Hari ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan.
Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan.
Yang paling menjadi fenomena belakangan adalah terindikasinya kasus pelanggaran HAM dikarenakan beberapa konflik yang dipicu oleh sengketa lahan yang akhirnya melibatkan aparat keamanan negara dalam penyelasaaiannya yang berujung pada tindakan sporadis dari pihak yang seharusnya menjadi penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bersengketa.
Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas, rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata - mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia.
Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis.
Vox Populity Vox Dai
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah.
Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang - orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi.
Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara.
Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka.