Mohon tunggu...
Eka Yudha Lantang
Eka Yudha Lantang Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Anestesiologi

Seorang anestesiolog yang terpesona dengan sejarah terutama WW1,WW2,Crusade. Peminat berbagai macam pengetahuan populer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seribu Wajah Penyembahan

29 Januari 2017   22:39 Diperbarui: 28 Juni 2017   20:52 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi pribadi yang saat ini memutuskan untuk berbakti di gereja yang "beraliran" calvinisme, kebaktian minggu dengan nuansa praise and worship adalah keistimewaan yang jarang diperoleh.  Hal ini bak memuaskan dahaga sisi evangelikal-karismatis dalam diri.

Jauh dari niat memantik perdebatan dogmatis maupun doktrin teologis, namun keprihatinan mendalam tentang beralihnya beberapa anggota jemaat dengan alih "pencarian Roh Kudus dalam genre musik tertentu" ini mengusik perenungan lebih dalam diri saya

Saya teringat dengan sebuah tulisan menarik yang dibuat oleh Komisi Musik RCA di tahun 1996, berjudul "The Theology and Place in Music in Worship". Dalam tulisan itu ditegaskan bahwa nyanyian penyembahan memang menjadi hakekat dan konsekuensi dari menjadi umat Allah. Sejarah mencatat bahwa umat Allah sejak meninggalkan Mesir, menyeberangi Laut Merah, penyembahan di Tabernakel dan Bait Suci, segala ungkapan hati di Mazmur bahkan nasehat Rasul Paulus kepada jemaat Kolose untuk mengucap syukur melalui mazmur, puji-pujian dan nyanyian rohani. Yang terutama Yesus sendiri tinggal dalam penyembahan.

Dengan demikian pencarian transendental melalui musik penyembahan merupakan sebuah aksioma. Namun lebih lanjut tulisan tersebut menganjurkan serangkaian panduan tentang membawa suatu musik ke dalam suatu persekutuan jemaat. Untuk yang lebih membaca lanjut, sila ke http://bit.ly/1Seu8ny.

Tetapi sebelum saya dituduh sok berteologi, lebih baik saya mengembalikan pada satu hipotesis perenungan yang mendasari tulisan ini.

Apakah nuansa yang dilabeli dengan musik pujian penyembahan atau mungkin lebih tepat merupakan bagian dari genre musik kristen modern adalah satu-satunya wahana membendung eksodus pencari dahaga penyembahan bernuansa Roh Kudus di padang rumput lain?

Mungkinkah hal ini terjadi karena ini kita gagal mengapresiasi dan belum sepenuhnya mengeksplorasi ragamnya khazanah seni dalam dimensi spiritual kita. Alangkah berwarnanya kehidupan spiritual kita apabila hiruk pikuknya musik Kristen modern ini berpadu dengan  dalamnya kontemplasi dalam Taizé, merasakan romantisme himne dan anthem, choir dalam musik kontemporer, mendalami syahdu dan mistisnya ritual monofoni dan polifoni chant Gregorian dalam liturgi klasik ataupun yang lain.

Ya, andai itu hadir dalam setiap penyembahan di Hari Minggu di model gereja calvinisme-injili ini. Sisi pragmatisme dalam diri saya menggoda pemikiran saya untuk terus mengatakan bahwa ini adalah sebuah utopia. Namun lepas dari utopia pribadi itu, pada akhirnya kembali pada pemangku kepentingan untuk menjawab pertanyaan yang esensial ini, "Dapatkah seribu wajah musik penyembahan yang kita tampilkan membuat kita bertumbuh dalam Dia?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun