PENGANTAR
Konsep kebangsaan tampak jelas dari cerminan konsep kebahasaan. Sehingga bahasa suatu bangsa merupakan cerminan suatu bangsa. Keanekawarnaan suku bangsa dan bahasa di Indonesia merupakan hal yang tidak bisa diabaikan, karena menjadi identitas yang khas bagi setiap etnisitas yang ada. Faktor aneka warna bangsa itu, adalah suatu sifat dari bangsa-Indonesia yang sering kita banggakan; sebaliknya sifat itu juga mempunyai aspek-aspeknya yang membuat pembangunan ini lebih sukar (Koentjaraningrat, 2010: 382). Pemahaman terhadap berbagai keragaman sebagai kekhasan bangsa Indonesia menjadi tonggak penting dalam menuju kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Tulisan ini lebih menekankan pada daya tahan bahasa Indonesia dalam gempuran arus globalisasi dan kekukuhan lokalitas keragaman suku bangsa di Indonesia yang ditilik dari dominasi budaya.
Dalam budaya tulisan keragaman itu tampak dalam kutipan novel Penyair Merah Putih berikut.
“Seneng ketemu karo sampean. Matur nuwun sanget informasinya.”
Empat sekawan langsung terkejut, terutama Iyan.
“Apa??? Mas tadi bilang karo? Karo itu kera bagi kami, Mas.”
Di kening Iyan muncul tujuh kerutan.
“Maaf. Dik. Kami tidak tahu. Yang saya maksud tadi senang bertemu Anda dan terima kasih infonya.”
(Novita M.Z, 2011: 65)
Dari kutipan di atas tampak bahwa frasa dari suatu daerah bisa memiliki makna lain
ketika diucapkan di daerah lainnya. Sehingga kesadaran atas berbagai warna suku bangsa di bumi pertiwi ini harus dipahami secara total. Totalitas pemahaman tersebut untuk menghindari perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa.
Situasi dan Kondisi suatu bangsa untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan tidak bisa terlepas dari keberadaan bahasanya. Ketika bahasa suatu bangsa mampu memproyeksikan realisasi hubungan antar masyarakatnya secara komunikatif maka peran bahasanya pun akan mampu menjembatani pembangunan bangsa. Keberadaan suatu bahasa dalam suatu bangsa merupakan bentuk esensi dari rasa nasionalisme sekaligus eksistensi lokalisme. Tidak adanya bahasa pemersatu (bahasa kesatuan) dalam sebuah negara akan memicu berbagai konflik yang berujung pada polemik stabilitas bangsa.
Negara-negara yang memiliki bahasa nasional cenderung konsisten mempertahankan persatuan dan kesatuannya dibandingkan dengan negara yang belum memiliki bahasa persatuan secara rigid. Indonesia, sebagai negara Bhinneka Tunggal Ikamemiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan yang menyatukan berbagai etnisitas di seluruh wilayah Nusantara. Selain beridentitas sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia juga berperan sebagai identifikasi rasa nasionalisme warga negara Indonesia. Hal ini tampak dari berbagai variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat baik secara lisan maupun tulisan, baik dalam bingkai formal maupun nonformal.
Sebagai contoh identifikasi nasionalisme dalam berbahasa tampak dari cara berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, para pejabat tak jarang justru dengan ‘latah’ mencacah bahasa Indonesia dengan berbagai kontaminan bahasa asing baik secara dialek maupun dialog serta dominasi frasa dalam bahasa daerah. Dari pemerintahan era Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, tampak begitu kental Jawanisasi bahasa Indonesia. Perbedaan signifikan terutama pada masa pemerintahan Soeharto yang dengan jelas menggunakan sufiks ken hampir dalam setiap kalimat yang diucapkannya. Berbeda dengan Soekarno yang dari penamaan anak-anaknya tampak dengan jelas adanya usaha peng-Indonesianisasi. Sebut saja Guntur, Guruh, Mega, dan Sukma yang kesemuanya merupakan frasa dalam bahasa Indonesia.
