung adanya kedatangan kami. Asing bagi mereka orang berkulit putih, berambut lurus, apalagi saya dengan hijab yang saya kenakan di kepala tambah membuat mereka bingung. Ah tapi itu tak membuat mereka tak menegur saya. Mereka menyambut kami seperti layaknya keluarga mereka. Kami datang langsung digiring ke rumah bapak kepala desa dan kita berbicang panjang di sana. Sambil putar kopi dan bakar boneng di dapur. Mereka biasa menyambut tamu di dapur, karena dapur menurut mereka adalah tempat berkumpul dan melakukan segala aktivitas.
Asli.. disana itu toleransinya banget.. banget.. mereka sangat menghargai kami yang muslim. Desaku adalah desa yang mayoritasnya beragama Katholik. Mereka biasa memelihara babi dan memakan babi sebagai perayaan hari besar mereka. Babi di sana sangat dimuliakan, disayang-sayang dan diperlakukan seperti anaknya sendiri. Ada cerita unik tentang si hewan ini. Suatu ketika, saya sedang main-main ke rumah mama desa. Disana ternyata mama desa sedang memasak.
Saya pun bertanya, “Mama, baru apa yang kau masak itu? Pasti makanan enak to? Ah, kita makan sama-sama sudah.”
“Ah tidak, mau buat makan untuk saya pu babi. Ada nasi ini untuk kasih makan babi,” Mama Desa menerangkan dengan semangat.
Mamaaa... dalam hati saya menjerit. Begitu sayangnya mereka dengan hewan peliharaannya sampai-sampai mereka rela tidak makan nasi, karena nasinya diberikan ke babi peliharaannya. Ah begitulah adat di sini, sungguh unik sekali.
Biar begitu mereka tetap menjaga hubungan baik dengan kami para pendatang muslim. Biasanya mereka akan bilang terlebih dahulu kepada kita bahwa mereka habis pegang babi dan jika mereka ingin salaman dengan kami, mereka sudah terbiasa untuk membasuh tangan dengan air, baru bersalaman dengan kami. Saya sama sekali tidak merasa menjadi minoritas di sana, karena mereka memperlakukan kami yang berbeda kepercayaan sangat santun.
Cerita berikutnya adalah ketika saya pertama kali menjelaskan apa itu hijab di hadapan anak-anak yang lugu dan baru pertama kalinya melihat hijab.
Suatu ketika, ada anak bernama Denita bertanya kepada saya, “Ibu guru, baru apa yang kau pakai itu di kepala? Ibu guru tidak punya rambutkah?” tanyanya penuh dengan penasaran.
“Ah.. tidak, ibu guru ini tidak punya rambut...” candaku kepada anak-anak, lalu serentak kami tertawa.
“Te saja.. ibu guru pu rambut sama dengan kalian to. Ibu guru pakai ini sama seperti kalian punya bunda yang ada di surga. Bunda Maria pakai kain di kepalanya,” aku menjelaskan ke anak-anak.