Mohon tunggu...
EKA BELLA ANINDITA
EKA BELLA ANINDITA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Integrasi Budaya Kerajaan Sriwijaya dikala Periode Hindu-Buddha

15 Desember 2024   19:12 Diperbarui: 15 Desember 2024   19:13 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Integrasi budaya merupakan suatu hal yang kompleks, dimana integrasi mampu terjadi jika sebuah proses sosial telah terlaksana dengan sempurna. Integrasi budaya adalah suatu proses dimana berbagai elemen kebudayaan saling bersatu-padu, seperti halnya yang terjadi di Sriwijaya pada masa Hindu-Buddha. Proses integrasi di Kerajaan Sriwijaya tak akan luput dari letak geografisnya yang strategis, yakni di Selat Malaka dimana jalur tersebut merupakan lintas dagang global. Hal ini jelas sangat mendukung Sriwijaya untuk dijadika sebagai tempat singgah para pedagang asing. Melalui persinggahan inilah yang selanjutnya akan membawa Sriwijaya pada sebuah proses baru serta perlahan menciptakan ekosistem baru pula yang tak hanya pada lingkup agama saja, namun juga sistem sosial, perdagangan, hingga bahasa dan kesenian.

Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berdiri pada abad  ke-7 M. Pemberian tittle maritim pada Kerajaan ini dilakukan bukan tanpa sebab, karena Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan yang sangat terkenal akan sistem kelautan yang sangat kuat baik di pelayaran, armada laut, hingga perdagangan yang dibuktikan melalui pelabuhan-pelabuhan besar milik Sriwijaya. Letak pelabuhan Sriwijaya yang strategis, yakni di Selat Malaka yang menjadikan jalur penghubung antara India dan Cina menjadikan banyak kapal dagang asing yang kemudian singgah disini. Singgahnya para pedagang asing kemudian membawa masyarakat Sriwijaya pada sebuah sistem dan proses sosial yang baru. Proses interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat lokal dengan para pedagang asing mampu menciptakan sebuah kombinasi kebudayaan baru melalui sistem atau proses akulturasi maupun asimilasi.

Akulturasi merupakan sebuah proses perpaduan dai dua kebudayaan atau lebih dimana masyarakat yang menjadi objeknya mampu menerima setiap elemen dari masing-masing kebudayaan hingga terjadi pengadopsian kebudayaan, namun masyarakat tersebut tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka. Sedangkan asimilasi merupakan sebuah proses perpaduan dua kebudayaan atau lebih yang dimana masyarakat mengadopsi nilai-nilai dari setiap elemen kebudayaan sehingga mampu tercipta sebuah kebudayaan baru dan kebudayaan lama masing-masing dari mereka melebur. Kedua proses ini turut mewarnai sistem integrasi yang terjadi antara masyarakat lokal Sriwijaya dengan para pedagang asing. Hal inilah yang selanjutnya melahirkan sebuah perubahan yang tak hanya ada di segi agama, melainkan juga pada sistem sosial, perdagangan, hingga bahasa dan kesenian.

Hubungan baik antara para pedagang asing dengan Sriwijaya seolah menjadi jalan untuk semakin mempermudah proses inegrasi kebudayaan di antara mereka. Agama menjadi salah satu hal yang bisa dikatakan cukup ‘kuat’ penngaruhnya bagi masyarakat Sriwijaya. Agama Hindu-Buddha yang oleh Van Leur dikatakan dibawa oleh para kaum Brahmana atau oleh N.J. Krom dibawa oleh kaum waisya (para pedagang), menjadikan agama bukan hanya dinilai sebagai aspek religi saja, namun juga berpengaruh terhadap sistem sosial dan tatanan masyarakat Sriwijaya, misalnya adalah dengan diterapkannya sistem kasta. Selanjutnya, menurut teori integrasi sosial oleh Emile Durkheim, sebuah integrasi dalam unsur-unsur sebuah masyarakat dapat muncul apabila adanya sebuah kesadaran kolektif. Hal ini jelas ada pada masyarakat Sriwijaya yang dimana hal itu ditunjukkan melalui penerimaan masyarakat terhadap hadirnya agama Hindu-Buddha ditengah-tengah kehidupan mereka bahkan ketika mereka mulai memeluknya. Namun hal ini bukan berarti akan mematahkan aspek kebudayaan asli, mereka justru mulai membaur sehingga tercipta akulturasi kebudayaan. Ini dapat terlihat pada percampuran antara unsur-unsur kepercayaan lama (animisme dan dinamisme) terhadap praktik agama Hindu-Buddha.

Perubahan dari jalur dagang internasional antara India dan Cina dari yang semula menggunakan jalur sutra (darat) berubah menjadi jalur laut ternyata akan sangat berdampak pada sistem yang ada pada Kerajaan Sriwijaya, salah satunya adalah sistem perdagangan. Sistem perdagangan seolah menjadi ‘dermaga baru yang nantinya akan memanggil ‘kapal-kapal’ budaya baru. Hal ini jelas nampak pada peran pelabuhan-pelabuhan besar milik Sriwijaya yang memperkuat serta membawa hubungan baru bagi Kerajaan Sriwijaya melalui hubungan dagang. Dengan Kerajaan Sriwijaya yang menjadi sebuah pusat dagang maritim tentunya akan ‘memanggil’ para pedagang dari berbagai penjuru negri, seperti Cina dan India yang pada nantinya pasti akan memunculkan sebuah interaksi. Interaksi ini yang selanjutnya akan membawa Sriwijaya pada sebuah pembauran kebudayaan lokal terhadap kebudayaan asing yang dibawa oleh para pedagang. Melalui pembauran inilah yang nantinya perlahan akan memunculkan asimilasi kebudayaan, dimana masyarakat lokal Sriwijaya tak jarang mengadopsi sistem serta tata cara hingga taktik dagang internasional yang dirasa akan menguntungkan. Selain itu bahasa yang digunakan oleh para pendatang tak jarang lambat laun akan mulai mengikuti gaya atau tata bicara masyarakat sekitar, begitu pula sebaliknya. Perubahan sistem perdagangan dari barter hingga memunculkan uang sebagai alat tukar juga menjadi salah satu hal yang terjadi.

Bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang tentunya memiliki peran yang sangat penting dalam proses integrasi. Sebelum terjadinya sebuah integrasi, pastilah sebelumnya harus terlebih dahulu melewati sebuah proses komunikasi, dan untuk memulai komunikasi diperlukan sebuah bahasa. Hal ini pulalah yang terjadi pada masyarakat lokal Sriwijaya dengan para pedagang asing. Berbagai bahasa mereka tuturkan dalam proses komunikasi ini, seperti halnya adalah ketika mereka memperkenalkan agama Hindu-Buddha. Mulai dari sini kemudian para masyarakat lokal diperkenalkan pula dengan Bahasa Sansekerta yang menjadi ‘bahasa ibu’ agama Hindu-Buddha, dikatakan demikian karena banyak kitab-kitab maupun prasasti pada masa ini yang ditulis dengan Huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta.  Bahasa Sansekerta yang terbawa sebagai akibat dari pengaruh persebaran agama Hindu-Buddha di Sriwijaya mengidentifikasikan bahwa masyarakat Sriwijaya telah secara utuh menerima pengaruh tersebut. Hal ini semakin jelas melalui penggunaan bahasa Sansekerta sebagai language dalam prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Sriwijaya. Bersamaan dengan penggunaan huruf Pallawa, bahasa Sansekerta mulai merambah pengenalan dan penggunaannya melalui ajaran dari ‘tokoh pembawa agama Hindu-Buddha’ ke wilayah Sriwijaya. Dipandang dari konteks indeks sosial,hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki pola pandang yang berubah. Meskipun demikian, bukan berarti mereka akan meninggalkan bahasa ibu mereka, bahasa lokal tetap mereka gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari.

Masuknya agama Hindu-Buddha ke Sriwijaya bukan hanya menyebabkan perubahan dalam segi religi dan kebudayaan, namun juga pada sistem politik. Konsep agama Hindu-Buddha yang mengartikan bahwasannya seorang raja merupakan sosok perwujudan dari dewa menjadikan pembentukan suatu identitas politik yang baru. Raja menjadi sososk pemimpin tunggal yang sangat dihormati dan disegani oleh rakyatnya yang kemudian menjadikan setiap ucapan dan perintahnya seperti bekat serta perintah dewa. Selain itu dengan munculnya sistem kasta juga tak jarang membawa Sriwijaya pada ketimpangan sosial. Dengan adanya ketimpangan ini, jelas tak jarang memunculkan dinamika politik di Kerajaan Sriwijaya.

Integrasi budaya di Sriwijaya pada masa Hindu-Buddha merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan interaksi sosial yang mendalam antara masyarakat lokal dengan para pedagang asing, yang kemudian menciptakan sebuah ekosistem budaya baru. Proses akulturasi dan asimilasi memainkan peran penting dalam membentuk sistem sosial, agama, perdagangan, hingga bahasa dan kesenian di kerajaan ini. Letak geografis Sriwijaya yang strategis di Selat Malaka, sebagai jalur perdagangan internasional, menjadi faktor utama yang mendukung terjadinya integrasi budaya. Agama Hindu-Buddha membawa pengaruh besar, tidak hanya dalam aspek spiritual, tetapi juga dalam sistem pemerintahan dan sosial, seperti penerapan sistem kasta dan penghormatan terhadap raja sebagai perwujudan dewa. Interaksi antarbudaya ini juga mengubah pola komunikasi, yang terlihat dari masuknya Bahasa Sansekerta dan penggunaan huruf Pallawa. Semua perubahan ini menunjukkan bagaimana Sriwijaya berhasil mengintegrasikan budaya lokal dengan pengaruh luar tanpa menghapuskan identitas asli mereka, menciptakan sebuah peradaban yang kaya dan dinamis, dengan dampak yang terus berlanjut pada perkembangan sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun