"Pantangan Merapi supaya ora nesu, kuwi kudun backhoe-backhoe aja ngrusak dharah Jogja." - Mbah Maridjan
Sang juru kunci telah purnatugas delapan tahun silam, pada suatu malam gemuruh yang menandai awal satu babak tragedi selingkar Merapi. Tak sampai 20 hari sejak sesepuh bergelar Raden Ngabehi Surakso Hargo ini pamit --- konon dalam posisi sujud, tercatat 272 orang lainnya yang juga bermukim tak jauh dari kaki gunung berapi itu turut berpulang.
Tak terbilang dukacita ribuan warga lain yang hingga berbulan-bulan sesudahnya terpaksa berbagi ruang hidup di kamp-kamp pengungsian akibat desa mereka berubah jadi ladang batu dan debu. Gurun tiban yang menorehkan bidang abu-abu di tengah lanskap hijau Jawa, menelan entah berapa juta satwa dan pepohonan dari rimba taman nasional.
Jumat lalu, setelah sesiangan gerimis abu, rekaman ujaran Mbah Maridjan kembali disiarkan oleh akun @infoseni_ di Twitter. Dalam video berdurasi semenit itu, beliau mengingatkan agar para pemangku jabatan empat kabupaten sekeliling Merapi peduli soal eksploitasi pasir vulkanik di wilayahnya. Penambangan menggunakan backhoe, terutama di teritori Yogyakarta, adalah sebuah pantangan yang jika dilanggar akan membuat sang gunung murka dan melepaskan wedhus gembel dengan daya rusak luar biasa.
Wewaler (pantangan) semacam itu, meski tanpa lampiran presentasi data ilmiah atau prediksi para ahli geologi, memiliki efek perubahan cara pandang dan sikap bagi masyarakat Jawa yang masih njawani. Mereka tak butuh berpikir panjang untuk mematuhi larangan para sesepuh, betapapun anehnya.
Bagaimana mungkin sebuah tonjolan raksasa di permukaan bumi bisa membedakan antara cangkul tangan dan cangkul mesin, untuk kemudian merespons dengan semburan lava sebagai ungkapan ketidaksetujuannya atas perilaku manusia? Lagipula Ki Surakso Hargo tak menyebut satu pun nama tokoh gaib yang bisa dianggap sebagai subjek dalam rekaman itu. Beliau selain menegaskan amaran dengan penekanan pada kalimat: "Tenan kuwi! Cetha kuwi!" (Betul itu! Jelas itu!) juga menggarisbawahi penggunaan backhoe sebagai tindakan "merusak alam".
Mari kita serahkan benar kelirunya hubungan kausalitas antara penggunaan backhoe dan awan panas kepada para pakarnya. Sebagai awam yang kebetulan lahir dan tinggal di Yogya, penulis memilih untuk tunduk pada petuah almarhum yang sudah 28 tahun lebih mengabdi sebagai juru kunci Merapi -- belum terhitung tahun-tahun "pelatihan" beliau sebelum diangkat pada 1982. Bukan soal percaya atau tidak pada mistisisme lokal, tapi lebih pada terbatasnya pengetahuan yang menghalangi kapasitas untuk mengkalkulasi risiko bencana akibat aktivitas pertambangan.
Yang jelas, per April 2018, masih ada laporan mengenai penambangan pasir menggunakan backhoe di lereng Merapi wilayah Yogyakarta. Bukan soal wedhus gembel yang memakan korban, melainkan tebing longsor yang menelan dua korban jiwa. Usai kejadian tersebut, aparat menyatakan, "Lokasi penambangan ditutup sementara". Saya garisbawahi: sementara.
Sri Sultan sendiri meyakinkan bahwa masyarakat Yogyakarta sudah berpengalaman dengan peristiwa semacam ini. "Ya semoga saja tidak keluar ,[letusan] lagi," harap beliau. Pernyataan sang raja-gubernur menenangkan sekaligus mbombong moral warganya.
Baiklah, demi kenyamanan bersama mari kita ramaikan tagar #JogjaBaikBaikSaja. Soal pantangan yang tadi kita bahas sebelumnya, biarlah itu disikapi oleh pihak-pihak yang disebut jabatannya.