Mohon tunggu...
Eka Damayanti
Eka Damayanti Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Budaya UGM

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia yang Baku dan yang Kaku

25 September 2012   09:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

1.Pengantar

Manusia memiliki berbagai peran dalam melestarikan bahasa, dua diantaranya adalah peran sebagai produsen dan konsumen. Dalam pembahasan ini, bahasa yang dimaksud bukanlah segala bahasa yang dihasilkan oleh suara manusia tetapi bahasa manusia yang jati diri kebahasaannya sudah pasti diterima secara umum oleh masyarakat sebagai media penghubung dalam berkomunikasi.

Manusia memproduksi bahasa bukan semata-matasebagai pemenuhan kebutuhan dalam berkomunikasi sehari-hari saja, tetapi ada kalanya hal itu dilakukan sebagai aktualisasi sekaligus bentuk ekspresi dan eksistensi diri. Adanya aktualisasi serta eksistensi diri membuat manusia menjadi bukan hanya sebagai pribadi yang unik tetapi juga sebagai pribadi yang kreatif. Kreatifitas itu pun pada akhirnya akan mendorong perkembangan bahasa yang semakin meningkat, sehingga akan terjaga keberlangsungan kelestarian suatu bahasa karena masih ada penuturnya. Namun, kemudian timbul persoalan ketika kreatifitas itu berkembang tanpa batas. Dari segi positif, memang mampu memperkaya kosa kata jika bisa seiring dengan kosa kata lama, tetapi bagaimana jika kosa kata baru kemudian menggusur kosa kata lama? Apakah hal itu masih bisa disebut sebagai manfaat?

Peran pokok yang kedua yaitu sebagai konsumen. Seperti halnya makanan, jika tidak ada yang mengkonsumsi maka bisa diasumsikan makanan tersebut akan basi atau berjamur dan akhirnya berakhir di tempat sampah. Tentu kemungkinan yang terakhir itu tidak diinginkan terjadi. Karena punahnya suatu bahasa akan berdampak pada kesenjangan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini konsumen bahasa tidak serta merta dapat disamakan dengan konsumen makanan, keberterimaan suatu bahasa dalam suatu wilayah sangat mempengaruhi perkembangan wilayah tersebut. Sebagai contoh yaitu suatu daerah yang mayoritas penduduknya menggunakan bahasa yang kosa katanya berupa kata-kata kasar maka bisa dipastikan bahwa daerah itu bukan daerah yang nyaman untuk pertumbuhan anak-anak. Namun akan berbeda dengan suatu daerah yang mayoritas penduduknya selalu menjaga sekaligus menggunakan bahasa yang kosa katanya berupa kata-kata halus maka bisa diasumsikan penduduk yang menempati daerah itu berkarakter rukun dan akur antar sesama. Tidak berhenti sampai di situ, manusia juga yang mempunyai hak sekaligus tanggung jawab dalam kelestarian suatu bahasa.

2.Bahasa Baku dan Bahasa Tidak Baku

Bahasa Indonesia lahir tidak serta merta turun dari langit dengan segala ketatabahasaannya. Namun bahasa ini merupakan suatu bahasa yang memilki serangkaian proses panjang. Salah satu petanda proses itu adalah sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang diikrarkan oleh segenap pemuda Indonesia dengan kesadaran persatuan dan kesatuan dalam berbahasa. Bahasa memiliki berbagai ragam, yaitu ragam bahasa baku dan bahasa tidak baku. Bahasa ragam baku adalah bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya, sedangkan bahasa ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan yang ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma dan kaidah bahasa ragam baku (Halim dalam Tri Mastoyo Jati Kesuma, 2007: 17). Kedua ragam bahasa tersebut sama-sama dipakai untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Letak perbedaan keduanya adalah pada tingkat keresmian serta teknis penggunaannya. Bahasa ragam baku digunakan dalam kondisi yang bersifat formal sedangkan bahasa ragam tidak baku digunakan pada kondisi informal. Meskipun secara praktis keduanya berbeda namun perbedaan itu tidak lantas menjadikan keduanya sebagai dua kubu yang saling berseteru. Justru keragaman perbedaan itu akan semakin memperkaya bahasa yang ada. Dari sini kemudian muncul PR (pekerjaan rumah) bagi para linguis serta awak bahasa agar mampu menyinergikan keduanya agar bisa berjalan beriringan. Sehingga akan tercipta harmonisasi bahasa yang selanjutnya membawa masyarakat nyaman dan aman dalam berbahasa.

3.Perlunya Pusat Bahasa sebagai Rumah Bahasa

Sebagaimana manusia, bahasa juga mengalami pertumbuhan serta perkembangan. Dari fakta tersebut, maka sudah sewajarnya jika bahasa memang harus memiliki suatu badan/institusi yang berfungsi sebagai pemantau pertumbuhan dan perkembangan bahasa. Pemantauan itu pun bukan sekedar kegiatan membaca, mendengar, mencacat, kemudian melaporkan segala data yang telah diperoleh. Namun, bisa juga berarti sebagai kegiatan pengawasan serta penjagaan bahasa dari segala macam bentuk perusakan maupun kesalahan dalam berbahasa.

Dewasa ini, arus globalisasi menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, tidak terkecuali dalam bentuk bahasa. Globalisasi bahasa tak ubahnya seperti dua sisi mata uang logam, kedua sisi tersebut saling mengikuti satu dengan lainnya. Ketika sisi yang satu dominan maka sisi yang lain akan tampak inferior. Hal inilah yang selanjutnya akan menunjukkan pengaruh globalisasi terhadap perkembangan/kemunduran bahasa.

Ada kalanya bahasa menjadi sesuatu yang ekslusif, begitu pun sebaliknya kadang kala bahasa justru menjadi sesuatu yang pasif dan tidak jarang pula sebagai sesuatu yang aktif. Dalam beberapa bidang tertentu terdapat istilah-istilah ekslusif yang tidak dimiliki oleh bidang lainnya. Hal itu bukan berarti bahwa bahasa membatasi manusia untuk sulit berkomunikasi. Justru dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, bahasa telah menunjukkan kecerdasannya dalam menunjukkan kekhasannya.

Berbeda dengan kekhasan dalam berbahasa, adanya keleluasaan dalam menggunakan bahasa tak jarang ditemui munculnya berbagai variasi dalam berbahasa. Variasi ini timbul bukan sekedar pengaruh dari dialek berdasarkan letak geografis tetapi juga pengaruh dari pergaulan sehari-hari para penuturnya. Salah satu contoh adalah bahasa yang digunakan oleh para remaja masa kini atau yang biasa disebut sebagai bahasa gaul. Bahasa gaul itupun bervariasi, dari bahasa gaul yang digunakan dalam komunikasi sms, menulis status di facebook, twitter, chatting, hingga bahasa gaul secara lisan yang biasanya menggunakan bahasa alay yaitu bahasa yang dilebih-lebihkan cara penyampaiannya, biasanya bersifat hiperbolis baik dari segi tulisan maupun pengucapannya.

Kata alay itu pun merupakan akronim dari anak layangan yaitu remaja yang segala tingkah polahnya selalu tampak berbeda dari remaja pada umunya, ketidakumuman itu pun berlaku pula dalam berbahasa. Berikut beberapa contoh bahasa gaul tersebut: makachi ’makasih’, kul ‘kuliah’, brownies ‘brondong manis’. Selain bahasanya bersifat komunikatif, juga terdapat sisi kreatif dari para penuturnya. Bahasa yang ada tidak hanya digunakan begitu saja tetapi juga diolah sedemikian rupa hingga menjadi bahasa yang berbeda dari generasi lainnya. Kreativitas remaja dalam mengotak-atik bahasa menjadi polemik tersendiri, namun di satu sisi justru menjadi kekhasan remaja yang perlu dimaklumi bukan malah dibombardir dengan koreksi tiada henti. Akhirnya, bahasa pun menjadi global. Sehingga tidak jauh berbeda dengan pakaian yang diobral dengan diskon besar-besaran. Hampir semua kalangan bisa dengan leluasa mengeksploitasi bahasa dengan berbagai dalil. Dari dalil keilmuan, kenegaraan hingga yang hanya sebatas sebagai bentuk kepuasan diri yaitu eksistensi.

