Kepala Daerah dan anggota DPRD boleh jadi merupakan dua contoh pejabat pemerintahan yang saling membutuhkan namun tidak jarang pula saling berkonflik. Padahal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, Kepala Daerah sangat bergantung pada persetujuan DPRD dalam pembentukan Perda dan perancangan APBD. Begitu pula sebaliknya, eksistensi DPRD sebagai pelaksana fungsi pengawasan hanya dapat menjadi realita apabila pelayanan publik benar-benar diselenggarakan oleh Kepala Daerah.
Beberapa rentetan kasus konflik antara Kepala Daerah dengan DPRD seperti yang pernah terjadi di DKI Jakarta, Kabupaten Jember, dan kini juga terjadi di Kabupaten Bondowoso semakin membuka mata kita bahwa tarik-menarik kepentingan amat sangat kuat terasa dalam politik lokal. Ditengah kuatnya tarik-menarik kepentingan antar-lembaga penguasa Daerah tersebut, hukum  sejatinya haruslah hadir sebagai wasit paling logis dan harus ditafsirkan secara logis. Kelogisan dalam menafsirkan hukum juga harus dipenuhi tatkala memaknai hak imunitas DPRD yang kerap menjadi bahan perdebatan di saat-saat terjadinya konflik yang ikut "menyeret" anggota DPRD.
Aturan hukum tidak dapat menihilkan asas hukum
Sesuai amanat Konstitusi Negara, Republik ini sejak pembentukannya mengakui prinsip-prinsip negara hukum yang diantaranya terkandung asas kesamaan di depan hukum (equality before the law). Asas tersebut sejatinya juga telah terkristalisasi melalui keberadan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Lebih lanjut dapat ditafsirkan bahwa di dalam ketatanegaran di Indonesia tidak dikenal adanya strata sosial berdasarkan jabatan tertentu yang dapat menihilkan kewajiban hukum atau mendapatkan privilege untuk menghapus tanggung jawab hukum yang wajib diembannya sebagai warga negara Indonesia yang setara.
Keberadaan hak imunitas anggota DPRD tidak dapat dimaknai sebagai dasar untuk menghapuskan dasar penerapan hukum atau yang dikenal sebagai asas hukum. Dengan kata lain, hak imunitas pada Pasal 388 UU MD3 tidak dapat dilaksanakan dengan tujuan melanggar ketentuan hukum lainnya termasuk menyimpangi kewajiban untuk bertanggung jawab di hadapan hukum atas tindakan yang dibuat oleh anggota DPRD. Adapun Konstitusi telah mengakomodir dan menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan penegakan hukum melalui proses penegakan hukum. Lebih lanjut di sisi lain warga negara juga wajib menaati proses penegakan hukum tanpa terkecuali sebagai implementasi dari keberadaan Pasal 28D UUD NRI 1945.
Relevansi hak imunitas DPRD dengan pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas DPRD
Lantas apa yang dimaksud pada pengaturan di dalam UU MD3 yang menyatakan bahwa anggota DPRD tidak dapat dituntut di depan pengadilan? Dalam hal ini, pemahaman kontekstual haruslah menjadi dasar utama dalam menafsirkan pengaturan hukum secara utuh.
Keberadaan Pasal 388 ayat (2) UU MD3 secara gramatikal memiliki relevansi dengan pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas DPRD sebagaimana diatur di dalam Pasal 365 dan Pasal 366 UU MD3. Anggota DPRD dapat dinilai sedang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya apabila hal tersebut diwujudkan melalui mekanisme dan forum yang jelas. Pasal 388 ayat (2) UU MD3 akan memiliki legitimasinya tersendiri untuk turut mengawal pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas DPRD apabila telah dimulai proses pembahasan Raperda, proses perancangan APBD, atau proses pemanggilan Kepala Daerah dengan tujuan meminta jawaban dan pertanggung jawaban atas permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Adanya proses-proses formal yang dapat dilihat oleh publik sebagai penanda bahwa anggota DPRD yang bersangkutan sedang melaksanakan fungsi, wewenang, dan tugas jabatannya secara otomatis akan memperkuat legitimasi Pasal 388 ayat (2) UU MD3. Hal tersebut dikarenakan hak imunitas anggota DPRD terlaksana dengan sebuah dasar yang kuat untuk melindungi anggota DPRD yang sedang memperjuangkan kepentingan publik. Akan tetapi, apabila terdapat temuan-temuan yang tidak ditindak lanjuti dengan mekanisme yang sesuai berdasarkan Undang Undang namun terlanjur disampaikan di depan publik dengan bermacam tujuan, maka hal tersebut harus dinilai sebagai informasi biasa dan bukan dalam rangka pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas DPRD.
Terlepas dari muatan informasi tersebut mengandung berita bohong atau tidak, ketika anggota DPRD menyampaikan informasi yang tidak didahului dengan proses sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka anggota DPRD yang bersangkutan tidak dapat dibekali dengan hak imunitas sebagai pemberi pesan. Hal tersebut didasarkan bahwa anggota DPRD yang bersangkutan tidak dalam kapasitas memberikan informasi terkait pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugasnya sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu apabila ada reaksi dari pihak lain yang merasa keberatan terhadap informasi yang diberikan oleh anggota DPRD maka anggota DPRD yang bersangkutan wajib untuk mempertanggung jawabkan muatan informasi yang diberikan, termasuk dengan segala implikasi hukum yang dapat ditimbulkan.