Judul Buku: Social Intelligence, Ilmu Baru tentang Hubungan Antar-Manusia Penulis: Daniel Goleman Penerjemah : Hariono S. Imam Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan: 2007 Tebal: viii + 546 halaman Pagi itu saat sedang berada dalam kendaraan menuju tempat kerja, saya melihat sebuah mobil menyerempet sepeda motor sehingga pengendaranya terjatuh. Alih-alih turun dari kendaraan dan membantu korban, saya malah meneruskan perjalanan karena takut terlambat sampai di tempat kerja sambil berharap ada orang lain yang akan membantu si korban. Ketika saya melihat ke belakang, ternyata memang ada beberapa pedagang kaki lima dan pedagang asongan menolong korban. Namun, tak terlihat satu pun makhluk berdasi atau bersepatu pantofel rela turun dari kendaraannya untuk mengulurkan bantuan. Pengalaman itu membuat saya tersadar bahwa kejadian itu mungkin bukanlah kejadian pertama di mana saya tidak mempedulikan orang lain di sekitar. Ketika melihat ‘manusia gerobak', pengemis, gelandangan, dan anak-anak jalanan, tidak jarang pula saya mengabaikan dan melihatnya hanya sebagai sesuatu yang lumrah ada di jalanan kota-kota besar. Begitu juga saat menyaksikan berbagai berita kejahatan dan penderitaan manusia di media massa. Mereka tak lagi menjadi pusat perhatian dan kepedulian saya karena telah sering saya lihat dan dengar. Pernahkah Anda mengalami hal serupa? Daniel Goleman-penulis buku laris Emotional Intelligence dan Working with Emotional Intelligence-dalam buku ‘Social Intelligence, Ilmu Baru tentang Hubungan Antar-Manusia' ini, menceritakan kecelakaan sepeda motor hampir mirip dengan kejadian yang saya ceritakan di atas pernah terjadi di sebuah kota di Jerman. Tapi, tak seorang pun mau menolong. Akhirnya, setelah lima belas menit, seorang penumpang dari sebuah mobil yang berhenti karena lampu lalu lintas sedang merah menurunkan jendelanya dan bertanya kepada si pengemudi sepeda motor apakah ia terluka dan menawarkan diri untuk memanggil bantuan dengan telepon selulernya. Ketika berita tentang insiden ini tersebar luas lewat sebuah stasiun televisi yang menayangkan kejadian tersebut, seluruh Jerman merasa dilanda skandal (hal 8-9). Kejadian seperti ini, menurut Goleman, hanyalah satu di antara begitu banyak kejadian yang mengindikasikan korosi sosial. Semakin canggih teknologi, terutama dalam bidang komunikasi, ironisnya justru kian membuat umat manusia terisolasi satu sama lain. Pertemuan tatap muka digantikan dengan konektivitas digital melalui telepon seluler dan internet. Saat secara fisik kita berada di dekat orang-orang lain pun, seringkali kita tidak benar-benar melakukan kontak langsung dengan mereka karena kita tengah menikmati lagu-lagu dari headphones iPod kita, misalnya. Bahkan saat sebuah keluarga tengah bersama-sama menikmati liburan mereka, tidak jarang orangtua sesungguhnya masih absen dari anak-anak mereka karena sibuk melakukan kontak dengan kantor mereka. Sementara orangtua memeriksa e-mail, anak-anak pun lebih suka menonton televisi atau bermain games di internet. Korosi sosial, demikian Goleman, terjadi karena kecerdasan sosial manusia semakin tak terasah. Alih-alih memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan oleh orang lain, seringkali kita menganggap orang lain hanya sebagai ‘sesuatu'. Tak jarang pula kita memandang kelompok lain yang berbeda dengan kita sebagai ‘mereka', bukan bagian dari ‘kita'. Tidak terasahnya kecerdasan sosial kita diakibatkan oleh semakin terbatasnya kontak kita secara fisik dan psikologis dengan orang lain. Jarak tempat kerja dan tempat tinggal yang jauh, seringnya perpindahan, permukiman di luar kota, dan hal-hal lain yang menjadi ciri dunia masa kini membuat kita kekurangan waktu untuk melakukan sosialisasi yang berkualitas. Semakin berjaraknya kita dengan orang lain membuat kita semakin sulit mendapatkan kesempatan untuk melihat, merasakan, menghayati, bersimpati, berempati, dan pada gilirannya mengulurkan tangan pada kesulitan yang diderita orang lain. Sekadar teks SMS atau e-mail bahkan gambar teleconference tidak akan mampu memfasilitasi kita mengenali emosi orang lain seakurat pembacaan mimik muka dan gestur tubuh orang lain sebagaimana dapat kita lakukan dalam pertemuan langsung dengan mereka. Goleman mengingatkan kita betapa pentingnya kecerdasan sosial. Unsur-unsur kecerdasan sosial terbagi dalam dua kategori besar: Kesadaran sosial, apa yang kita rasakan tentang orang lain. Dan fasilitas sosial, apa yang kemudian