Bahasa seperti layaknya seorang balita, benar-benar memerlukan asupan gizi yang tepat agar mampu tumbuh dengan baik dan benar. Kebaikan dan kebenaran itu tentunya tidak akan terwujud tanpa adanya tata bahasa yang tepat sebagai ukuran kebakuan dalam berbahasa. Namun, kemudian timbul pertanyaan “ukuran dari kebaikan dan kebenaran yang seperti apa yang menjadi standardisasi dalam berbahasa?”

Sementara kepastian ilmu bahasa tidak bisa dirumuskan seperti ilmu eksakta yang keberlakuan rumusnya bersifat stabil dari masa ke masa sampai ada teori yang bisa mematahkannya. Lantas bukan berarti meneguhkan pernyatan bahwa bahasa bersifat labil dan melayang di awang-awang, tidak mempunyai ketetapan yang hakiki. Itulah sebabnya ahli bahasa memiliki tugas rumah yang tidak akan ada habisnya dalam meneliti bahasa. Salah satu hal yang bisa dilakukan mulai dari sekarang untuk mengantisipasi kerusakan bahasa adalah gerakan sadar berbahasa. Dengan menggunakan bahasa secara sadar tidak hanya kebaikan serta kebenaran yang nantinya bisa didapatkan. Tetapi estetika dalam berbahasa pun bisa dihasilkan. Jika dulu, semasa kanak-kanak bahasa disampaikan ala kadarnya tanpa banyak berpikir kebaikan dan kebenarannya, maka mulai dari sekarang marilah menggunakan bahasa dengan penalaran yang baik dan benar.

Tidak mudah memang menyembuhkan bahasa yang sakit, terlebih jika penyakit berbahasa itu lahir dari pemerintah yang secara umum memberikan pengaruh menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Sementara masyarakat masih sangat minim pengetahuannya terhadap perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Umumnya mereka menganggap bahasa lisan sama saja dengan bahasa tulisan. Apalagi jika bahasa lisan itu disampaikan oleh pemerintah, maka tanpa sekalipun koreksi seolah tampak baik-baik saja, lantas ditiru dalam penggunaan bahasa sehari-hari.

Sudah saatnya Pusat Bahasa hadir tidak semata-mata hanya sekedar untuk membina dan mengembangkan bahasa. Pusat Bahasa didirikan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1947 dengan nama instituut voor Taal en Cultuur Ondezoek. Nama itu pun mengalami beberapa kali pergantian hingga akhirnya bernama Pusat Bahasa seperti sekarang ini, tahun 1952 bernama Lembaga Bahasa dan Budaya, tahun 1959 bernama Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan, tahun 1966 bernama Direktorat Bahasa dan Kesusasteraan, tahun 1969 bernama Lembaga Bahasa Nasional, tahun 1975 bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tahun 2000 bernama Pusat Bahasa sampai sekarang. Perkembangan bahasa tampak secara nyata mengalami tingkat kecepatan yang signifikan. Meskipun jika ditarik tahap periodisasinya tidak begitu jelas namun kenyataan yang ada di lingkungan masyarakat cukup jelas membuktikan perkembangan tersebut. Jika selama ini kebakuan bahasa hanya dilihat dari segi strukturnya saja maka sudah saatnya bahasa dilihat dari segi yang lain, terutama dari segi kulturnya. Dengan demikian, bisa dimungkinkan akan tercapainya keleluasaaan dan keluwesan dalam menggunakan bahasa baku. Yang pada akhirnya akan berdampak positif, yaitu bahasa baku tidak lagi menjadi bahasa yang kaku.

Meskipun wacana ini terkesan sulit namun kemungkinan itu pasti ada, sehingga masyarakat pengguna bahasa bisa secara aktif dan kreatif memproduksi sekaligus mengkonsumsi bahasa Indonesia tanpa dibayang-bayangi dengan kekakuan yang merisaukan.