Dewasa ini, keragaman bahasa Indonesia tidak hanya tampak dari segi dialek suatu daerah tetapi juga dari dialog suatu golongan remaja dan teman sepermainan mereka. Hingga kemudian timbul berbagai istilah “bahasa gaul”, “bahasa alay”, “bahasa on-line”, yang semua itu merupakan wujud dari budaya pop. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi serta kemajuan informasi. Sehingga kompleksitas dalam berbahasa semakin berkembang. Kompleksitas ini disebabkan oleh dua faktor utama, yang pertama oleh kontak individu/kelompok dalam suatu wilayah tradisi budaya (enkulturasi), yang kedua oleh kontak budaya dengan budaya lain antar wilayah (akulturasi). Perkembangan itu bisa dilihat dari penggunaan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana tampak dari tulisan novelis muda Mardhiyan Novita M.Z. sebagai berikut:
Jemari Arin dengan lekas menekan tombol-tombol hp untuk membalas sms.
/Wa’alaikumsalam, Ustadz. Afwan, ana sedang belajar, Ustaz…/
/Afwan jiddan. Belajar yang baik. Wsslm./
(Novita M.Z, 2011:110)
Sebagai negara penganut sistem demokrasi, Indonesia menjalin kontak budaya dari berbagai negara. Hubungan ini semakin memperkaya kosa kata yang dimiliki bahasa Indonesia. Berbagai macam istilah yang sebelumnya tidak ada menjadi ada dan itupun melalui proses yang selektif pastinya. Filterisasi budaya cukup penting mengingat tidak semua kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
NASIONALISME BERBAHASA DALAM BINGKAI LOKAL DAN GLOBAL
Perkembangan bahasa Indonesia sebagai mediasi massa dalam berkomunikasi mengalami signifikansi yang terus meningkat. Hal ini terjadi karena pengaruh dari berbagai segi, segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud). Dari segi politik, bahasa Indonesia mengalami gejolak yang cukup krusial mulai dari awal kelahirannya dari sebelum perang kemerdekaan ’45 hingga sekarang ini. Politisasi dalam berbahasa yang diterapkan oleh para wakil rakyat di republik ini memiliki konsekuensi yang harus ditanggung secara massal oleh seluruh rakyat Indonesia. Frasa dikarenakententu cukup familiar didengar pada era pemerintahan Soeharto. Atau frasa wong cilik yang akrab disampaikan oleh mantan presiden Megawati dan berbagai frasa dalam bahasa daerah (lokal) lainnya yang melekat pada karakter para politisi negeri ini.
Selain berbagai frasa dalam bahasa daerah, masyarakat Indonesia juga tampak akrabdengan frasa dalam bahasa asing terutama bahasa Inggris. Menyitir sebuah kalimat dari novel Penyair Merah Putih (Novita M.Z, 2011:135) sebagai berikut: ternyata di layangan berwarna merah ada tulisan WE LOVE ARIN dan di layangan berwarna putih ada tulisan ARIN LOVE INDONESIA. Penggunaan bahasa asing yang dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi merupakan suatu hal yang umum berlaku di kalangan masyarakat. Hanya saja perlu digarisbawahi sampai sejauh mana pemosisian bahasa Indonesia dalam komunikasi massa?
Selain kegemaran menggunakan bahasa asing sebagai bentuk ekspresi diri, kelatahan dalam mempolitisasikan bahasa umumnya sering juga terjadi pada saat-saat menjelang Pemilu. Para caleg tampak dengan getol berkoar-koar menyampaikan berbagai visi dan misi sebagai bentuk promosi diri yang sayangnya sering alfa dalam memperhatikan pilihan diksi dalam berbahasa. Sehingga bukan suatu hal yang mengherankan jika terdapat berbagai frasa yang nota bene-nya merupakan frasa gado-gado. Bahasa daerah (lokal) sering kali “hanya” dijadikan penghalus dan bahasa Indonesia yang dirasa kurang apresiatif itu pun lebih sering dijejali frasa-frasa asing yang tidak bisa ditangkap maksudnya oleh masyarakat awam.
Selain itu, dalam bidang ekonomi keberadaan suatu bahasa sangat mendukung dalam hal penjualan terutama dalam bidang periklanan. Bahasa periklanan atau yang akrab disebut sebagai jargon mampu menghegemoni masyarakat untuk membeli suatu produk meskipun tidak membutuhkannya, tetapi hanya sekedar menginginkannya. Berbeda dari segi ekonomi, dari segi sosial peran bahasa sangat signifikan dalam menjalin keakraban dan keeratan dalam lingkup kehidupan masyarakat komunal. Sehingga variasi bahasa tampak jelas jika dilihat dari usia penuturnya. Sebagai salah satu wujud kreativitas remaja, bahasa slang menjadi suatu identitas khusus bagi penutur bahasa usia remaja yang juga biasa disebut sebagai bahasaalay akronim dari anak layangan.
Pembahasan mengenai aspek sosial tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya. Keduanya memiliki korelasi yang rapat. Sehingga saling terjalin kontak yang erat. Kemajuan teknologi dan kemudahan informasi membentuk dunia sebagai suatu bola kecil yang dari setiap sisinya bisa dengan mudah diketahui perkembangan paling mutakhirnya. Keberadaan jejaring sosial seperti facebook dan twitter bukan hanya sekedar mempermudah akses informasi dan komunikasi tetapi juga menimbulkan sikap isolatif terhadap lingkungan sekitar yang memacu lahirnya sikap hedonisme. Eksklusifitas yang diusung masing-masing individu secara massal tampak seragam, hal ini terjadi karena sikap tersebut merupakan bentuk ekstensi dari budaya massa dalam bingkai populis (budaya pop).
Semua kebudayaan di Indonesia itu tidak ada yang kurang atau yang lebih tinggi (Koentjaraningrat, 2010: 34). Menyitir kalimat Antropolog Indonesia nomor wahid tersebut, tampak bahwa soliditas nasionalisme masyarakat Indonesia saat ini belum total mencerminkan ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Hal ini tampak secara konkret dari asumsi massa bahwa masih terdapat budaya tinggi dan budaya rendah, sehingga adanya pengkiblatan suatu gaya dan bahasa yang dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Indonesia dialek Jakarta secara umum dinilai lebih gaul dan keren daripada bahasa Indonesia dialek daerah lain. Jadi bukan suatu hal yang mengherankan jika ada seorang remaja asal Jawa berbicara dengan berbahasa Indonesia namun masih kental aksen daerahnya lalu kemudian dikatakan medok, yang kemudian oleh teman-teman sepermainannya dipredikati sebagai orang yang ndeso. Sikap seperti inilah yang memicu rasa minder dalam menggunakan dialek bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari.
Penggunaan bahasa daerah di kalangan masyarakat khususnya remaja sebagai generasi penerus bangsa tampak mulai kehilangan eksistensinya. Rasa kurang percaya diri untuk berbahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari, lambat laun pun bergeser dengan rasa kurang prestisius jika “hanya” menggunakan bahasa Indonesia saja dalam obrolan sehari-hari. Sehingga bukan suatu hal baru jika mendapati generasi muda masa kini tampak begitu percaya diri terhadap budaya asing termasuk dari segi penggunaan bahasa. Keadaan ini tidak serta merta menjadi kealfaan mereka saja, lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sosial juga ikut andil dalam merekontruksi orientasi tersebut.
Kebanggaan orang tua terhadap kemampuan anak dalam berbahasa asing (terutama bahasa Inggris, Mandarin, Jepang) menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi para orang tua untuk berlomba-lomba mendaftarkan anak-anak mereka ke lembaga bimbingan belajar (bimbel) mulai sedini mungkin. Bahkan ironisnya lagi, tidak sedikit para orang tua yang kini justru membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Keadaan ini tak jauh beda dari fakta di salah satu sekolah swasta Indo-Asia di Kepulaun Riau yang sebagian siswanya tidak lulus UAN dikarenakan ketidakmampuan para siswanya dalam berbahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan. Namun fasih berbahasa Inggris.
Di beberapa sekolah, bahasa asing menjadi pelajaran yang diprioritaskan, hal ini jauh berbeda dengan ‘nasib’ bahasa daerah yang justru diapriorikan. Sebagai contoh, di Jambi pelajaran bahasa daerahnya Arab-Melayu (Armel) hanya berlaku di sekolah tertentu. Hal ini terjadi karena sulitnya mendapatkan guru mata pelajaran tersebut. Jika pun ada, guru yang mengajar bukanlah lulusan khusus dari Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) tetapi guru dari suatu pondok pesantren Islam-Melayu kota seberang.
Nasionalisme sebagai proyeksi idealis dalam berbangsa mampu diwujudkan dengan cara berbahasa yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dalam hal ini perlu dibedakan antara bahasa lisan dan tulisan, formal dan informal. Sehingga efektifitas bahasa dapat dimaksimalkan secara tepat dan sesuai tempat yang kemudian mampu menjadi mediator pembangunan bangsa. Penggunaan bahasa daerah dan bahasa nasional serta bahasa asing harus memiliki takaran yang seimbang agar terwujud harmonisasi berbahasa. Menyitir pemikiran Koentjaraningrat (2010: 34) bahwa kita semua bertolak dari suatu titik yang sama menghadapi zaman modern ini dengan potensi serta kecepatan yang sama, membangun ke arah suatu bangsa yang kuat dan sentosa, yang beraneka warna, tetapi toh bersatu. Gagasan tersebut dapat dijadikan acuan bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa yang ada di Indonesia bukanlah suatu alasan terhadap adanya degradasi kecintaan terhadap bangsa dan bahasa sendiri. Keadaan itu justru sebagai pemacu kualitas nasionalisme yang ada dalam setiap individu maupun kelompok masyarakat Indonesia.
AKTUALISASI BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI
Dunia global sarat dengan berbagai persaingan di setiap lini kehidupan. Sebagai produk budaya yang sangat urgensi, bahasa menjadi penentu validitas kualitas bangsa dalam segala wacana. Perkembangan suatu bangsa dapat ditinjau dari perkembangan bahasanya. Sebagai negara yang masih tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki tingkat akselerasi yang luar biasa dalam penambahan lema yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Penambahan itu dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini terbukti dari jumlah lema yang terkandung dalam kamus dari edisi pertama hingga edisi terbaru sekarang ini tidak pernah mengalami penurunan jumlah. Selain memuat ribuan lema yang baku, KBBI juga memuat bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sayangnya optimalisasi penggunaan kosa kata yang baik dan benar masih terbatas di kelompok masyarakat tertentu saja, itu pun dalam ruang lingkup yang terbatas dan sering kali tidak dalam masa yang pas. Menggunakan kata itu pada waktu dan tempat yang tepat, itulah yang disebut berbahasa yang benardan baik( Nadeak, 1984: 112--113).
Belajar dari Jepang dari segi kebahasaan, negeri Sakura ini bisa dijadikan teladan dalam mempertahankan warisan bahasanya dari generasi ke generasi. Sangat jarang bahkan bisa dibilang hampir tidak ada bahasa (tulisan) lain selain huruf kanji ataupun hiragana yang terpasang di baliho-baliho, spanduk, poster di kawasan kota dan jalan raya. Kondisi ini sangat kontras dengan yang ada di Indonesia. Di sepanjang jalan raya bisa ditemui berbagai tulisan yang menggunakan bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya. Bahkan untuk sebutan nama suatu tempat pun semakin jarang menggunakan bahasa Indonesia. Jadi bukan hal yang sulit untuk menemukan restaurant, barber shop, shopping center, department store, dealer, daripada menemukan rumah makan, tempat potong rambut, pusat belanja, toko serba ada, pedagang mobil di negeri ini. Penggunaan bahasa asing khususnya Inggris tersebut bukan tanpa alasan, apalagi jika dikaitkan dengan prinsip ekonomi bahwa penamaan suatu hal dengan bahasa yang kreatif, atraktif, dan efektif akan mampu meningkatkan penjualan. Masyarakat tampaknya sudah terhegemoni oleh prestisius yang dihadirkan oleh bahasa internasioanl ini. Hal ini secara eksplisit mengasumsikan bahwa bahasa Indonesia dianggap tidak cukup mampu untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan dan keutuhan komunikasi dalam setiap bidang kehidupan sosial masyarakat.
Selain itu (masih dalam media periklanan) bahasa Indonesia tidak jarang pula hanya dijadikan sebagai bahasa pengantar. Hal ini senada dengan pemikiran Aprinus Salam yang tertuang dalam Jurnal Humaniora (2010: 270) mengenai nasib bahasa Indonesia dalam bidang pendidikan bahwa bahasa Indonesia tidak lebih akan menjadi hapalan untuk ujian kelulusan bagi para pelajar.Bahkan menjadi hal yang mencemaskan sekali ketika secara massal para awak pertelivisian dengan sengaja maupun tidak sengaja sibuk mendominasi bahasa asing dalam dunia pertelivisian. Tanpa kecuali di berbagai stasiun televisi saat ini marak ditemui judul program acara yang menggunakan bahasa Inggris, diantaranya Headline News, Top Five, On-Line, Project Runaway. Kecintaan terhadap bahasa sendiri harus dimulai dari pemilik bahasa tersebut. Jika para ahli waris bahasa yang memilikinya sudah enggan dan malas menjaga bahasa yang ada maka siapa lagi yang akan melestarikan produk budaya yang ada ini?
SIMPULAN
Bahasa selain menjadi produk budaya sekaligus menjadi wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Sehingga eksistensi suatu bahasa merupakan cerminan dari identitas masyarakat pengampunya. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa lengkap dengan kekayaan lokalitas bahasanya memiliki tantangan lebih kompleks dari negara-negara lain yang hanya memiliki sedikit bahasa daerah. Hal inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama bagai seluruh elemen masyarakat Indonesia tanpa kecuali.
Kemusnahan suatu bahasa bisa terjadi jika tidak ada lagi para penuturnya. Hal itu sudah dialami oleh banyak bahasa suku bangsa di Nusantara. Keadaan tersebut dalam Sosiolinguistik disebut sebagai endangered languages. Selanjutnya kegiatan prefentif perlu diterapkan untuk menghindari berbagai problematika kebahasaan di negeri ini, agar bahasa nasional tidak termaginalkan oleh bangsa sendiri, agar bahasa ibu pertiwi tidak asing di tanah air sendiri. Revitalisasi dan rekonstruksi fungsi dan peran bahasa Indonesia perlu mendapat tempat khusus bagi konsolidasi nasionalisme bangsa Indonesia, dari segi kultural maupun struktural secara total.
Oleh: Eka Damayanti
Mahasiswa Ilmu Budaya UGM
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Nadeak, Wilson. 1984. Tentang Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Novita M.Z. Mardhiyan. 2011. Penyair Merah Putih. Depok: Kuntum.
Salam, Aprinus. 2010. “BahasaIndonesia, Perubahan Sosial, dan Masa Depan
Bangsa” dalam Jurnal Humaniora, Volume 22, Nomor 3, Oktober 2010, hal. 266-272.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H