Pagi ini saya mendengar berita dari salah satu stasiun TV swasta mengenai adanya perusahaan yang memberikan Tunjangan Hari Raya tidak sampai sepuluh ribu rupiah. Tentu saja berita tersebut cukup menggerus hati, mengingat THR adalah yang sangat dinantikan oleh pekerja terlebih jika pekerja tersebut berada jauh di rantau dan ketika pulang berharap bisa merayakan hari raya bersama keluarga yang tentu sedikit banyak membutuhkan uang. Lebih miris lagi ketika perusahaan tersebut kemudian menunjukkan kekuasaannya dengan ancaman jika tidak terima silakan resign.
Cara tersebut semakin membuat miris ternyata masalah upah tenaga kerja dan THR sepertinya hanya diselesaikan dengan cara “kuat-kuatan” atau koersif dan tidak pernah diselesaikan dengan cara yang baik. Di satu sisi perusahaan harus memperoleh keuntungan untuk dapat terus beroperasi, sementara di sisi lain perusahaan tidak dapat beroperasi jika tidak ada tenaga kerja. Tenaga kerja sesungguhnya merupakan aset yang berharga bagi perusahaan yang artinya jika dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan-keuntungan yang semakin berlipat di masa depan, karena sesuai dengan teori manajemen keuangan bahwa salah satu karakteristik aset adalah dapat menghasilkan keuntungan (profit) bagi perusahaan. Jika karyawan diperlakukan sebagai aset maka setiap gaji, upah, tunjangan hingga fasilitas yang diberikan adalah investasi dan bukan biaya, karena merupakan investasi maka dampaknya tentu tidak dapat dirasakan seketika itu juga.
Bagi sebagian besar orang mungkin akan apatis dengan teori bahwa tenaga kerja adalah aset karena kenyataannya tenaga kerja kebanyakan diperlakukan sebagai beban yang artinya mengurangi keuntungan perusahaan. Akibatnya bisa kita lihat dalam perusahaan, tenaga kerja adalah yang paling sering dikorbankan untuk mendapatkan keuntungan, dan terkadang seringkali perusahaan “membuatkan” masalah supaya tenaga kerja menjadi tidak betah, lalu keluar dengan sendirinya (supaya tidak perlu memberi pesangon).
Kasus-kasus tersebut banyak terjadi baik yang muncul di media maupun yang tidak. Karena merasa hanya diperlakukan sebagai beban, maka kinerja seorang tenaga kerja akan menjadi tidak maksimal, sehingga mempengaruhi kinerja keseluruhan perusahaan karena potensi untuk meningkatkan kinerja menjadi terabaikan. Mungkin timbul pertanyaan apakah bisa perusahaan memperlakukan tenaga kerjanya sebagai aset?
Meminjam istilah dari CEO salah satu perusahaan perabot rumah tangga terbesar di Indonesia: bisa, karena hal itu pernah dilakukan. Dalam bukunya yang berjudul “Thinking Out of The Box for Profit”. CEO ini menceritakan pengalamannya saat memimpin perusahaan yang seharusnya jika menggunakan pola pikir in the box seharusnya melakukan pengurangan karyawan baik secara kuantitas (PHK) maupun kualitas (menurunkan gaji) supaya tetap bertahan di tengah-tengah sepinya pesanan karena gempuran krisis ekonomi yang cukup parah waktu itu.
Tetapi yang dilakukan justru sebaliknya CEO ini menggunakan pola out of the box dengan melakukan yang sebaliknya gaji karyawan justru ditingkatkan bahkan naik terus tiap tiga bulan, di awal-awal kebijakan gila ini perusahaan memang merugi tetapi kemudian keuntungan terus meningkat berlipat-lipat karena para karyawan juga memberikan yang kinerja yang juga berlipat-lipat untuk perusahaan.
Para karyawan bekerja dengan cara yang lebih dari biasanya yang dapat mereka berikan untuk perusahaan. Cerita di atas saya yakin adalah kisah yang nyata dari pengalaman seseorang pimpinan perusahaan yang memandang karyawan adalah aset, bukan beban. Bayangkan jika saat terjadi krisis perusahaan masih tetap menggunakan pola pikir in the box hanya sekedar untuk mempertahankan keuntungan mungkin hanya keuntungan yang biasanya saja yang bisa didapat bukan keuntungan yang berlipat-lipat.
Semoga saja kisah ini dapat memberikan contoh bagi pemimpin-pemimpin perusahaan jika ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat dari biasanya. Karena tidak dapat dipungkiri kemajuan perusahaan bahkan negara sekalipun akan dipengaruhi oleh kualitas manusianya, atau lebih tepatnya Sumber Daya Manusianya yang tentunya memerlukan perlakuan yang tepat untuk dapat berkontribusi dalam memajukan peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H