Mohon tunggu...
Eka Adhi Wibowo
Eka Adhi Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang tiada lelah menimba ilmu

Dosen Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Obat untuk Penyakit Gagal Institusi Politik

20 September 2016   14:36 Diperbarui: 20 September 2016   14:51 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih hangat diberitakan di media massa tentang penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap salah satu pejabat tinggi negara. Cara penangkapan yang dilakukan adalah tangkap tangan, artinya tersangka korupsi tidak dapat mengelak lagi karena penangkapan disertai dengan alat bukti berupa uang hasil korupsi yang berada di tangan pelaku. Model penangkapan tersebut cukup handal dalam menjaring para pelaku koruptor.

Sungguh sangat ironis karena pejabat tinggi negara yang kini menjadi tersangka korupsi tersebut sebelumnya termasuk dalam jajaran aktivis anti korupsi, bahkan mendukung adanya hukuman yang berat untuk para koruptor. Kabar tersebut tentu membuat cukup terkejut masyarakat publik, khususnya yang menjadi pemerhati masalah korupsi. Bagaimana tidak seorang pejabat tinggi negara yang vocal berbicara bahwa korupsi adalah kejahatan yang sangat berat, namun dalam kenyataannya terlibat dalam korupsi.

Korupsi memang sungguh kejahatan yang luar biasa, karena berdampak buruk pada semua sendi kehidupan manusia. Lebih-lebih pada negara kita, korupsi sudah menjadi penyakit yang kronis. Salah satu buktinya adalah serentetan kasus yang menimpa pejabat negara seperti yang dipaparkan oleh salah satu media massa. Akhir 2015, KPK menangkap tangan anggota DPR, Dewie Yasin Limpo, yang menerima uang "ijon" 7 persen dari proyek pembangkit listrik mikrohidro di Papua. Pada awal 2016, KPK menangkap Damayanti Wisnu Putranti, anggota DPR, yang menerima uang "ijon" proyek dari kontraktor 6 persen dari nilai proyek infrastruktur jalan di Maluku. 

Hasil Survei Persepsi Korupsi 2015 yang diselenggarakan Transparansi Internasional Indonesia menunjukkan, satu dari lima responden menyampaikan bahwa mereka pernah gagal memenangi manfaat bisnis karena pesaing membayar suap. Kasus penangkapan salah satu pejabat negara yang belum lama ini menjadi pemberitaan menambah panjang daftar berita mengenai parahnya penyakit korupsi yang diderita oleh bangsa ini.

Sederetan pemberitaan tersebut bukan berarti kita dapat menyimpulkan kalau korupsi semakin banyak, tetapi juga bisa dikatakan korupsi semakin banyak yang ketahuan. Tentu kita berharap dengan semakin banyaknya kasus korupsi yang ketahuan dan diberitakan oleh media massa dapat menjadi salah satu sarana untuk penyadaran masyarakat dalam meningkatkan control sosial untuk meminimalkan dan mencegah terjadinya korupsi. Tetapi bagaimanakah dengan sikap dari para elite kekuasaan sendiri? Serentetan kasus-kasus yang menimpa pejabat tinggi negara akan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara khususnya yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat.

Salah satu sikap dari lembaga kekuasaan adalah adanya usulan revisi PP No. 99 Tahun 2012 yang mengatur tentang syarat remisi bagi para koruptor dinilai semakin meringankan pelaku tindak pidana korupsi, bagaimana tidak syarat untuk mendapatkan remisi cukup dengan berkelakuan baik dan telah melewati sepertiga masa tahanan, tanpa perlu lagi membantu penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukan. Hal tersebut tentu sangat kontradiktif dengan upaya untuk memberantas korupsi. 

Peraturan tersebut dibuat oleh institusi politik yang seharusnya terus menerus berupaya untuk meningkatkan kepercayaan dari masyarakat dengan produk-produk yang membawa keberhasilan bukan membawa kegagalan dalam menciptakan negara yang terbebas dari korupsi. Masyarakat kini semakin cerdas dalam memilih untuk percaya atau tidak percaya dalam memilih wakilnya, dan tidak cukup hanya dengan diberikan janji-janji pada saat kampanye saja.

Transparansi dan akuntabilitas institusi politik termasuk di dalamnya partai politik pun mutlak diperlukan agar menjadi alat untuk memperkuat pengendalian publik. Partai politik adalah episentrum permasalahan karena mereka adalah produsen calon penguasa (Kristiadi, 2016) artinya transparansi dan akuntabilitas harus dimulai dari partai politik terlebih dahulu. Mungkin hal tersebut akan memunculkan pertanyaan bagaimana implementasinya?

Beberapa waktu lalu saya membaca ada wacana jika Partai Politik lebih baik dibiayai oleh APBN, karena bantuan negara baru mampu menutup 0,63% biaya operasional partai sehingga partai berusaha mencari sumber dana yang lain, upaya tersebut membesarkan potensi tindak pidana korupsi. APBN adalah uang rakyat, artinya tentu tidak dapat digunakan secara sembarangan begitu saja, maka diperlukan mekanisme pencairan dana untuk partai politik, syaratnya jika ingin mencairkan dana APBN untuk partai politik, maka partai politik harus menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam laporan keuangannya, serta sangat dimungkinkan dilakukan audit oleh pihak-pihak yang berkompeten dan independen seperti BPK, BPKP, atau akuntan publik, dapat juga dibantu oleh akademisi. Jika sistem tersebut diterapkan maka diharapkan akan menimbulkan perlombaan pada partai-partai untuk menyusun laporan keuangan yang relevan dan jujur sebagai modal awal membentuk mental anti korupsi.

Dari: Yogyakarta, 20 September 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun