Pada era yang serba digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan sehari-hari manusia. Mempengaruhi berbagai aspek mulai dari komunikasi hingga penyebaran informasi. Penggunaan media sosial dapat memungkinkan manusia berkomunikasi dengan mudah dan cepat, berbagi informasi terbaru, serta membentuk opini publik. Namun, dalam menggunakan media sosial, diperlukan yang namanya etika komunikasi. Etika komunikasi adalah seperangkat prinsip atau pedoman yang mengatur cara kita berkomunikasi, baik dalam konteks interpersonal maupun melalui media massa seperti media sosial. Prinsip-prinsip tersebut meliputi berbagai aspek seperti kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, dan lain-lain. Etika komunikasi penting untuk memastikan bahwa interaksi yang terjadi di dunia maya juga sesuai dan selaras dengan norma yang ada dalam masyarakat.
Namun saat ini, mirisnya banyak sekali orang yang bermedia sosial tanpa mempertimbangkan etika. Mereka mengabaikan dampak dari setiap kata dan tindakan yang mereka bagikan di berbagai media sosial. Contoh nyatanya adalah fenomena penggunaan istilah "Maghrib" dan "Tahajjud" sebagai candaan yang tidak mendidik dan tidak sopan. Istilah ini merujuk pada ejekan "Aura maghrib" dan bahkan saat ini juga muncul istilah ejekan yang lebih parah. Dikutip dari berbagai media sosial, ejekan yang saat ini banyak digunakan seperti "Auranya maghrib banget" dan juga "Kalo ini mah bukan maghrib lagi, tapi tahajjud". Istilah ini artinya merujuk pada seseorang yang memiliki kulit gelap.
Seperti yang kita ketahui, istilah maghrib dan tahajjud adalah istilah mulia yang digunakan dalam agama Islam. Maghrib merujuk pada salah satu waktu sholat wajib, yakni waktu sekitar matahari terbenam, sementara tahajjud merujuk pada penamaan sholat sunnah yang dilakukan di malam hari. Kedua istilah ini memiliki makna spiritual yang dalam dan mengandung nilai-nilai religius yang penting bagi umat Islam. Penggunaan istilah agama dalam konteks yang merendahkan seperti ini tentu saja sangat tidak pantas dan menunjukkan kurangnya kesadaran etis dalam komunikasi. Fenomena ini mencerminkan lunturnya etika komunikasi, di sini dalam konteks penggunaan media sosial. Penyalahgunaan istilah agama untuk tujuan penghinaan adalah salah satu bentuk kekerasan verbal yang tidak boleh dibiarkan.
Dalam perspektif etika komunikasi, fenomena ini sangat bermasalah. Adanya etika komunikasi menunjukkan bahwa untuk berkomunikasi, harus tetap dengan menghormati martabat dan hak asasi setiap individu. Menggunakan istilah religius dalam konteks yang merendahkan jelas melanggar prinsip-prinsip dasar etika komunikasi. Ini bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan. Ketika istilah-istilah seperti "Maghrib" dan "Tahajjud" digunakan sebagai ejekan, hal ini tidak hanya mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap nilai-nilai religius, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip etika dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang merendahkan ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap dampak negatif yang bisa ditimbulkan pada orang yang menjadi target ejekan, baik secara psikologis maupun sosial.
Selain itu, candaan tidak etis yang juga ramai dibicarakan saat ini adalah penggunaan istilah "tobrut" yang merendahkan perempuan. Istilah ini digunakan untuk mengejek atau merendahkan perempuan dengan konotasi yang sangat negatif, memperkuat stereotip gender yang merugikan. Penggunaan istilah-istilah semacam ini menunjukkan betapa pentingnya penerapan etika komunikasi dalam semua bentuk interaksi, baik online maupun offline. Tanpa etika komunikasi, media sosial dan platform komunikasi lainnya bisa menjadi lahan subur bagi penyebaran kebencian dan diskriminasi, yang pada akhirnya mengancam keharmonisan sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus berpegang pada etika komunikasi dalam setiap aspek kehidupan kita.
Pentingnya etika komunikasi tidak bisa diremehkan. Etika komunikasi membantu kita untuk membangun lingkungan komunikasi yang sehat, di mana setiap individu dapat merasa aman dan dihargai. Ini juga mencegah terjadinya diskriminasi dan penghinaan yang bisa merusak hubungan sosial. Dalam konteks media sosial, penerapan etika komunikasi menjadi semakin penting karena dampaknya yang luas dan cepat. Beberapa fenomena yang saya sebutkan menunjukkan bahwa saat ini penggunaan etika komunikasi dalam dunia digital telah luntur. Penyalahgunaan istilah religius untuk tujuan penghinaan mencerminkan kurangnya kesadaran etis dan penghargaan terhadap nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi dan peningkatan kesadaran mengenai pentingnya etika komunikasi di kalangan pengguna media sosial agar interaksi di dunia maya yang positif tetap terjaga.
Etika komunikasi tidak hanya berlaku di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Di era digital ini, di mana interaksi sering kali terjadi melalui media sosial dan platform online, prinsip-prinsip etika komunikasi menjadi semakin penting. Etika komunikasi menuntut kita untuk selalu menghormati martabat dan hak asasi setiap individu, baik dalam percakapan langsung maupun melalui tulisan atau gambar yang kita bagikan secara online. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain di dunia maya, kita harus tetap mempertimbangkan dampak dari kata-kata kita, menghindari penggunaan bahasa yang merendahkan atau menyakitkan, serta memastikan bahwa pesan yang kita sampaikan tidak menyinggung atau menimbulkan konflik.
Dengan menerapkan etika dalam berkomunikasi, dapat mendorong terciptanya lingkungan digital yang lebih aman dan inklusif. Lingkungan yang inklusif adalah lingkungan di mana setiap orang merasa dihargai dan dihormati, serta bebas dari segala bentuk diskriminasi dan pelecehan. Ini tidak hanya meningkatkan kualitas interaksi kita, tetapi juga membantu membangun masyarakat yang lebih harmonis dan saling menghargai, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Ketika setiap orang merasa diterima dan dihargai, mereka lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam diskusi online, yang pada akhirnya akan menciptakan komunitas digital yang lebih baik. Selain itu, adanya etika komunikasi juga membantu mengurangi konflik dan kesalahpahaman, mendorong dialog yang lebih produktif dan bermakna. Dengan demikian, penerapan etika komunikasi tidak hanya bermanfaat bagi individu secara pribadi, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih harmonis dan saling menghargai, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H