kita lakukan dengan kesadaran itu (hal. 113-114). Kesadaran sosial merujuk pada spektrum yang merentang mulai dari secara instan merasakan keadaan batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, untuk ‘mendapatkan' situasi sosial yang rumit. Ini meliputi empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian sosial. Seterusnya, fasilitas sosial harus bertumpu pada kesadaran sosial sehingga memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif. Spektrum fasilitas sosial meliputi sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh dan kepedulian. Yang terakhir menyaratkan peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Peraih Ph.D. dari Harvard University juga mengemukakan temuan-temuan menarik lain. Misalnya bukti bahwa perasaan yang dihasilkan dari interaksi sosial kita memberikan konsekuensi penting dan ekstensif yang menyebar ke seluruh tubuh kita, mengirim sejumlah besar hormon pengatur sistem biologis-mulai dari jantung hingga ke sel-sel kekebalan tubuh. Ini berarti hubungan positif dengan orang lain memiliki dampak positif bagi kesehatan kita, sementara hubungan negatif bisa berfungsi seperti racun yang bekerja perlahan-lahan dalam tubuh kita (hal 5-6). Namun, tentu saja ini tidak berarti kita harus serta merta memutuskan hubungan kita yang tidak sehat dengan orang lain, tapi mendorong kita untuk memperbaiki hubungan kita dengan orang-orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Menurut penerima American Psychological Association's Lifetime Achievement Award ini emosi itu menular. Jika kita ingin memiliki hubungan yang membahagiakan dengan orang lain, kita bisa memulainya dengan ‘mengembuskan' terlebih dahulu perasaan gembira kepada orang lain tersebut. Sekadar senyuman tulus seperti yang kerap dilakukan Nabi Muhammad SAW pada setiap orang yang dijumpainya membuat tak terhitung orang yang bertemu dengan beliau merasa riang dan pada gilirannya mencintai beliau melebihi cinta mereka pada diri mereka sendiri. Hemat saya, karena emosi ternyata menular, sudah saatnya media massa tak hanya menyuguhkan berita-berita pesimistis yang memerosokkan publik pada keadaan murung sepanjang hari. Tayangan-tayangan yang menyegarkan dan inspiratif macam Oprah Winfrey Show dan Kick Andy sudah saatnya diberi ruang untuk menyuntikkan optimisme pada publik. Penting juga memperhatikan hubungan berkualitas dengan orang-orang yang paling dekat dengan kita, terutama orang-orang yang kita cintai. Ini bisa membuat potensi terbaik kita dalam berbagai macam kecerdasan dapat teraktualisasi secara optimal. Implikasinya, jika suami/istri ingin memfasilitasi kesuksesan pasangannya, orangtua ingin menumbuhkan perkembangan optimal anak-anaknya, seorang guru ingin memunculkan prestasi maksimal murid-muridnya, seorang pemimpin ingin mengeluarkan kinerja terbaik bawahannya, dokter dan perawat ingin melihat kesembuhan pasien-pasiennya, sipir penjara ingin menyaksikan perubahan sikap narapidana yang didampinginya, produsen ingin memenuhi kepuasan pelanggannya, hal yang terutama harus dilakukan adalah pandang semua pihak tersebut sebagai ‘kita', bukan ‘mereka', apalagi ‘sesuatu'. Tumbuhkan basis yang aman bagi semua pihak tersebut dengan memberikan ‘vitamin sosial' berupa penerimaan, respek, penghargaan, kedekatan, kehangatan dan dukungan. Sebaliknya, jika yang dirasakan di rumah-rumah, ruang-ruang kelas, tempat-tempat kerja, rumah sakit, penjara, pusat pelayanan pelanggan, adalah ketegangan, kejengkelan, perasaan diintimidasi, marah, benci, dan sakit hati. Maka bersiaplah dengan sederet hal buruk ini: Kemungkinan terjadinya gangguan perkembangan pada anak, menurunnya prestasi siswa, perginya pegawai-pegawai yang baik, memburuknya kesehatan pasien, kembalinya sifat buruk narapidana yang telah dibebaskan, dan hancurnya angka penjualan. Kisah George Kohlrieser-seorang psikolog dan profesor kepemimpinan di International Institute for Management Development di Swiss-pada Goleman, "Basis yang aman adalah sumber perlindungan, energi, dan kenyamanan, memungkinkan kita membebaskan energi kita sendiri. Merasa aman membuat seseorang bisa memiliki fokus yang lebih baik pada apa yang dikerjakannya, mencapai sasaran, dan memandang hambatan sebagai tantangan, bukannya ancaman" (hal 373). Ringkas kata, buku ini sangat penting dibaca mereka yang mendamba hubungan sehat nan membahagiakan dengan semua orang yang setiap hari berinteraksi dengan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H