Selain itu, perlu diadakannya sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja maupun tidak sengaja mengacaukan bahasa. Pihak-pihak tersebut tentunya dari berbagai kalangan, namun secara pasti kalangan yang memiliki kepentingan yang jelas yaitu pemerintah. Pemerintah sebagai pusat kebijakan tampak begitu sering mengabaikan penggunaan bahasa dengan baik dan benar. Bahkan kekhilafan yang tampak sering disengaja dilakukan itu sepertinya hanya menjadi ucapan selamat pagi belaka yang seolah tidak perlu diinterogasi karena asal terjalin kontak saja. Parahnya lagi jika sudah seperti itu, publik justru mengekspos secara massal dan memuatnya dalam media massa yang diakui secara sakral dalam penulisan pers yang notabenenya menggunakan ragam bahasa baku. Jika dari sekarang hingga nanti tetap tidak ada sanksi yang tegas, bisa dipastikan bahasa akan mengalami kematian identitas yang perlahan-lahan tetapi pasti.

Pusat Bahasa selanjutnya akan memilki peran lebih dari sekedar pengelola bahasa dan sastra saja, tetapi sekaligus sebagai pusat pengawasan bahasa atau bisa dikatakan sebagai polisi bahasa. Dengan demikian segala macam bentuk kerancuan dalam berbahasa bisa ditangani di sini. Sebagai contoh klasik dan sangat umum terjadi di perguruan tinggi yaitu kasus mahasiswa yang sedang melakukan sidang skripsi. Kebetulan mahasiswa yang sedang menjalani sidang skripsi adalah mahasiswa sastra Indonesia. Dari sini cerita dimulai, pada tahap awal kesalahan yang dilakukan oleh sang mahasiswa adalah salah dalam menuliskan EYD dalam skripsinya. Kesalahan tersebut dikatakan oleh dosen penguji sabagai kesalahan yang tidak termaafkan sebagai mahasiswa sastra Indonesia, dalam istilah yang dipakai sang dosen adalah kesalahan ‘syirik’ yang merupakan dosa besar dan tidak termaafkan.

Berkaca dari kasus fiktif kontemplatif tersebut, kemudian timbul pertanyaan “apakah kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak baik dan benar juga merupakan ‘dosa besar’ yang tidak termaafkan?”

Jika demikian mengapa tidak pernah ada sanksi tegas yang didapatkan oleh pemerintah. Bahkan masih dengan leluasa terus-menerus mengacaukan kebaikan dan kebenaran bahasa persatuan bangsa ini yaitu bahasa Indonesia. Jika penegasan hanya berlaku pada kalangan tertentu bisa dipastikan bahasa yang baik dan benar akan terjejas dengan lugas dan mati dengan jelas di depan mata putra-putri bangsa.

Lantas bagaimanakah peran Pusat Bahasa dalam dunia kebahasaan Indonesia? Jangan sampai menjadi pihak yang memihak pihak-pihak tertentu lantas terjadi ketidakseimbangan dalam kebaikan dan kebenaran berbahasa. Kembali lagi pada fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi, sudah tentu menjadi alat yang memudahkan manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya, maka akan sangat aneh jika bahasa justru membuat manusia (penuturnya) merasa teralienasi. Sebagaimana salah satu fungsi bahasa dari kelima fungsi pokoknya yaitu sebagai alat komunikasi disamping sebagai alat penghibur.

4.Penutup

Dengan adanya fungsi yang jelas maka Pusat Bahasa akan mampu menjadi mitra masyarakat dalam berbahasa dengan keakraban yang erat. Sehingga akan tercipta bahasa yang memanusiakan manusia sekaligus memasyarakat. Berbahasa dengan menggunakan bahasa ragam baku bukan lagi menjadi momok yang mengerikan apalagi sampai menjadi sesuatu yang menakutkan. Selanjutnya, kegiatan berbahasa menjadi kegiatan yang meyenangkan dan menenangkan.

Oleh: Eka Damayanti, Mahasiswa Ilmu Budaya UGM

Daftar Pustaka

Kesuma, Tri Mastoyo Jati, 2007, Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun