Urbanisasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sebuah negara, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia. Urbanisasi terjadi akibat adanya faktor-faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan perpindahan dari satu daerah ke daerah lain. Faktor yang dominan adalah masalah ekonomi. Tindakan penduduk yang melakukan urbanisasi dapat terjadi dikarenakan migrasi penduduk atau mobilitas ekonomi. Migrasi penduduk ialah perpindahan masyarakat desa ke kota yang bertujuan untuk menetap. Sedangkan, mobilitas sosial ialah perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara. Saat ini, dibanding Jakarta memang perkembangan dan tingkat kepadatan penduduk Kota Surabaya masih tergolong jauh. Tetapi, tanda-tanda bahwa pada tahun mendatang Surabaya akan berkembang seperti kota Jakarta. Menurut dinas tenaga kerja, kependudukan, dan transmigrasi Kota Surabaya diperkirakan pada tahun 2000 tingkat urbanisasi mencapai 40% dan diperkirakan akan menjadi 60% pada tahun 2025 atau sekitar 160 juta jiwa. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk perkotaan tercatat setinggi 4,4% per tahun yang tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk keseluruhan yang hanya 1,6% per tahun. Jika di Jakarta nantinya pada tahun 2015 diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 21,2 juta jiwa. Maka diperkirakan jumlah penduduk Kota Surabaya akan melonjak menjadi 4-5 juta jiwa. Surabaya-Malang akan berkembang menjadi kawasan mega-urban, yakni sebuah kawasan perkotaan yang amat luas dengan jumlah penduduk besar, melebihi ukuran metropolitan. Ini berarti beban yang ditanggung Kota Surabaya bukan saja masalah internal akibat tekanan pertumbuhan penduduk asli atau persoalan pengaturan tata ruang dan penyediaan permukiman serta fasilitas publik bagi penduduk Kota Surabaya sendiri, melainkan juga beban eksternal yang muncul akibat masuknya arus migran dari kota-kota menengah di sekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang kota, khususnya fasilitas perumahan dan permukiman sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.
Masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan yang selalu ingin berusaha memperbaiki hidupnya, salah satu cara yang dilakukan ialah dengan jalan mengadakan urbanisasi ke kota. Dikota mereka mencari orang-orang yang memiliki nasib yang sama, dan kemudian mengisolir diri dalam perkampungan miskin yang bergaya pedesaan. Di tempat yang secara sosial terisolir ini mereka hidup dalam keadaan melarat, karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan layak. Di dalam pemukiman miskin ini terdapat suasana kehidupan yang pengap, karena adanya transisi. Lingkungan ini akan menjadi kumuh, karena mereka tidak punya biaya untuk menjaganya. Hal ini yang menjadi pendorong terciptanya permukiman kumuh yang umumnya menempati area-area kosong milik swasta maupun milik pemerintah secara ilegal. Pembiaran terhadap munculnya pemukiman secara ilegal diperkotaan ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah baru ketika penduduk sana mulai merasa memiliki terhadap tanah yang mereka tempati, apalagi jika sudah bertahun-tahun atau bahkan secara turun-temurun. Permasalahan mulai muncul khususnya pada saat tanah area di mana mereka tinggal suatu waktu akan dimanfaatkan oleh pemiliknya yang sah (swasta atau pemerintah), maka tentu saja berujung pada konflik yang terjadi diantara kedua belah pihak (pemilik dengan pemukim liar), apalagi ketika terjadi penggusuran secara paksa. Sebagai contoh kasus penggusuran yang terjadi di bantaran kali jagir pada tahun 2009 silam. Pada saat penggusuran masih banyak di antara mereka yang masih bertahan di bekas bongkaran bangunan-bangunan yang sebagian besar sudah bersifat semi permanen, bahkan ada yang sudah permanen. Tentu saja pada saat terjadi penggusuran pasti diwarnai oleh kericuhan, mengingat mereka sudah bertahun-tahun lamanya menempati lokasi tersebut, yang sebagian besar dijadikan sebagai tempat mata pencaharian mereka. Selain di bantaran kali jagir, juga terdapat kawasan permukiman kumuh yang berada di tepi rel Kelurahan Wonokromo. Biasanya dihuni oleh pendatang yang datang ke kota tanpa memiliki tempat tinggal yang tetap untuk mengontrak maupun kos sehingga terpaksa mendirikan bangunan liar ditepi rel kreta. Bangunan dikatakan liar jika lokasi lahannya berada di area 5-20 meter diatas rel KA. Hal itu disebabkan, daerah itu termasuk ruang milik jalan (rumija) dan ruang pengaman jalan (rumaja). Untuk pemasukan listrik dan air bersih, kawasan permukiman liar dipinggiran rel KA wonokromo telah mendapat pemasokan yang cukup. Listrik dialiri disetiap rumah-rumah penduduk dikawasan ini dan secara keseluruhan mereka telah mendapat pemasokan air bersih dari PDAM. Bangunan disekitar rel kereta api kawasan wonokromo tersebut rata rata semi permanen ada juga yang sudah permanen yang dihuni didaerah observasi kami sekitar 150kk dengan jumlah penduduk rata rata 550 jiwa. PT KA Daerah Operasi (Daops) VIII Surabaya memastikan akan membongkar paksa bangunan liar (Bangli) yang ada di sepanjang rel kereta api. Pelaksanaan penggusuran itu telah dilaksanakan pada tanggal 23 April 2010. Warga yang telah digusur membangun kembali bangunannya inilah suatu permasalahan yang dihadapi saat ini. Maka dari pada itu pengawasan sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi rel dan permukiman yang bersih dan liar.
Dari contoh diatas, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
ØKurangnya ketersediaan lahan di Surabaya untuk mendirikan rumah
ØHarga tanah yang bisa dijangkau oleh masyarakat kecil
ØDekatnya akses tempat tinggal mereka dengan tempat mencari nafkah
ØHarga sewa rumah susun yang masih dianggap mahal bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Solusi untuk menangani masalah urbanisasi di Kota Surabaya ialah dengan cara penataan pembangunan permukiman antara lain :
1.Penyediaan rumah murah bagi kaum urban. Misalnya rumah susun yang dapat disediakan oleh pemerintah Kota Surabaya atau pihak swasta. Bagi pihak swasta perlu adanya pemberlakuan insentif dan disinsentif.
2.Penyediaan rumah murah dipinggiran kota yang memungkinkan penghuni dapat memanfaatkan transportasi yang ada (insentif dan disinsentif bagi pengembang swasta).
3.Menyiapkan hidran air dan MCK yang memadai sehingga dapat dimanfaatkan untuk keamanan lingkungan. Dengan padatnya bangunan, resiko kebakaran sangat tinggi maka akan sulit pemadaman kebakaran untuk menjangkau kawasan permukiman di bantaran kali jagir maupun tepi rel Kereta Api, sehingga perlu sumber air yang siap dimanfaatkan setiap saat.
4.Pemberlakuan peraturan secara lebih ketat pada daerah yang sudah dilakukan perencanaan tata ruangnya. Adanya upaya penegak hukum dan instrument pengendalian pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H