Mohon tunggu...
Eka D. Nuranggraini
Eka D. Nuranggraini Mohon Tunggu... -

membaca hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Ketika Mbak Lies Berteman denganku "

4 Februari 2014   08:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KETIKA MBAK LIES BERTEMAN DENGANKU

Oleh: Eka D. Nuranggraini

Mbak Lies, begitulah aku memanggil wanita cantik berkulit putih bersih dan berambut indah hitam sebahu itu. Mbak Lies tinggal di perumahan elit yang bersebelahan dengan kampungku, yang terpisah oleh sebuah sungai kecil dan sebuah tembok pembatas. Aku berkenalan dengan Mbak Lies di butik batik tempatku bekerja. Waktu itu Mbak Lies sedang melihat-lihat koleksi busana muslim di butikku. Mbak Lies melihat dan memperhatikanku, kemudian tersenyum dan menyapaku.

“Hei, aku sepertinya mengenal kamu, kamu tinggal di di kampung di sebelah...?” kata Mbak Lies menyebutkan nama perumahan elit di sebelah kampungku.

“Iya Bu, memang benar saya tinggal di kampung itu,” jawabku

Mbak Lies mengatakan dia sering melihatku berjalan di jalan setapak di belakang tembok pembatas di belakang rumahnya. Dia mengatakan kalau rumahnya memang berada di blok paling belakang dekat dengan tembok pembatas. Dia sering berada di jendela di lantai dua yang menghadap ke kampungku juga ke sungai kecil, jadi dari situ dapat melihat siapa saja yang berjalan di jalan setapak pinggir sungai kecil. Ya, aku memang selalu berjalan melewati jalan setapak di sebelah sungai di belakang tembok pembatas perumahan itu setiap berangkat atau pulang kerja. Tidak hanya aku, banyak orang di kampungku juga melewati jalan itu, karena itu adalah jalan pintas terdekat dari perkampunganku untuk mencapai jalan raya.

“Liestyana. Panggil saja Lies. Mbak Lies saja, jangan Bu, karena sepertinya umur kita bertaut tidak terlalu jauh.” Mbak Lies memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan  kepadaku.

“Sekar,” aku menyebutkan namaku sambil menyambut uluran tangannya.

Hari itu Mbak Lies membeli dua potong rok batil dari butik tempatku bekerja.

***

Sejak perkenalan di butik itu, aku akhirnya berteman dengan Mbak Lies. Mbak Lies sering menghampiriku setiap aku pulang kerja dan mengajaknya untuk pulang bersama. Mbak Lies mempunyai sebuah salon kecantikan yang cukup besar dan terkenal dan dia hanya tinggal bersama seorang pembantu dan seorang tukang kebun di rumah besarnya. Wanita cantik itu beberapa kali mengajakku main ke rumahnya, tapi belum pernah aku penuhi permintaanya. Bagaimana tidak, aku merasa tidak enak memasuki rumah mewahnya,

Suatu hari Mbak Lies mengutarakan ingin ke rumahku. “Untuk apa Mbak?” tanyaku, “rumahku tidak sebagus rumah Mbak Lies, di kampung lagi, tidak ada yang istimewa, nanti malah membuat Mbak Lies tidak nyaman.” Mbak Lies tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa, dia ingin melihat kampungku dari dekat, dan merasakan bagaimana suasananya, karena selama ini hanya melihatnya dari jendela rumahnya saja.

***

Aku akhirnya memenuhi permintaan Mbak Lies untuk ke rumahku.

“Pantas saja kamu selalu mengambil jalan lewat belakang perumahan ya Sekar, ternyata kalau lewat jalan cukup jauh,” kata Mbak Lies setelah menghentikan mobilnya di depan rumahku. Aku hanya tersenyum.

“Wah, rumahmu bagus juga, Sekar, kecil mungil tapi kelihatan indah, rapi, juga terasa nyaman,” puji Mbak Lies ketika memasuki rumahku. Aku memperkenalkan Mbak Lies kepada keluargaku. Pada saat yang sama Fajar datang ke rumahku.

“Eeeh, Fajar. Ayo silakan masuk,” kata ibuku keika melihat Fajar.

Fajar adalah temanku sejak kecil, rumahnya beda RW dengan rumahku, kini berprofesi sebagai guru di sebuah SMK.

Fajar mengatakan kalau dia mengantarkan kue dari ibunya. Aku melihat Fajar terkejut ketika melihat keberadaan Mbak Lies di rumahku, begitu juga dengan sebaliknya. “Mbak, kok bisa ada di sini?” tanyanya kepada Mbak Lies.

“Kalian saling kenal?” tanyaku heran.

Mbak Lies dan Fajar mengiyakan. “Iya, kami bebeapa kali bertemu, secara tidak sengaja,” kata Mbak Lies tersenyum.

Fajar mengatakan hal yang sama, kalau perkenalannya dengan Mak Lies secara tidak sengaja, waktu itu sore hari sepulang dia mengajar, di jalan melihat mobil yang mogok, dari dalam mobil keluar wanita, kemudian dia menghampirinya dan menanyakannya ada apa. Wanita itu mengatakan mesin mobilnya tiba-tiba berhenti. Fajar membantu memperbaiki mobilnya, agar bisa jalan untuk sementara sebelum dibawa ke bengkel. Mereka pun berkenalan. Mbak Lies tidak menyangka kalau Fajar tinggal di kampung sebelah perumahannya. Lalu secara tidak sengaja, mereka beberapa kali bertemu di jalan

“Aku tidak menyangka akan bertemu lagi Fajar di rumahmu, Sekar,” kata Mbak Lies.

“Kami sudah berteman sejak kecil Mbak,” tukas Fajar.

“Oh yah? Wah, kebetulan sekali, jadi kita bertiga bisa menjadi teman,” Mbak Lies menatapku dan Fajar secara bergantian.

***

Mbak Lies menjadi temanku. Beberapa kali, saat aku libur kerja, Mbak Lies mengajakku pergi, entah itu ke salon, makan siang di cafe, ke mall untuk membeli aksesoris, baju dan sepatu. Entah kenapa aku menurut saja ajakannya, mungkin kata-katanya begitu manis sehingga aku tidak kuasa untuk menolaknya.

Kata ibuku, beberapa kali wanita cantik itu datang ke rumahku saat aku belum pulang kerja, dan dia selalu membawa oleh-oleh setiap kali datang, dari mulai buah-buahan, kue sampai masakan Padang kelas satu. Tapi jujur saja, aku merasa tidak nyaman berteman dengan Mbak Lies, tidak seperti aku berteman dengan teman-temanku lainnya. Hal ini mungkin disebabkan terlalu banyak perbedaan diantara kami. Untung saja, aku tidak pernah diajaknya berkumpul dengan teman-temannya. Yah, tentu saja tidak, karena aku bukan kelasnya mereka, lagipula aku juga tidak mengharapkannya. Jika bersama mereka pun mungkin aku hanya akan jadi kambing congek saja. Aku tidak tahu dan mengerti dunia mereka dan mungkin mereka juga tidak mau tahu tentang duniaku.

***

Semakin hari aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mbak Lies dalam pertemanannya denganku. Hal ini aku rasakan setelah aku mendengar kata-kata Mbak Lies tentang Fajar. “Fajar itu laki-laki yang menarik. Sosok laki-laki yang didam-idamkan hampir oleh semua wanita.” Aku hanya tersenyum mendengarnya, dalam hati aku membenarkan apa yang dikatakannya. “Dia berhak mendapatkan seorang perempuan yang berkelas daripada seorang perempuan kampung biasa. Benar begitu kan, Sekar? Sebagai temannya sejak kecil kamu pasti menginginkan yang terbaik buat dia kan?” Aku tersenyum kecut mendengar perkataannya, dan kurasakan wajahku memanas. Setiap kali bertemu, Mbak Lies tidak pernah lupa menanyakan tenang Fajar dan selalu memberi komentar tentangnya, tentang bagaiamana dia sekarang dan bagaimana dia seharusnya. “Kalau dipikir-pikir, jika sedikit didandani yang tepat dan dipoles, Fajar itu keren lho, Sekar, tidak kalah dengan para model,” begitulah kata Mbak Lies. Aku hanya terdiam, dalam hatiku mengatakan Fajar sudah jauh sempurna dan baik yang sekarang ini tanpa harus didandani ataupun dipoles.

***

Sabtu sore, aku pergi ke rumah Fajar untuk mengantarkan kain batik pesanan ibunya dari butikku. Aku menghentikan langkahku ketika melihat sebuah mobil keluar dari halaman rumah Fajar, dan jantungku seakan-akan berhenti berdetak ketika mengenali mobil tersebut. “Itu mobil Mbak Lies,” benakku. Aku bertemu dengan ibunya Fajar, yang seperti biasanya menyambut gembira setiap kali aku datang. “Ini kainnya, Bu,” kataku sambil menyerahkan bungkusan yang berada di tanganku. Ibunya Fajar bermaksud mengganti uang pembelian kerudung tersebut, tapi aku menolaknya.

“Kalau begitu, terima kasih sekali,” kata ibuna Fajar.

Aku kemudian menanyakan tentang Mbak Lies yang baru saja pergi. Ibunya Fajar mengatakan kalau Mbak Lies ingin bertemu Fajar dan ingin memberikan bingkisan sebagai ucapan terima kasih karena telah menolongnya, tapi Fajar sedang tidak di rumah.

“Wanita itu sudah tiga kali datang ke rumah. Entah kenapa ibu tidak terlalu suka dengan kedatangannya,” kata Ibunya Fajar.

Malam harinya aku susah sekali untuk memejamkan mata. Aku teringat dengan Mbak Lies dan kedatangannya yang sudah tiga kali ke rumah Fajar. Aku gelisah dan merasa ada sesuatu dengan Mbak Lies terhadap Fajar. Aku cemburu! Bagaimana aku tidak gelisah dan cemburu, Fajar adalah kekasihku, kami telah menjalin hubungan sudah hampir lima tahun! Dan dalam waktu dekat, Fajar akan melamarku! Aku terduduk di ranjangku. “Kenapa harus hadir Mbak Lies! Wanita yang segala sesuatunya jauh di atasku!” Aku menyesali pertemuan dan perkenalanku dengan Mbak Lies.

***

Mbak Lies mengajakku ke sebuah cafe setelah menjemputku seusai kerja. Aku dan Mbak Lies duduk di pojok cafe tersebut. Kami berdua hanya memesan minuman dan makanan ringan. Untuk beberapa saat duduk dalam kebisuan, berkutat dengan pikiran kami  masing-masing. “Apa sebenarnya yang diinginkan Mbak Lies?” benakku bertanya.

“Tinggalkan Fajar!” kata Mbak Lies tiba-tiba setelah meneguk lemon tea dinginnya. Aku sontak terkejut, bagaikan mendengar suara petir yang pecah tepat di samping telingaku. Aku terdiam dan berusaha mengatur nafasku, mencoba tersenyum, dan menganggap Mbak Lies sedang bercanda.

“Ada apa memangnya Mbak?”

“Aku tahu, kamu adalah kekasih Fajar!” Aku terdiam tapi merasa lega, akhirnya Mbak Lies tahu kalau Fajar adalah kekasihku. “Tinggalkan Fajar!” Mbak Lies mengulangi kata-katanya.

Aku menatap tajam Mbak Lies, “kenapa aku harus meninggalkan Fajar?! Hubungan kami baik-baik saja selama ini!”

“Karena aku mencintainya!” kata sambil Mbak Lies menatapku tajam. Aku merasa dunia sekelilingku berhenti, nafasku sesak, kepalaku menegang, seakan telah dialiri listrik  tegangan tinggi. Yang aku takutkan akhirnya terjadi.

***

Malam harinya aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku berusaha memejamkan mataku tapi tidak juga berhasil. Cerita Mbak Lies waktu di cafe seperti suara petir yang tiada henti-hentinya menggema di telingaku.

Mbak Lies tersenyum sinis. “Kamu pikir, untuk apa aku berkenalan dan berteman dengan kamu, Sekar! Semuanya tidak ada yang kebetulan, semuanya aku sengaja. Aku jatuh cinta pada Fajar sejak pertama aku bertemu! Aku tertarik dengannya. Laki-laki yang membuatku kehidupanku akhir-akhir ini terasa berbeda. Aku merasa dianggap sebagai wanita pada umumnya. Aku merasa senang dan bahagia.” Mbak Lies memotong pie apel yang ada didepannya dengan pisau dan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku masih terdiam tidak tahu harus berkata apa. Setelah habis potongan pie di mulutnya, Mbak Lies mulai berbicara lagi. “Sekali dua kali, memang tidak sengaja aku bertemu dengannya, selanjutnya, aku yang mencarinya dan aku buat sedemikian rupa supaya menjadi sebuah kebetulan. Kamu tahu kenapa aku selalu membuka jendela lantai dua rumahku dan selalu memperhatikan kampungmu, Sekar? Yah, agar aku bisa melihatnya dan berharap dia jalan di jalan yang biasa kamu lalui, tapi ternyata dia jarang sekali melewati jalan itu. Aku hanya melihatnya sekali, ketika kampungmu mengadakan kerja bakti membersihkan sungai, setelah itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Lalu timbul ide, bagaimana bisa berada dekat dengannya dan masuk ke kampungnya, karena kalau tiba-tiba aku memasuki kampungmu dan menanyakan tentang Fajar, apa nanti kata dia juga orang-orang kampungmu. Aku tidak ingin dia menganggapku buruk.” Mbak Lies menghela nafasnya. “Sampai akhirnya aku melihatmu melewati jalan belakang perumahan itu. Ide itu muncul begitu saja, aku harus mengenalmu dan berteman denganmu untuk bisa masuk kampungmu dan mengenal dekat dengan Fajar, karena kurasa kau yang paling tepat menjadi temanku, karena kita hampir sebaya. Aku membuntutimu, mencari tahu dimana kamu kerja. Dan akhirnya hari itu, aku mengenalmu!” Mbak Lies tersenyum, “kamu pikir untuk apa kau masuk ke butik kecilmu? Aku bisa masuk ke butik besar dan terkenal!” Aku menatap Mbak Lies dengan tajam, dadaku terasa sesak. “Aku akhirnya bisa masuk ke kampungmu, dan secara tidak sengaja, kedatangan pertamaku di rumahmu bersamaan dengan Fajar. Aku senang! Tapi aku juga curiga! Dan ternyata kecurigaanku benar, kalian berpacaran! Tapi tidak! Aku tidak menyerah begitu saja, janur kuning belum melengkung! Dengan berbagai alasan aku mengunjungi rumahmu, aku sengaja pergi ke rumahmu ketika kamu tidak berada di rumah, dan dari ibumu aku tahu alamat rumah Fajar!” Mbak Lies tertawa. “Dan dengan berbagai alasan pula, aku datangi rumah Fajar!”

“Kenapa harus Fajar! Padahal Mbak sudah tahu kami berpacaran, kami saling mencintai sudah sejak lama!” Aku berusaha menahan emosiku.

“Sudah aku katakan padamu, Sekar. Karena aku mencintainya, aku senang dan bahagia jika bersamanya! Dan kamu tahu Sekar, aku tidak ingin kebahagiannku hilang begitu saja. Sudah dari kecil, apa yang aku inginkan harus tercapai!”

“Kebahagiaan apa?! Kebahagiaan yang dirampas dari kebahagiaan orang lain?!” emosiku meningkat. “Semua orang berhak untuk berbahagia! Bukan hanya milik orang-orang seperti Mbak!” Aku berdiri dan meninggalkan Mbak Lies.

Aku menghela nafasku dalam-dalam. “Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menceritakannya pada Fajar? Atau aku diamkan begitu saja? Bagaimana kalau Mbak Lies semakin menjadi-jadi? Terus, bagaimana kalau ternyata Fajar meynukai Mbak Lies?!” rasa takut tiba-tiba merasuki perasaanku. Aku menggulungan badanku dan memeluk bantal.

***

Beberapa hari setelah percakapan di cafe tersebut aku tidak pernah bertemu dengan Mbak Lies lagi. “Mungkin Mbak Lies tersinggung dengan apa yang aku katakan,” pikirku. Tapi aku bersyukur tidak lagi bertemu dengannya dan aku juga berharap kalau dia tidak menemui Fajar lagi.

Fajar menemuiku dan mengajakku keluar, katanya ada yang ingin dibicarakan denganku. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya ingin Fajar bicarakan denganku? Ada rasa gelisah tiba-tiba menyelimutiku, bayangan Mbak Lies yang tersenyum penuh kemenangan berputar-putar di kepalaku.

Aku dan Fajar duduk di sebuah bangku dalam warung bakso. Entah kenapa bakso yang biasanya enak rasanya terasa hambar di mulutku. Kulihat Fajar masih menikmati baksonya, seperti biasanya sikap dan mata beningnya selalu menunjukkan ketenangan yang luar biasa.

“Kenapa Sekar, sepertinya kamu sedang tidak bernafsu makan bakso kesukaanmu ini?” tegur Fajar.

Aku hanya tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa. “Mulutku agak sedikit sariawan,” aku memberikan alasan, dan tampaknya Fajar mempercayainya.

“Mbak Lies mengatakan kalau dia menyukaiku!” kata Fajar tiba-tiba. Aku menatap tajam Fajar. Dadaku terasa sesak seperti baru saja ditindih batu besar. “Aku mengatakan kalau aku sudah mempunyai kekasih yang sangat aku cintai,” lanjut Fajar. Aku merasa ada hembusan udara segar merasuk dadaku yang terasa sesak. “Mbak Lies tidak mau tahu, dia mengatakan selagi janur kuning belum melengkung, semua laki-laki dan wanita masih bebas. Aku bilang tidak, hati dan perasaanku sudah tidak bebas lagi, karena aku sudah jadi miliknya dan dia sudah jadi milikku. Mbak Lies tertawa dan mengatakan kalau aku bodoh. Aku bilang aku akan melamarnya dalam waktu dekat. Mbak Lies tiba-tiba marah, dia menanyakan siapa wanita itu. Aku menjawab kamu, Sekar.” Tiba-tiba aku merasa batu yang menindih dadaku terangkat, aku seperti mau melayang. “Dia mengatakan kalau kamu tidak pantas untukku, dan aku tidak pantas untuk kamu. Dia menyuruhku untuk meninggalkan kamu. Aku bilang tidak, karena kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai, karena kamu adalah temanku, sahabatku, adikku, kakakku, ibuku dan kekasihku, kamu adalah wanita sempurna untukku. Mbak Lies bertambah marah. Dia mengatakan kalau dia jauh lebih baik dari kamu, Sekar, dia dapat memenuhi apa yang aku inginkan, baik lahir dan batin.” Fajar behenti sesaat untuk meneguk minumannya. Dia memohon padaku,” Lanjut Fajar, “dia mengatakan kalau dia benar-benar menyukai dan mencintaiku. Bersamaku dia merasakan kebahagiaan dan ketulusan, tidak seperti dengan laki-laki yang pernah dekat dengannya. Kemudian dia mengatakan kalau dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, dia tidak suka dan benci kalau keinginannya tidak terkabulkan.” Aku masih terdiam tidak tahu harus memberi komentar apa. Terdengar lagi suara Fajar, “tidak! Aku bilang tidak. Aku bukan benda atau barang, aku laki-laki yang punya hati dan perasaan. Dan masalah hati dan perasaan tidak ada yang bisa dipaksakan, kecuali Tuhan yang mengubahnya. Aku mengatakan, Mbak Lies adalah adalah wanita cantik yang sempurna, dia pasti akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku dan lebih pantas untuknya. Mbak Lies terdiam, dan kelihatan marah. Kemudian pergi meninggalkanku. Sekar, ini terjadi sekitar empat hari yang lalu.” Aku melihat Fajar menghela nafasnya, ada tatapan bersalah di matanya. “Sebenarnya aku ingin langsung mengatakannya kepadamu, tapi aku putuskan untuk tidak mengatakannya, karena aku pikir ini tidak berhubungan dengannmu, ini adalah masalah Mbak Lies dengan aku, dan aku tidak ingin membuatmu kecewa, karena aku lihat kamu dan Mbak Lies berteman baik.” Aku tersenyum, dan benar-benar aku merasa lega, semua beban dan kegelisahan menguap begitu saja setelah mendengar cerita Fajar. Aku kemudian menceritakan juga pertemuanku dengan Mbak Lies. Fajar pun terkejut mendengarnya. Aku yakin Mbak Lies menemuiku setelah menemui Fajar dan tidak berhasil utuk meyakinkannya.

“Dia benar-benar nekat!” kata Fajar.

***

Sekembalinya ke rumah, aku menerima sebuah surat tanpa perangko. Kata ibu surat itu diantarkan oleh orang suruhannya Mbak Lies. Aku langsung membuka surat  tersebut.

Sekar, maafkan aku. Aku memang egois. Baru kali ini apa yang aku inginkan tidak aku dapatkan. Aku marah, aku benci. Aku baru merasakan beginilah rasanya jika apa yang kita inginkan tidak terpenuhi, dan beginilah rasanya jika cinta kita ditolak oleh seorang laki-laki yang kita cintai, karena selama ini tidak ada yang pernah menolakku. Sebelum menemuimu kamu, aku telah menemui Fajar, karena aku berharap kalau tidak Fajar yang meninggalkanmu maka kamu yang akan meninggalkannya. Tapi ternyata tidak semudah yang aku bayangkan, ikatan hati kalian terlalu kuat. Aku kalah dan aku marah! Dan satu lagi, aku sangat malu! Baik terhadap diri kamu dan Fajar, juga terhadap diri sendiri. Beberapa hari aku mengurung diri di dalam rumah, aku malu jika nanti bertemu kamu dan Fajar di luar.

Aku akhirnya memutuskan untuk pergi jauh, ketika kamu membaca surat ini mungkin aku sudah di dalam pesawat yang akan membawaku pergi jauh. Rumahku kini ditinggali oleh kakak laki-lakiku bersama istrinya.

Sekar, kumohon apa yang terjadi antara aku, kamu dan Fajar tidak diketahui oleh orang lain, kecuali kita bertiga, cukup sudah rasa maluku. Sekali lagi, aku minta maaf Sekar, semoga kamu mau memaafkanku, juga kepada Fajar. Dan, terima kasih, kamu mau menjadi temanku.

Liestyana

Aku menghela nafas kemudian melipat surat dari Mbak Lies, ada kelegaan mengembang di dalam hatiku. “Mbak Lies, benar-benar sosok wanita yang tidak pernah aku mengerti,” benakku. Ada sedikit rasa kasihan menyelinap di dadaku. Aku segera keluar dan pergi ke rumah fajar, untuk memperlihatkan surat dari Mbak Lies.

|


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun