Mohon tunggu...
ekaayunt
ekaayunt Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Jambi/Ilmu Hukum

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

China - Indonesia Sepakat: Benarkah Indonesia Mengakui Tumpang Tindih di Laut Natuna Utara?

22 November 2024   15:32 Diperbarui: 22 November 2024   16:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 adalah hukum laut internasional yang mengatur kewenangan negara pantai dan negara kepulauan terhadap wilayah laut. UNCLOS menjadi dasar hukum Indonesia dalam mengklaim kedaulatannya atas Laut Natuna.

Laut Natuna ini merupakan perairan yang terbentang dari Kepulauan Natuna hingga Kepulauan Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Laut ini pada awalnya disebut sebagai laut China Selatan dikarenakan laut ini berada disebelah selatan laut Tiongkok Selatan.

Pada tanggal 25 Februari 1992 pemerintahan China telah mengumumkan tentang Hukum Laut Teritorialnya dan juga Zona Tambahannya yang dimana Kepulauan Natuna dicatat dan masuk ke dalam wilayah yuridiksi teritorial China. Padahal kita tau dengan jelas bahwa laut Natuna ini merupakan laut yang berada dikawasan Indonesia tepatnya di kepulauan Riau.

Namun, Menurut Pemerintah Cina, daerah perairan Natuna, Kepulauan Riau, masuk pada Nine Dash Line. Nine Dash Line sendiri merupakan titik-titik putus yang dibuat secara tiba-tiba oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut internasional di bawah PBB atau UNCLOS 1982. Padahal China juga tercatat sebagai negara yang ikut serta dalam menandatangani UNCLOS 1982. Klaim ini hanya berdasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS (konvensi internasional tentang batas laut), tidak memiliki dasar. Sebab Nine Dash Line itu tidak ada di UNCLOS. Sehingga apa yang dilakukan oleh China dalam menerapkan Nine Dash Line tidak memiliki dasar hukum.

Sehingga pada tahun 2017, Indonesia meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia versi baru. Peta tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya. Nama Laut China Selatan pun diganti menjadi Laut Natuna Utara oleh Indonesia. Walaupun hal ini sempat menjadi kontroversi bagi China karena menurut mereka penggantian nama yang dilakukan Indonesia ini tidak kondusif, tetapi tidak menjadi halangan bagi kita untuk tetap mengganti nama menjadi laut Natuna Utara. Hal ini juga dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan wilayah maritim Indonesia, mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif(ZEE) dan memperjelas hukum dan batas laut Indonesia.

Peta Baru Indonesia/BBC
Peta Baru Indonesia/BBC

Namun banyaknya upaya yang dilakukan pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah maritim Indonesia tidak membuat China menyerah dan mengakui bahwa wilayah tersebut merupakan perairan milik Indonesia. Bahkan China sering meminta Presiden-presiden yang pernah menjabat untuk bertemu bersama dalam membahas sengketa ini tetapi tawaran tersebut selalu ditolak oleh para Presiden terdahulu karena menurut mereka itu bukanlah sengketa karena memang jelas bahwa laut Natuna Utara merupakan wilayah perairan milik Indonesia. Hal ini pun didasarkan oleh UNCLOS 1982 tentang klaim Indonesia untuk kedaulatannya di Laut Natuna Utara.

Prabowo-Xi Jinping/ANTARA
Prabowo-Xi Jinping/ANTARA

Lalu bagaimana dengan pertemuan yang dilakukan presiden Prabowo dengan presiden China Xi Jinping apakah benar pada tanggal 9 November 2024 tersebut , Presiden Prabowo melakukan dan menadatangani perjanjian yang menyatakan bahwa kita mengakui klaim China atas laut Natuna Utara??

Menurut Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menegaskan bahwa Pernyataan Bersama Indonesia-China yang disepakati dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing bukan pengakuan atas klaim "9-Dash-Lines" sepihak yang dilakukan China di Laut China Selatan (LCS). Dikarenakan hal ini tidak memiliki dasar hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

Dalam pernyataan tertulis Kemlu RI, pernyataan bersama tersebut akan dilaksanakan berdasarkan koridor konvensi internasional di bidang maritim, perjanjian bilateral, dan ketentuan undang-undang dan peraturan nasional.

"Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim '9 garis putus-putus' (Nine-dash line), dan Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," menurut Kemlu RI.

Kemlu juga menyatakan, bahwa kerja sama dilakukan Presiden Prabowo bertujuan untuk memajukan berbagai aspek kerja sama baik di bidang ekonomi, khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan, dengan tetap menghargai prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan negara masing-masing.

Kerja sama tersebut, menurut Kemlu, justru diharapkan menciptakan perdamaian di Laut China Selatan dan dapat menjadi "suatu model upaya memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan." Dengan melalui kesepakatan ini, kerja sama yang dilakukan dapat bermanfaat bagi kedua negara dan bangsa sesegera mungkin.

Oleh karena itu, Pernyataan Bersama tersebut tidak akan mempengaruhi dan menggugurkan semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia terkait kawasan - kawasan tersebut. Indonesia juga menyakini bahwa kerja sama dalam bidang maritim ini dapat memajukan upaya penyelesaian Kode Etik Laut Natuna Utara demi menciptakan stabilitas di kawasan tersebut.

Presiden RI Prabowo Subianto, dalam kunjungannya ke China akhir pekan lalu, menyepakati pernyataan bersama, dalam pernyataan yang memuat 14 poin tersebut, Indonesia dan China sepakat membangun pola baru kerja sama dan pembangunan di semua lini, di antaranya interaksi antar-masyarakat, kerja sama pembangunan maritim, serta kerja sama pertahanan dan keamanan.

Kerja sama yang dilakukan ini harus tunduk pada peraturan yang mengatur kewilayahan; undang-undang ratifikasi perjanjian internasional kelautan, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) maupun ratifikasi perjanjian bilateral tentang status hukum perairan atau pun delimitasi batas maritim, peraturan tentang tata ruang laut serta konservasi dan pengelolaan perikanan, perpajakan dan berbagai ketentuan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun