Di era digital jari-jari menari di atas layar sentuh dan pertemanan berada dalam lingkup dunia maya (sosial media). Disaat ini banyak opini yang mengatakan bagaimana hukum adat, yang telah di berada di lingkungan  masyarakat indonesia berabad abad lamanya mengatur dan menyikapi pelanggaran di dunia digital?
Beberapa contoh kasus sepeti di Toraja dimana seorang masyarakat  mengunggah foto jenazah tanpa izin keluarga ke media sosial. Dalam adat Toraja, jenazah dan ritual kematian adalah hal yang sangat sakral. Namun, hukum adat tradisional tidak memiliki pasal khusus tentang "pengunggahan konten digital". Begitu pula dengan kasus di Minangkabau, ketika seseorang membuat meme yang menghina gelar adat. Haruskah sanksi adat diterapkan untuk pelanggaran virtual?Â
Beberapa komunitas adat mulai bereksperimen dengan solusi kreatif. Di Bali, beberapa desa adat telah memasukkan pasal "pelanggaran digital" dalam awig-awig (peraturan adat) mereka. Sanksinya beragam, mulai dari denda digital berupa pembatasan akses internet desa hingga kewajiban membuat konten permintaan maaf di media sosial.
Di Lombok, sebuah desa bahkan membentuk "Pecalang Digital" - satuan tugas khusus yang memantau perilaku warga di media sosial. Mereka tidak hanya mengawasi pelanggaran adat di dunia maya, tetapi juga memberikan edukasi tentang etika digital yang sejalan dengan nilai-nilai adat.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan lebih luas: apakah hukum adat perlu "upgrade" di era digital? Beberapa ahli hukum adat berpendapat bahwa esensi hukum adat adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan zaman, tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya. Yang lain khawatir, terlalu banyak adaptasi digital justru akan mengikis kesakralan hukum adat itu sendiri.
Satu hal yang pasti: pertemuan antara hukum adat dan dunia digital bukanlah benturan sederhana antara tradisi dan modernitas. Ini adalah proses evolusi hukum yang menarik, dimana kearifan lokal mencoba menemukan relevansinya di era algoritma dan big data.
Tantangan ke depan adalah menemukan keseimbangan: bagaimana mempertahankan roh hukum adat sembari mengakui bahwa ruang digital adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Mungkin jawabannya bukan pada pemilihan antara tradisi atau teknologi, melainkan pada penciptaan harmoni baru antara keduanya.
Pada akhirnya, diskusi tentang hukum adat di era digital ini mungkin akan membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana tradisi dapat tetap hidup dan relevan di tengah arus perubahan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H