Mohon tunggu...
Eka D. Nuranggraini
Eka D. Nuranggraini Mohon Tunggu... -

membaca hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen "Gadis Cilik Berponi"

5 Februari 2014   08:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

GADIS CILIK BERPONI

Oleh : Eka D. Nuranggraini

Satrio tertidur di kamar kost-nya sepulang kuliah. Meja belajarnya nampak sedikit berantakan, buku-buku yang sebelumnya tersusun rapi menjadi berserakan karena terkena lemparan tasnya. Sebuah buku terjatuh di lantai. Tahun ini adalah tahun pertama Satrio menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas ternama di kota Jogja. Di tempat kost-nya, Satrio satu kamar dengan Ardi, sepupunya yang berasal dari Malang, Satrio sendiri berasal dari Purwokerto. Ardi kuliah pada tempat yang sama dengan Satrio, hanya saja beda fakultas dan jurusan, juga beda angkatan, karena Ardi sudah memasuki tahun ketiga.

Pintu kamar terbuka perlahan. Ardi, laki-laki tampan berkulit putih itu masuk.  “Sudah pulang, Yo?” tanya  Ardi sambil meletakan tas kuliahnya di atas meja belajarnya yang berseberangan dengan meja belajar Satrio. Tidak ada jawaban dari Satrio, hanya terdengar dengkuran halusnya. “Waduh! Ini anak, sore-sore begini tidur!” Ardi berjalan ke tempat tidur Satrio yang juga berseberangan dengan tempat tidurnya. “Yo! Bangun! Sudah sore!” Ardi menggoyang-goyang tubuh Satrio. Satrio menggeliat membalikkan tubuhnya. “Sore-sore tidur! Malu sama anak-anak kecil di luar. Mereka jam segini sudah mandi dan bermain di luar!” Satrio membuka matanya, “memangnya sekarang jam berapa?”

“Jam setengah lima, “ jawab Ardi sambil membuka bajunya.

“Kamu baru pulang Di?” kata Satrio sambil duduk di tempat tidurnya.

“Iya, tadi ke rumah teman dulu. Oh iya, itu aku bawa martabak manis, “Ardi menunjuk sebuah bungkusan di atas meja belajarnya di samping tas kuliahnya. “Aku mau mandi dulu.” Ardi keluar kamar.

Satrio turun dari tempat tidurnya, berjalan ke meja belajar Ardi, membuka bungkusan martabak manis, mengambilnya sepotong dan langsung dimakannya. “Ini pasti dari Laras!” pikir Satrio sambil tersnyum. Tidak lama kemudian Ardi sudah muncul kembali dengan badan dan wajah yang nampak segar. “Cepat sekali mandinya. Di? Kamu beneran mandi apa cuma cipretin air ke badan?”

“Dingin Yo!” jawab Ardi sambil membuka lemari bajunya.

“Di. Ngomong-ngomong, ini pasti martabak pemberian Laras, ya?” Satrio tertawa.

“Enak saja! Aku beli sendiri, tahu!”

“Kenapa kamu tidak terima cintanya sih, Di?” Satrio tertawa ketika sebuah handuk basah yang dilempar Ardi mengenai mukanya. Satrio berlari keluar kamar untuk mandi sambil melempar balik handuk basah tersebut.

Sepeninggal Satrio, Ardi melihat meja belajar Satrio yang nampak berantakan. “Ya ampuun, ini anak kebiasaan lempar tas sembarangannya tidak hilang-hilang dari dulu!” Ardi mendekati meja belajar Satrio untuk mengambil sebuah buku yang terjatuh di lantai. Ketika mengambil buku tersebut, selembar foto berukuran postcard tersembul keluar. “Foto apa ini? Jangan-jangan foto pacarnya Satrio,” Ardi tersenyum sambil mengambil foto tersebut. “Yah, ini sih foto si Tiyo waktu kecil. Foto ini pasti diambil waktu mama-nya Tiyo baru melahirkan Maya, adik Tiyo,” Ardi memperhatikan foto bergambar seorang wanita muda sedang duduk menimang bayi, disampingnya berdiri seorang anak laki-laki yang sedang dirangkul seorang gadis cilik. “Tapi, siapa gadis cilik berponi dan berkepang dua yang sedang merangkul Tiyo kecil ini?”

Satrio masuk kamar kembali sambil menggigil. “Kamu benar Di, airnya dingin sekali!” Ardi tertawa.             “Apa itu Di?” tanya Satrio ketika melihat foto yang sedang dipegang sepupunya. Ardi memperlihatkan foto yang dipegangnya. “Kamu dapat dari mana?” Satrio mengambil foto tersebut. Ardi mengatakan kalau dia menemukannya pada buku Satrio yang terjatuh. Satrio memandang foto yang kini berada ditangannya, kemudian diletakkan diatas meja belajarnya.

“Anak laki-laki jelek yang ada difoto itu kamu kan, Yo?” Satrio tertawa sambil memakai kaos yang baru saja diambilnya dari lemari.

“Tidak sholat ashar, Yo?”

“Sudah, di kampus!”

“Oh iya Yo, gadis cilik berponi dan berkepang dua yang sedang merangkulmu di foto itu, siapa?” tanya Ardi sambil membuka tas kuliahnya dan mengeluarkan buku-buku serta diktat-diktat kuliahnya.

Satrio mengambil kembali foto yang diatas meja belajarnya, kemudian duduk di tepi tempat tidurnya. Dipandanginya foto yang berada ditangannya, kemudian tersenyum. “Dia tetanggaku.”

“Oh yah? Sekarang gadis cilik itu pasti sudah besar dan menjadi gadis yang cantik, karena aku lihat kecilnya sangat cantik dan lucu.”

“Aku tidak tahu!”

“Lho! Katanya tetanggamu, kok kamu tidak tahu?!”

“Dia dan keluarganya pindah ke Jogja setelah lulus SD!” Satrio mengatakan kalau foto itu diambil waktu dia kelas satu SD, satu minggu setelah kelahiran adiknya, dan gadis cilik berponi tersebut duduk di bangku kelas tiga SD.

“Siapa nama gadis cilik berponi itu?”

“Aku memanggilnya dengan Mbak Ade,” Satrio memandang foto yang ada ditangannya. “Di Jogja ini aku sedang mencarinya!”

“Apa!” Ardi melihat Satrio sambil mengerutkan dahinya, menghentikan kesibukannya yang sedang menata buku.

“Yah, aku ingin mencari dan menemuinya. Aku ingin melihatnya lagi!”

Ardi tertawa, kemudian berjalan dan duduk di samping Satrio. “Apakah gadis cilik bernama Ade itu sangat berarti bagimu,Yo? Sampai kamu ingin sekali bertemu lagi dengannya setelah bertahun-tahun.”

Satrio tersenyum. “Usiaku tujuh tahun, dan baru duduk di bangku kelas satu SD saat Maya lahir. Kamu tahu Di, bagaimana rasanya setelah tujuh tahun menjadi anak tunggal, menjadi jagoan yang paling disayang dikeluarga, tiba-tiba datang seorang adik perempuan?” Ardi tersenyum. “Rasa iri dan takut tidak disayang mama papa lagi! Itulah yang kurasakan saat itu!”

“Terus, apa hubungannya denga gadis cilik berponi dan berkepang dua itu?”

Satrio menghela nafas. “ Waktu itu aku sedih dan marah! Aku lari ke belakang rumah. duduk sendiri dan menangis!” Ardi tertawa. “Kemudian Mbak Ade mendatangiku.”

“Satrio, kok menangis sendirian disini?” tanya gadis cilik berponi sambil duduk disamping Satrio kecil.  “Kenapa kamu menangis? Seharusnya kamu senang, sekarang kamu punya adik bayi.” Satrio menangis bertambah keras. “Lho, kok nangisnya tambah keras?” gadis cilik berponi itu merangkul pundak Satrio. “Kamu kenapa? Ada yang nakal sama kamu? Ngomong sama Mbak Ade, biar nanti yag nakal sama kamu Mbak Ade cubit sama jewer telinganya!” gadis cilik berponi itu bangkit dari duduknya, berdiri sambil berkacak pinggang, seperti seorang yang siap menantang. Satrio menggelengkan kepalanya. “Terus kenapa?”

“Bapak sama ibu sudah tidak sayang lagi sama Satrio! Bapak sama ibu lebih sayang sama adik bayi!”

Gadis cilik berponi itu merangkul pundak satrio sambil menepuk-nepuk dengan tangan kecilnya. “Itu karena adik bayi masih kecil, belum bisa apa-apa, jadi bapak sama ibu Satrio harus membantunya. Kalau Satrio kan sudah gede, jadi tidak perlu dibantu lagi. Mbak Ade yakin, bapak sama ibu masih sayang sama Satrio.”

“Apa betul begitu, Mbak Ade?”

Gadis cilik berponi itu mengangguk. Satrio pun akhirnya tersenyum. “Kalaupun bapak dan ibu tidak sayang lagi sama Satrio, kan masih ada Mbak Ade, yang akan selalu sayang sama Satrio!”

“Sejak saat itulah, Mbak Ade selalu menjadi temanku, sahabatku, kakakku juga pelindungku. Dia selalu mengajakku setiap kali bermain, membelaku kalau ada yang menakaliku juga selalu membagi jajanan yang dia punya!” jelas Satrio sambil tersenyum.

“Dia kan perempuan! Apa kamu juga diajak main boneka dan masak-masakan, Yo?! kata Ardi tersenyum sambil memandang Satrio.

Satrio tertawa. “Dia bukan gadis kecil seperti yang kau kira dan terlihat di foto. Kelihatannya saja dia anak perempuan yang manis dan lucu dengan poni dan rambut panjang yang dikepang dua, tapi sebenarnya sifatnya seperti anak laki-laki! Dia selalu bermain dengan anak laki-laki, main sepeda, mobil-mobilan, perang-perangan, main kelereng juga gambaran. Jarang sekali dia bermain boneka. Bahkan dia menganggap dirinya adalah superman.” Satrio tersenyum. “Ibunya pernah berkata kalau perempuan itu supergirl, bukan superman, tapi Mbak Ade tidak mau tahu. Mungkin semua itu disebabkan Mbak Ade adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya, dua kakaknya adalah laki-laki apalagi ditambah bapaknya seorang polisi. Ibunya yang selalu mendandani Mbak Ade seperti layaknya anak perempun dan selalu membelikannya boneka, mungkin takut sikap laki-lakinya semakin menjadi-jadi.” Satrio tertawa.

Ardi pun tertawa. “Terus, kenapa pindah?”

“Karena tugas bapaknya. Juga karena kedua orang tua Mbak Ade yang memang asli Jogja.”

“Waktu dia pindah, kamu sedih Yo?”

“Ya, sangat sedih. Waktu itu aku naik kelas empat SD. Aku merasa kehilangan tetangga yang sangat baik, kehilangan seorang teman, seorang kakak dan seorang pelindung.” Satrio menghela nafas. “Ada satu kejadian yang selalu aku ingat. Suatu hari kami main balapan gendong-gendongan saat hujan. Aku digendong Mbak Ade balapan dengan teman-teman lainnya. Saking semangatnya, Mbak Ade tidak melihat ada batu, Mbak Ade tersandung dan kami berdua terjatuh! Aku terlempar dari gendongan Mbak Ade, tersungkur, keningku berdarah kena batu. Aku menangis. Mbak Ade yang juga terjatuh bangun, berjalan mendekatiku, mengusap darahku, berusaha membuatku diam, kemudian menggendongku sampai ke rumah dengan terpincang-pincang. Sampai di rumah Mbak Ade menjelaskan apa yang yang terjadi pada kami, dia menangis sambil meminta maaf kepada mama. Mama tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa. Mama mengobati luka di keningku juga lutut Mbak Ade yang berdarah. Setelah menyuruhku mandi, mama mengantarkan Mbak Ade pulang ke rumahnya.”

“Apa yang terjadi dengan Mbak Ade?”

“Kata mama, ibunya Mbak Ade meminta maaf sama mama karena telah membuat aku terluka dan berterima kasih telah mengobati luka Mbak Ade. Mama sempat melihat Mbak Ade yang dijewer telinganya oleh ibunya dan mengatakannya sebagai anak bandel!” Satrio memperlihatkan bekas luka yang ada dikeningnya kepada Ardi, “bekas lukanya masih ada sampai sekarang!”

Ardi tertawa. “Wah, bekas lukamu mirip bekas luka Harry Potter, Yo!”

“Aku ingat sekali waktu hari kepindahannya. Mbak Ade menangis, merengek tidak mau ikut pindah, dia ingin tetap tinggal di Purwokerto.”

“Kasihan sekali. Apa setelah kepergiannya, kamu sangat kehilangan dan merindukannya, Yo?”

“Sangat! Seminggu aku tidak mau bermain dengan teman-temanku yang lain. Aku hanya memandangi rumahnya yang kosong.”  Pandangan mata satrio menerawang. “Dia gadis kecil yang sangat baik. Pernah suatu hari dia mengambil makanan yang banyak dari rumahnya dan memberikannya kepada seorang temannya yang tidak mampu. Dia juga pernah mengambil beras satu plastik dari dapur ibunya untuk diberikan kepada seorang pemulung yang kebetulan lewat didepan rumahnya, ibunya ingin marah tapi tidak bisa.” Satrio tersenyum. “Dia pernah berkata kalau suatu hari ingin punya sawah yang luas buat ditanam padi dan jadi beras, kemudian akan dibagikannya ke orang-orang yang tidak mampu, biar tidak kelaparan lagi.”

“Wah, gadis cilik yang baik dan sangat mulia hatinya.” Ardi tersenyum. “Jadi sampai sekarang kamu belum melupakannya, Yo?”

Satrio menggeleng. “Maka dari itu, setelah lulus SMA dan aku diterima kuliah di Jogja, aku sangat senang. Aku membayangkan di Jogja bakal bertemu Mbak Ade kembali.”

“Apa kamu tahu alamatnya di Jogja?” Satrio menggeleng. “Jogja ini luas Yo, ada kota Jogja sendiri, Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul. Kamu tahu dia berada dimana?” Satrio kembali menggeleng. “Terus, bagaimana kamu akan mencari Mbak Ade-mu itu? Itu juga kalau dia masih ada di Jogja. Kalau pindah?!”

“Aku yakin tidak pindah! Karena kedua orang tuanya asli Jogja!”

“Ya orang tuanya, kalau ternyata Mbak Ade itu sekolah atau kuliah di kota lain?!”

“Setidaknya bertemu dengan orang tuanya.”

“Kamu tahu nama mereka?” Satrio menggeleng. “Mama dan papa sering memanggilnya dengan Pak dan Bu Nono.”

Ardi menghela nafas. “Nono itu bisa Sartono, Surono, Paino, Wartono dan masih banyak sekali nama dengan kata No. Kalau nama lengkap Mbak Ade?” Satrio menggeleng kembali. “Waduh Yo...Yo... bagaimana bisa mencarinya? Nama-nama kakaknya, kamu juga pasti tidak tahu!”

“Aku hanya tahu nama-nama panggilan mereke. Mas Didit dan Mas Koko. Aku tidak tahu nama lengkap mereka.”

“Kamu sudah cari di facebook, twitter aau jejaring sosial lainnya? Siapa tahu ada. Biasanya orang-orang suka meng-upload foto-foto masa lalu atau masa kecil mereka!”
“Aku sudah mencoba mencarinya, tapi tidak kutemukan Mbak Ade yang aku maksud!”

Ardi bangkit dari duduknya. “Susah juga mencarinya kalau begitu, Yo.”

“Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku berharap bisa menemukannya. Semoga Tuhan mendengarkan permohonanku,” Satrio menengadahkan tangannya seperti orang berdoa.

Ardi tertawa. “Yah, semoga saja begitu.” Sepupu Satrio itu berjalan ke mejanya, mengambil sepotong martabak dan memakannya. Tidak lama kemudian terdengar suara adzan maghrib. “Maghrib Yo. Kita sholat dulu di musholla, setelah itu kita cari makan malam.” Satrio bangkit dari duduknya, meletakkan foto yang dipegangnya di atas meja, kemudian mengambil kain sarung dan berjalan keluar kamar, diikuti oleh Ardi.

***

Satrio pulang dari tempat kost Andy, teman kuliahnya,  untuk meminjam sebuah buku dengan menggunakan sepeda ketika melihat sebuah mobil smart car menyenggol seorang bapak bersepeda yang membawa sekarung beras di jalanan yang sepi. Sepeda itu oleng hingga karung beras yang dibawanya jatuh dan isinya tumpah, tapi bapak pengendara sepeda itu tidak apa-apa. Satrio segera berhenti, meletakkan sepedanya dan berlari ke arahnya. “Bapak tidak apa-apa?” Bapak pengendara sepeda itu menggeleng. Satrio melihat karung beras yang terjatuh lalu menggeser dan mendirikannya.

Pengendara mobil membuka kaca jendela mobilnya dan mengeluarkan kepalanya. “Bapak tidak apa-apa kan?” tanyanya kemudian.

“Tidak apa-apa Mas,” jawab bapak pengendara sepeda.

“Maafkan saya Pak, soalnya saya agak terburu-buru!”

“Hei! Keluar!” teriak seorang perempuan yang datang tiba-tiba. Perempuan berkacamata dengan rambut ekor kuda berdiri tepat di depan kepala pengendara mobil yang sedang melongok dari jendela mobil. “Ayo keluar! Kalau tidak aku akan berteriak biar semua orang datang kesini dan mengeroyok kamu atau aku laporkan ke polisi!” Satrio terkejut dengan kedatangan perempuan berkaca mata tersebut. Diperhatikannya perempuan itu sambil mengambil beras yang tumpah di jalan dengan bapak pengendara sepeda menggunakan kedua tangannya.

Pengendara mobil itu akhirnya keluar. “Aku sudah minta maaf dengan bapak itu!” katanya sambil menunjuk bapak pengendara sepeda yang sedang mengambil beras yang tumpah.

“Ambil beras itu!” kata perempuan berkacamata kepada pengendara mobil.

“Tapi...”

“Kamu mahasiswa?” Pengendara mobil itu mengangguk. “Mobil ini milik kamu?” Pengendara mobil itu kembali megangguk. “Apa susahnya mengambil beras itu! Dengarkan! Satu butir beras itu sangat berarti bagi bapak itu! Bagi kamu, mahasiswa kaya, mungkin tidak ada harganya beras sebanyak itu! Sekarang ambil beras yang tumpah itu, masukkan kembali ke dalam karung dan naikkan ke sepedanya!” Satrio terdiam mendengar kata-kata perempuan berkacamata itu, pikirannya melayang ke sosok Mbak Ade, gadis cilik berponi tetangganya yang kini sedang dicarinya.

“Tidak apa-apa Mbak,” kata bapak pengendara sepeda yang nampak agak sedikit ketakutan.

Perempuan berkacamata itu tiba-tiba menarik tangan Satrio. “Biarkan dia yang mengambilnya!” Laki-laki pengendara mobil itu pun akhirnya mengambili beras yang tumpah di jalan dan memasukkannya ke dalam karung. Setelah selesai kemudian menaikkan karung beras tersebut ke sepeda, lalu kembali meminta maaf kepada bapak pengendara sepeda itu dan ingin memberikannya sejumlah uang sebagai ganti rugi, tapi bapak pengendara sepeda itu menolaknya.

“Terima saja Pak, sebagai ganti rugi beras bapak yang tumpah dan kotor. Itu rezeki bapak!” kata perempuan berkacamata itu tiba-tiba. Bapak pengendara sepeda itu pun akhirnya menerimanya lalu pamit pergi.

Setelah kepergian bapak pengendara sepeda, perempuan berkacamata itu mendekati laki-laki pengendara mobil yang akan masuk kembali ke mobilnya. “Maafkan aku. Bukan maksudku untuk berkata dan bertindak kasar sama kamu. Bagi kamu, beras yang tumpah itu mungkin tidak seberapa dan tidak ada harganya, tapi bagi bapak itu, beras sebanyak itu adalah jatah makan dia dan keluarganya untuk beberapa hari, dan untuk mendapatkannya tidak mudah!” Laki-laki pengendara mobil itu menunduk. “Apa kamu sedang terburu-buru?”

“Hanya sedang ditunggu teman untuk nonton film,” jawab laki-laki pengendara mobil itu malu, kemudian sebuah kata maaf terucap dari bibirnya.

Perempuan berkacamata itu tersenyum. “Aku juga minta maaf,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Laki-laki pengendara mobil itu pun tersenyum sambil menyambut uluran tangannya, setelah itu masuk ke dalam mobil dan melaju. Satrio berdiri mematung memperhatikannya. Perempuan berkacamata itu mendekati Satrio. “Terima kasih kamu telah menolong bapak itu,” katanya sambil tersenyum sambil menatap Satrio. Belum sempat Satrio membalas kata-katanya, perempuan berkacamata itu sudah berlalu dari hadapannya, mengambil sepedanya yang tergeletak begitu saja, kemudian mengayuhnya.

“Perempuan yang unik dan aneh!” gumam Satrio sambil memandang kepergian perempuan berkacamata itu. Setelah sosoknya menghilang di sebuah tikungan, Satrio pun mengambil sepedanya kemudian kembali menaikinya dan mengayuhnya. “Senyumannya sepertinya tidak asing bagiku!” benak Satrio. “Yah, mirip senyuman Mbak Ade! Jangan-jangan dia memang Mbak Ade yang aku cari! Aduh, kenapa tadi tidak aku tanyakan namanya!” Satrio memukul dahinya sendiri.

***

“Di, siang tadi aku bertemu dengan perempuan cantik yang unik, juga aneh!” kata Satrio kepada Ardi saat mereka makan di sebuah warung pecel lele selepas isya.

“Unik dan aneh bagaimana?” tanya Ardi. Satrio kemudan menceritakan kejadian bapak pengendara sepeda pembawa beras. “Unik juga perempuan yang kamu ceritakan itu Yo. Gara-gara beras dia marah-marah, terus setelah itu minta maaf!” komentar Ardi sambil tersenyum setelah selesai mendengar cerita sepupunya itu. “Dia mahasiswa?”

“Sepertinya begitu. Dan satu lagi Di, ketika aku melihat senyumnya, aku jadi teringat dengan Mbak Ade!”

Ardi tertawa. “Mestinya waktu itu kamu tanyakan namanya, Yo!”

“Dia keburu pergi sebelum aku tanyakan namanya.”

“Ngomong-ngomong soal perempuan unik, aku juga punya teman kuliah perempuan yang agak unik!”

“Seunik apa?”

“Cantik tapi galak!”

“Itu sih biasa, Di!” Satrio tertawa.

“Tapi dia sangat baik, sederhana, tidak centil dan apa adanya. Aku sering satu kelompok dengannya dalam beberapa tugas kuliah!”

“Waduh! Sebegitunya kamu memuji dia, Di. Jangan-jangan kamu suka dia!” Satrio tertawa. Ardi terdiam, hanya seulas senyum tipis di bibirnya.

“Ardi! Kamu makan disini juga?!” suara seorang perempuan dari arah samping kanan membuat Ardi dan Satrio terkejut.

“Laras!!!” kata Ardi.

“Wah, kebetulan sekali. Jadi kita bisa makan bersama-sama, “ kata Laras tersenyum sambil duduk di samping Ardi. Ardi tersenyum terpaksa sedangkan Satrio nampak menahan tawanya.

“Malam ini kita bakal makan gratis Di, berani taruhan, pasti Laras-mu ini dengan memaksa akan membayar makan kita!” kata Satrio berbisik kepada sepupunya.

Ardi menyikut Satrio. “Aku masih sanggup bayar sendiri!”

***

“Laras itu seperti hantu! Ada dimana-mana! Tidak di kampus, di jalan, di warung pecel lele! Di mana pun aku berada selalu saja bertemu dengannya!” kata Ardi sambil melepas jaket dan menaruhnya di gantungan baju sebelah lemari.

“Mungkin sudah jodoh!” Satrio tertawa. Ari tersenyum kecut. “Apa salahnya sih, Di? Apa yang kurang dari Laras? Semua yang diinginkan laki-laki pada perempuan sepertinya ada semua di Laras! Cantik, baik, kata kamu otaknya juga lumayan, dan kaya!”

“Bukan masalah itu Yo, tapi masalah ini!” Ardi menunjuk dadanya sendiri. “Ini masalah hati dan perasaan!”

“Jadi, di hatimu sudah ada perempuan lain?!” Ardi terdiam. “Jangan-jangan perempuan unik yang kamu ceritakan itu yang kini ada di hatimu. Betul begitu, Di?!” tebak Satrio sambil membuka bajunya dan menggantinya denga kaos. Tidak ada jawaban dari Ardi. ”Kamu diam, berarti betul!” Satrio tertawa.

“Sok tahu kamu Yo! Sudah ah! Tidak usah dibahas! Aku mau ke kamar mandi!” kata Ardi sambil membuka pintu dan keluar kamar. Meninggalkan Satrio yang masih tertawa.

***

Satrio sedang membuka-buka sebuah majalah otomotif di bagian majalah di sebuah toko buku besar pada sebuah pusat perbelanjaan pada waktu minggu sore ketika seorang perempuan berkacamata berdiri disampingnya. “Hei! Kamu yang waktu itu ikut menolong, kan?” kata perempuan berkacamata itu tiba-tiba. Satrio menoleh ke arah perempuan yang berdiri disampingnya. “Perempuan unik itu!” benaknya. Diperhatikannya perempuan berkacamata yang kini mengurai rambutnya, hanya ada sebuah bando hitam kecil yang melingkar di kepalanya. “Betulkan, kamu yang waktu itu?” perempuan berkacamata itu kembali berkata. Satrio pun mengangguk sambil tersenyum.

“Ni, aku sudah dapat bukunya! Ayo sekarang kita pergi! Yang lain sudah menunggu!” seorang perempuan lain menarik tangan perempuan berkacamata tersebut.

“Maaf aku harus pergi!” kata perempuan berkacamata kepada Satrio. Satrio pun tersenyum sambil memandangi kepergiannya. “Senyum itu! Ya, senyum itu mirip sekali dengan senyuman Mbak Ade! Tapi dia bukan Mbak Ade! Tadi temannya memanggilnya dengan nama Ni!” benak Satrio.

***

“Yo, kamu mau kemana?” tanya Andy ketika melihat satrio bergegas bangkit dari duduknya setelah selesai mata kuliah terakhir.

“Mau mengembalikan buku-buku ke perpustakaan pusat. Kamu mau ikut?”

“Tidak. Aku sudah ditunggu Agus di ruang senat,” jawab Andy.

***

Satrio mengeluarkan beberapa buku dari tas ranselnya ketika sudah berada di depan meja petugas perpustakaan. Bersamaan dengan itu selembar kertas ukuran kartu pos terjatuh dari buku-buku tersebut. Satrio tidak menyadarinya hingga seseorang mengambilnya dari lantai.

“Terima kasih, Bu,” kata Satrio kepada petugas perpustakaan setelah selesai mengembalikan buku-bukunya dan menerima kembali kartu perpustakaannya. Satrio berbalik dan terkejut ketika melihat perempuan berkacamata dengan rambut ekor kuda yang sedang berdiri memandang dengan serius selembar kertas ukuran kartu pos yang dipegangnya.  “Eh, Mbak, ketemu lagi,” sapanya sambil tersenyum kepada perempuan berkacamata tersebut.

“Apa ini milikmu?” kata perempuan berkacamata itu sambil membalikkan kertas dan menunjukkannya kepada Satrio.

“Ya ampuuun, kenapa aku masih menyelipkan foto itu dalam buku sejarah timur tengah yang baru saja kukembalikan ke perpustakaan?! Pasti tadi terjatuh waktu aku mengeluarkannya dari ransel!” benak Satrio.

“Apa foto ini milikmu?” Perempuan berkacamata itu mengulag lagi pertanyaannya sambil menatap tajam Satrio.

Satrio tersenyum. “Iya. Mungkin tadi terjatuh sewaktu aku mengeluarkan buku dari ransel.”

“Apa anak laki-laki dalam foto ini kamu?” wajah perempuan berkacamata itu menegang.

Satrio mengernyitkan dahinya. “Iya, itu memang aku. Memangnya kenapa, Mbak?”

“Kamu Tiyo! Satrio!” teriak perempuan berkacamata itu hingga membuat sebagian orang yang berada di perpustakaan melihat kearahnya. “Benar, kamu Satrio!” katanya kemudian dengan volume suara yang dikecilkan. Satrio sontak terkejut. “Kamu tidak mengenaliku, Tiyo?!” perempuan berkacamata itu menyodorkan foto yang dipegangnya kepada Satrio. “Apa kamu sudah melupakan gadis cilik berponi yang sedang merangkulmu ini?!” Satrio semakin terkejut, ditatapnya perempuan yang berdiri didepannya tersebut. “Apa kamu tidak ingat Mbak Ade?! Superman kecil yang menggendongmu dan membuatmu terjatuh saat hujan?!”

“Mbak Ade!” Satrio menatapnya tidak percaya. Perempuan berkacamata itu mengangguk sambil tersenyum. “Ini benar-benar Mbak Ade, gadis cilik tetanggaku di Purwokerto?!” tanpa sadar Satrio memegang kedua lengannya.

“Iya. Aku Mbak Ade, yang dulu menemanimu saat kamu menangis seorang diri di belakang rumah.” Satrio tiba-tiba menarik gadis berkacamata itu dan memeluknya, hingga kembali menjadi perhatian orang-orang. Satrio langsung menyadarinya lalu melepaskan pelukannya. Perempuan berkacamata itu kemudian mengajak Satrio keluar dan pergi ke kafetaria perpustakaan di lantai dasar gedung, melupakan niatnya untuk mengembalikan buku perpustakaan.

“Aku benar-benar tidak menyangka Mbak adalah Mba Ade! Aku benar-benar tidak mengenalinya. Mbak Ade sekarang jauh berbeda dari Mbak Ade kecil yang dulu aku kenal!” kata Satrio setelah duduk berhadapan dengan perempuan berkacamata yang kemudian diketahuinya sebagai Mbak Ade gadis cilik berponi dan berkepang dua tetangganya, di salah satu sudut di kafetaria.

Mbak ade tertawa. “Aku juga tidak menyangka kalau kamu adalah Satrio, anak laki-laki kecil yang menangis karena mempunyai adik baru.” Satrio tertawa. “Kamu sangat berbeda sekali dengan Satrio kecil. Sekarang kamu tinggi dan ganteng!” Mbak Ade tersenyum. “Bagaimana dengan adikmu, Maya?”

“Dia sudah besar, sekarang sudah kelas satu SMP. Dia cantik tapi agak sedikit tomboy!”

Mbak Ade dan Satrio kemudian saling bercerita tentang keadaan keluarga dan kehidupan masing-masing setelah mereka berpisah. Satrio mengatakan kalau dia sangat kehilangan Mbak Ade, setelah kepindahannya. Begitu juga dengan Mbak Ade yang sangat kehilangan teman-temannya, termasuk Satrio yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri.

“Oh iya Mbak, apa keinginanmu untuk mempunyai sawah yang luas dan bertanam padi sudah terwujud?” tanya Satrio sambil tersenyum. Mbak Ade hanya tertawa, kemudian mengatakan kalau bapak-nya lah yang sudah mempunyai sawah, karena setelah pensiun dari kepolisan bapaknya memutuskan untuk bertani di tempat kelahirannya di Bantul.

“Aku benar-benar ingin sekali bertemu dengan Mbak Ade!” kata Satrio, “waktu aku tahu aku diterima kuliah di Jogja aku sangat senang, karena dalam pikiranku, di Jogja aku pasti akan bertemu kembali dengan Mbak Ade.” Mbak Ade tertawa. “Tapi aku tidak tahu informasi apa-apa tentag Mbak Ade. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang perempuan berkacamata yang marah-marah kepada seorang pengendara mobil di jalan. Kemudian aku melihat Mbak tersenyum, dan senyuman itu mengingatkanku pada Mbak Ade. Dalam hati kecilku, aku berharap kalau Mbak memang Mbak Ade. Tapi setelah bertemu lagi dengan Mbak di sebuah toko buku, aku kecewa ketika seorang temannya memanggilnya dengan nama lain, bukan Ade!”

Mbak Ade tertawa. “Namaku memang bukan Ade! Tapi Seruni. Seruni Wulandari. Ade adalah panggilan dari keluargaku yang berarti adik, karena aku adalah anak paling kecil dan satu-satunya anak perempuan di keluargaku. Yah, boleh dibilang panggilan sayang waktu kecil. Setelah masuk SMP aku sudah tidak dipanggil Ade lagi.”

Satrio tertawa. “Aku tidak pernah tahu tentang itu. Aku hanya tahu nama Mbak adalah Ade. Pantas saja, aku cari di facebook, twitter dan jejaring soial lainnya aku tidak menemukan Mbak.”

“Aku memang tidak mempunyai facebook, twitter, atau yang lainnya! Ketinggalan sekali aku, ya!” Mbak Ade tersenyum.

“Aku punya, tapi tidak begitu aktif!” kata Satrio.

Mbak Ade mengatakan kalau dia tidak pernah melupakan Satrio, adik laki-laki kecil kesayangannya. Saat bertemu dengan Satrio untuk pertama kalinya saat menolong bapak pengendara sepeda yang membawa karung beras, dia tidak dapat melupakannya, karena merasa sangat mengenal tatapan mata Satrio, begitu juga saat bertemu untuk kedua kalinya di toko buku. “Kamu ingat, waktu kita terjatuh saat balapan gendong waktu hujan?” tanya Mbak Ade. Satrio mengangguk sambil tersenyum. “Kamu terluka di keningmu dan aku terluka di lututku, yang kemudian diobati oleh mama kamu.” Satrio tertawa kecil. “Luka itu membekas sampai sekarang!” Mbak Ade menggeser kursi yang didudukinya dan berdiri, kemudian menarik celana panjang bagian bawahnya hingga ke lutut dan memperlihatkan sebuah bekas luka yang berwarna coklat tua di lutut kanannya. “Bekas luka ini yang selalu mengingatkan aku sama kamu, Tiyo!” Satrio memperhatikan bekas luka tersebut. Mbak Ade kemudian menurunkan celananya dan duduk kembali.

“Aku juga mempunyai bekas luka saat itu,” Satrio menyibak rambut yang menutup kenibg sebelah kanannya. Terlihat sebuah cekungan kecil dan bekas luka berwarna coklat.

“Ya Tuhan!” Mbak Ade berdiri dan menyentuh bekas luka di kening Satrio. “Ini semua karena aku ya?” katanya sambil tersenyum.

“Tiyo! Runi!” Sebuah suara mengagetkan Satrio dan Mbak Ade. “Kalian rupanya saling kenal!”

“Ardi!” kata Satrio dan Mbak Ade bersamaan ketika melihat Ardi yang sudah berdiri di antara mereka. Mbak Ade duduk kembali, dan nampak jelas perubahan rona wajahnya ketika melihat Ardi. Satrio memperhatikannya.

“Kalian salng mengenal?” tanya Satrio kepada Ardi dan Mbak Ade.

“Ardi teman kuliahku, satu juruasan dan satu fakultas,” jawab Mbak Ade.

“Oh ya!” Satrio nampak terkejut.

“Kalian juga saling kenal?” Mbak Ade memandang Satrio dan Ardi secara bergantian.

“Satrio sepupuku,” jawab Ardi.

“Ya Tuhan! Betapa sempitnya dunia ini. Aku tidak menyangka, Ardi yang selama hampir tiga tahun aku kenal adalah sepupumu, Yo!” Mbak Ade tertawa.

“Bagaimana kalian saling mengenal?” tanya Ardi keheranan.

Satrio tersenyum, kemudian mengambil foto yang ada di atas meja dan menunjukkan kepada Ardi. “Kau ingat gadis kecil berponi dan berkepang dua yang ada dalam foto ini yang pernah aku ceritakan, Di?” Ardi mengangguk. “Dia adalah Mbak Ade!” Satrio menunjuk ke Mbak Ade yang tersenyum.

“Seruni?!” kata Ardi menatap Mbak Ade dengan tatapan tidak percaya. Mbak Ade mengangguk. “Ya Tuhan! Dunia benar-benar sempit!”

Satrio tertawa. “Ardi pernah berkata kalau Mbak Ade waktu kecil sangat cantik dan lucu, terus penasaran bagaimana besarnya.”

“Apa betul begitu, Di?” tanya Mbak Ade dengan wajah nampak berseri.

“Nah, sekarang kamu sudah tahu bagaimana rupa gadis cilik berponi itu setelah besar. Bagaimana menurutmu Di?” Ardi tersinyum simpul.

***

“Yo, ada yang mencarimu,” kata Ardi yang baru pulang kuliah kepada Satrio yang sedang duduk ditempat tidurnya sambil membaca sebuah buku.

“Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan gadis cilik berponi bekas tetanggamu itu,” jawab Ardi tersenyum sambil meletakkan tas kuliahnya di atas meja belajarnya. “Sekarang dia ada di teras depan.”

“Siang ini aku akan jalan dengan Mbak Ade,” kata Satrio yang langsung menghentikan kesibukannya dan berjalan keluar kamar.

Sepeninggal Satrio, Ardi duduk di tepi tempat tidurnya.

“Kamu pernah bertanya Yo, kenapa aku tidak bisa menyukai Laras? Dan aku tidak menjawab ketika kamu bertanya apakah aku menyukai perempuan unik temanku?! Ya! Aku memang menyukainya! Sejak pertama aku mengenalnya! Kamu tahu siapa dia Yo?! Dia adalah Seruni! Gadis cilik berponi dan berkepang dua tetanggamu, yang kamu kenal sebagai Mbak Ade!” Ardi menghela nafas. “Dan Runi, selama aku berteman denganmu, aku tidak pernah melihatmu sebahagia ini, wajahmu berseri, tersenyum dan tidak segalak biasanya sebelum kamu bertemu dengan Satrio, sepupuku yang juga tetanggamu dan teman kecilmu dulu!” Ardi menunduk.

Di teras, Satrio melihat seorang perempuan berkepang satu sedang memperhatikan sebuah lukisan pemandangan di dinding. Satrio berdehem. Perempuan tersebut menoleh dan tersenyum. “Mbak Ade!” Satrio terkejut melihat penampilan Mbak Ade yang tanpa kacamata dan kini dengan rambut berponi.

“Bagaimana Yo? Apa aku sudah mirip dengan gadis cilik berponi di foto itu?” Mbak ade tersenyum. Satrio tertawa. “Tapi aku tidak berani lagi mengepang dua rambutku, karena teman-temanku pasti akan mentertawaiku, jadi aku hanya mengepang satu rambutku!”

“Apa pun dan bagaimana pun penampilannya, Mbak Ade tetaplah Mbak Ade-ku yang dulu!” kata satrio. Mbak Ade tersenyum. Keduanya kemudian pergi dengan berboncengan motor yang dibawa Mbak Ade.

***

“Bagaiman kencannya Yo?” tanya Ardi ketika melihat kedatangan Satrio.

“Kencan? Siapa yang kencan?” jawab Satrio sambil duduk di kursi meja belajarnya.

“Kamu dengan gadis cilik berponi itu!” Satrio tertawa. “Kamu pasti sangat senang ya Yo? Begitu juga dengan Runi, kulihat dia berubah setelah bertemu denganmu. Dia kelihatan bahagia!

“Kamu cemburu, Di?”

“Cemburu? Cemburu dengan siapa?”

“Karena aku jalan dengan Mbak Ade!” Satrio tertawa. Ardi tersenyum sambil memainkan bolpen yang dipegangnya. “Mbak Ade menyukaimu, Di!” Ardi terbatuk. Satrio tertawa. “Sudahlah Di. Kamu juga jangan berpura-pura! Gadis unik yang pernah kamu ceritakan itu maksudnya adalah Mbak Ade alias Seruni, kan?!” Ardi terdiam.

“Aku tidak bohong, Mbak Ade benar-benar menyukaimu!”

“Bagaimana denganmu?”

“Aku!” Satrio tertawa. “Apa kamu pernah mendengar aku mengatakan aku menyukai atau mencintai Mbak Ade? Aku hanya menganggapnya sebagai kakak, begitu juga dengan Mbak Ade yang menganggapku hanya sebagai adiknya. Satrio kemudian bercerita kalau Mbak Ade atau Seruni sudah menyukai Ardi sejak lama.

“Benarkah?!” kata Ardi bersemangat.

Satrio mengangguk. “Seperti itulah yang Mbak Ade katakan padaku.”
“Tapi dia kelihatan bahagia bersamamu sampai dia merubah penampilannya!”
Satrio tertawa. “Disamping bahagia karena memang bertemu denganku, juga karena aku adalah sepupumu, jadi banyak kesempatan dia bertemu denganmu, Di. Soal merubah penampilannya, apa kamu ingat ketika aku mengatakan di perpustakaan, kalau kamu pernah mengatakan kalau gadis cilik berponi dan berkepang dua di foto itu sangat cantik dan lucu? Mbak Ade ingin seperti itu, agar kamu bisa memujinya!” Ardi terdiam, tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kalau dia kelihatan senang. “Lagipula aku dan Mbak Ade baru beberapa hari bertemu. Sedangkan kalian sudah saling mengenal hampir tiga tahun!”

“Tapi kamu telah mengenalnya sejak kecil!”

“Memang benar, tapi sebagai anak-anak, sebagai teman kecil. Tapi aku belum mengenal Mbak Ade yang sekarang ini, begitu juga sebaliknya!” Ardi kembali terdiam. “Kamu benar-benar menyukainya, kan Di?”

“Ya! Aku menyukainya sejak pertama aku mengenalnya!!”

“Begitu juga dengan Mbak Ade! Dia pun sudah merasakan kalau kamu juga menyukainya. Tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Mbak Ade menunggu kamu mengungkapkan kalau kamu menyukainya, Di. Tapi akhir-akhir ini dia agak sedikit cemburu, karena kamu sering terlihat bersama Laras.”

“Laras yang mendekatiku! Aku tidak pernah menyukainya!” nada suara Ardi agak sedkit meninggi.

Satrio tertawa. “Tenang saja, aku sudah mengatakan kalau kamu tidak menyukai Laras. Aku bilang kamu menyukainya!” Ardi melotot kepada Satrio. “Katakan padanya, kalau kamu mencintainya. Mbak Ade sudah terlalu lama menunggu ucapanmu!”

Ardi tersenyum, hatinya merasa lega dan berniat esok hari akan mengatakan perasaannya yang selama ini dia simpan kepada Mbak Ade atau Seruni.

{{|{{

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun